Berangkat ke kantor tapi pikiranku berada di tempat lain, seluruh pekerjaanku terganggu.
Dring....
Dring ....
Di nada kedua aku baru melirik ponsel tersebut, sengaja benda itu aku simpan di dalam laci karena bunyi notif dari ponsel membuatku makin pening.
Kali ini panggilan masuk dari Mikha.
“Iya, kenapa?” tanyaku, tidak bersemangat.
“Iya Beb, kamu kenapa tidak balas pesanku, besok malam kamu bisa gak?”
“Aku tidak bisa Mikha, kamu saja, aku sangat sibuk di Kantor, tidak bisa kemana-mana,” kataku dengan nada malas.
“Beb, kamu kenapa? Kamu semakin hari semakin jauh dariku, kamu tidak sayang lagi sama aku?”
“Mikha, aku mau masuk ke ruang rapat, aku tutup dulu,” kataku mematikan ponsel, mendengar suaranya yang manja membuat kepala ini, semakin berdenyut.
Aku terpaksa membuat alasan seperti itu pada Mikha, kalau tidak, ia akan mengganggu, tanganku, memijat kening yang semakin pusing.
Aku ingin mengakhiri semua kesalahan yang telah aku buat. Aku masih sayang sama Mikha, hubungan yang sudah terjalin lebih dari lima tahun, tidak akan mudah menghilangkannya, tetapi, walau dengan berat harus membuat keputusan, aku tidak akan bisa menjalani dua jalan sekaligus.
Dari kedua jalan yang aku pilih, harus menentukan salah satunya, walau aku tau, aku sudah berjalan terlalu jauh dengan jalan yang salah. Aku harus kembali ke jalan yang benar walau tidak mudah.
Kepala ini semakin lama terasa semakin pusing.
Kurang tidur, banyak pikiran membuatku sakit.
Aku merasa pandangan mataku semakin buram, tanganku meraih ponsel yang aku letakkan di ujung meja, hanya ada satu orang pegawai yang tepat untuk menolongku saat ini.
“Pak Amran, ke ruanganku sekarang!"
“Baik Pak,” sahut lelaki itu, sepertinya ia lagi makan.
Tidak berapa lama ia sudah datang, mungkin aku mengganggu waktu makannya, tetapi karena rasa sakit di kepala, bahkan menjalar ke badan aku tidak memperdulikan, walau, sudah mengganggu waktu makan siang Pak Amran.
“Ada apa Pak?”
“Pak Amran masih ada pekerjaan yang mendesak gak?” maksudku, apa pak Amran mau belanja barang lagi?”