Malam itu saat Melani menjagaku, kami hanya diam bersikap seolah orang lain, padahal kami pasangan suami istri yang sudah mengikat janji suci satu setengah tahun yang lalu. Usia pernikahan kami segitu lamanya, seharusnya kami sudah memiliki anak. Tapi saat ini, jangankan bikin anak, pegang tangan Melani juga belum pernah.
Hampir seminggu di rawat rumah sakit, ia hanya dua kali menjagaku, selainnya Mami yang banyak merawat ku.
Hari ini, aku akan pulang ke rumah. Mami terlihat lebih banyak diam tidak seperti biasanya, kalau biasanya, kalau ngomong Mami tidak ada remnya, aku berpikir telah terjadi sesuatu yang besar di rumah,
“Ada apa, Mi?”
“Aku pusing sama si Melani kamu sakit dia malah sibuk terus dengan kuliahnya, aku menyesal memilih dia jadi istrimu,” kata Mami.
“Jangan seperti itu Mi, dia bilang lagi ujian makanya tidak bisa libur,” aku membela Melani di depan Mami.
“Kamu masih bela-belain dia, orang sok kaya begitu,” kata Mami sepertinya sangat membenci Melani.
Hari ini, hari Sabtu ada arisan di rumah, dari pihak marga Mami, biasanya kalau arisan seperti itu yang datang pasti banyak
*
Akhirnya mobil kami berhenti di depan pagar, rumah berlantai dua itu, rumah bercat kuning rumah besar milik keluargaku, suasana masih siang, arisan di mulai sore sampai malam.
“Abang sudah pulang…!” Arnita datang berlari, mataku masih sibuk mencari keberadaan Melani, dua hari tidak melihatnya, aku merindukan tatapan mata indahnya, walau Mami marah padanya. Tapi aku tidak pernah marah.
Saat semua orang menyambut kami, Melani menyibukkan diri di dapur menyiapkan menu untuk arisan.
Kamu kenapa Mel kenapa kamu membiarkan dirimu di marahin Mami. Kamu pura-pura setor muka aja aturan.
Aku naik ke kamarku merentangkan otot tangan kaki. Baru tidur-tiduran di ranjang sekitar sepuluh menit.
Kreak
Suara pintu kamar terbuka, Melani akhirnya datang juga.
“Selamat datang Bang.”
“Iya, makasih kirain kamu sudah lupa,” kataku acuh menatap layar ponselku.
“Tidaklah, aku ingin menyambut abang tadi, tapi aku takut ada bou.
Abang sudah sembuh?”
“Kalau tidak sembuh, tidak mungkin pulang. Kamu bagaimana sih, basa –basinya garing,” kataku bernada jengkel.
“Maaf,” kata Melani terlihat merasa bersalah, kami semakin hari bukannya tambah akrab malah tambah canggung saja.