Kini di dalam kamar, aku kembali dilanda kejenuhan, makin banyak pikiran
Jam terasa sangat lambat berputar, mataku tidak bisa terpejam lagi, banyak sudah aku lakukan, baca buku, menonton, main game. Duduk di mejaku di depan laptop memantau ke kantor, memantau bagaimana pengerjaan proyek-proyek yang sedang kami tangani, hampir semua aku lakukan di kamar ini.
Tapi dari sekian banyak yang sudah aku lakukan, aku merasakan jam masih bertengger serasa di situ-situ saja.
Aku mencoba menghubungi ponsel Melani, tapi tidak aktif.
‘Ada apa denganmu Melani? kenapa ponselmu juga tidak aktif?’ tanyaku dalam hati.
Sebenarnya, aku ingin menjemputnya ke Kampus, tapi badanku belum fit, jadi aku memutuskan menunggunya sampai malam.
Menunggu itu sungguh melelahkan.
Kali ini aku sengaja tidak meminum obatnya, aku ingin melihat ia pulang jam berapapun aku harus melihatnya.
Aku melirik jam sudah jam 23.00 malam, suasana rumah sudah sepi, seperti biasa, karena keluarga, jam sepuluh sudah masuk kamar kami masing-masing, dan sudah tidur. Tapi tidak begitu dengan Melani, ia masih diluar sana tidak tahu pastinya apa yang dia kerjakan.
Sekilas aku mendengar suara motor di depan rumah kami, aku pikir hanya orang lain, tapi tidak diduga Melani juga pulang, suara pintu pagar dibuka.
Aku masih bergelut di mejaku memeriksa laporan-laporan dari kantor,
Kreak
Suara pintu kamar kami. Melani masuk wajahnya terlihat sangat lelah, tapi penampilannya kali ini tidak seperti kemarin malam, hanya bibir saja yang masih di merahin.
Apa Melani diantar seseorang yang naik motor tadi? aku kembali dihinggapi pertanyaan.
“Abang belum tidur?” tanya Melani menatapku .
“Belum.” Jawabku bernada ketus.
Aku marah, tapi aku tidak tahu kemarahan ku untuk yang mana, apa aku marah karena ia pulang malam? Apa aku marah karena seseorang tadi mengantarnya, atau aku marah karena aku kecewa, karena ia tidak perhatian padaku saat aku sakit.
Mendengar nada suaraku seperti itu, ia diam, tapi kali ini juga ia memasukkan tasnya ke dalam lemari, ia sepertinya takut kalau aku akan memeriksa tasnya.
Masuk ke kamar mandi, ia keluar kembali aku masih duduk di mejaku, aku ingin bicara padanya, aku ingin menanyakan semua padanya.
“Apa abang sudah makan?” ia bertanya lagi.
“Ini sudah jam berapa Melani, siapa yang belum makan jam segini,” kataku terdengar lebih ketus lagi.
Aku pikir itu hanya sekedar basa-basi.