Aku mengantar Melani
Jam berputar tidak terasa semuanya begitu cepat, tadi pagi aku masih di rumah sakit, tapi saat ini aku mengantar Melani meninggalkan rumah.
‘Bukankah ini aneh?’
Iya, karena penyesalan selalu datang belakangan, kalau datangnya duluan namanya pengumuman.
Tapi aku mengantarnya bukan karena mendukungnya untuk pergi meninggalkan rumah.
Tapi Melani bukan tipe wanita yang suka dipaksa-paksa, jika aku membiarkannya jalan sendirian, ini sudah malam aku tidak ingin terjadi apa-apa padanya.
Sebenarnya aku ingin menahannya atau memaksanya untuk jangan pergi, karena aku berhak untuk itu, sebab aku suaminya.
Tapi aku terhalang dengan janji dan kesepakatan yang kami lakukan dulu, tidak ingin memaksakan kehendak pada pasangan.
Ia diam, aku juga diam, kami berdua seperti dua orang asing yang saling canggung.
Kalau ditanya aku sedih , jawabannya aku sangat menyesal, aku ingin menangis memeluknya dan memohon agar jangan pergi.
Tapi aku tidak punya keberanian sebesar itu.
Mungkin aku telah menyakitinya.
Tetapi aku tidak pernah berhenti mencari maaf mulai saat ini, agar ia tau betapa aku Menyesal.
Jalanan lancar karena memang sudah larut malam, bahkan sudah tengah malam jam 24:00.
“Kita ke arah Cibubur Permai iya, bang ke rumah temanku,” kata Melani, matanya menatap layar ponsel miliknya, sibuk berbalas chating dengan seseorang.
“Baiklah,”jawabku singkat.
Hingga tiba di salah satu perumahan mewah di daerah cibubur Permai.
“Kita berhenti disini..”
Belum juga aku sempat bertanya rumah siapa, seseorang sudah menunggunya, seorang wanita mudah menunggu di depan gerbang berpakaian piyama tidur.
Ia melambai ke arah kami.
Aku merasa linglung, bagaimana hanya seperti ini? Otakku membeku serasa berhenti di salah satu titik.
Aku masih suaminya kataku dalam hati, tapi aku hanya berdiam tidak melakukan apa-apa.
“Aku turun iya Bang, hati-hati pulangnya,” Melani membuka pintu mobil mengangkat kopernya.
Jiwaku seakan terbang entah kemana, aku membatu tidak tahu mau melakukan apa.
Aku bahkan tidak menyahut.
Melani menyeret koper miliknya , aku bahkan tidak membantu mengeluarkan kopernya dari bagasi.
Ia masuk kedalam rumah, aku baru sadar saat ia masuk seakan jiwaku yang bergentayangan itu kembali ke ragaku.