Dipaksa Menikah Dengan Sepupu

Betaria Sonata L raja
Chapter #35

#35 Ajakan Tinggal Bersama

                            Dipaksa Menikah Dengan Sepupu


 Dijodohkan Dengan Sepupu

“Nando, kamu mau bikin Mami mati karena jantungan! Kenapa lama? Mami suruh kamu untuk cuti agar kamu cepat pulang, Fernando. Mami malu kamu buat, di sini, masih banyak lagi yang kita mau urus untuk pesta pernikahanmu ini. Tolong jangan buat Mami sakit kepala

 

“Apa lagi memang yang harus aku lakukan Mi. Aku sudah menuruti semua yang kalian mau,” ucapku.

 

“Kalau kamu menuruti apa kata Mamimu, seharusnya kamu tidak bersama kekasihmu sekarang.”

“Aku akan meninggalkannya dan menikah dengan wanita pilihan keluarga. Mami Puas?”

 

“Kalau begitu pulanglah, tinggalkan wanita itu, sekarang juga,” kata Mami, Ia Tau kalau aku di rumah Mikha. Terkadang orang tua seperti dukun, mengetahui banyak hal tentang anak-anaknya, seorang Ibu terkadang bisa tau apa yang dilakukan anak-anaknya di luar tanpa diberi tahu.

 

Aku terdiam menyimak mencoba berpikir, bukan Mami namanya kalau ia tidak menceramahi ku panjang lebar tanpa jeda.

 

“Baik, mi ,” kataku memotong pembicaraan mami, kalau tidak segera dihentikan, mami akan berkhotbah padaku bisa-bisa sampai sore.

 

“Fernando tinggalkan kekasihmu sekarang, mami mohon.”

 

Terdengar mami menarik nafas berat, aku tahu mereka pasti banyak pikiran tentang bagaimana kelanjutan pesta pernikahan kami, ini juga berat bagiku, memutuskan Mikha wanita menjadi kekasihku sejak empat tahun silam. Menikah karena perjodohan satu hal yang sulit bagiku, apalagi aku posisinya seorang lelaki, tetapi aku tetap melakukannya sebagai salah satu caraku untuk menghormati tradisi adat dari suku.

 

Tidak mudah memang, ini tidak ada lagi kaitannya dengan hati, ini salah satu sebagai tanggung jawab sebagai anak lelaki tertua, pembawa marga di keluargaku.

 

“Baik Mami, aku akan melakukannya,” jawabku dengan berat hati.

 

“Baiklah Fernando, Mami tidak tau harus berkata apa lagi, Mami berharap kamu gentleman atas janji yang telah kamu ucapkan,” kata Mami terdengar ada rasa khawatir di balik suaranya.

 

Kedua orang tuaku sudah pulang ke kampung lebih awal demi mengurus pesta pernikahan untukku dengan sepupu. Anak dari pamanku hanya seorang gadis desa yang baru lulus sekolah SMA. Entah apa yang dipikirkan keluargaku mendesak pernikahan untuk kami.

 

“Sini, biar aku yang bicara padanya,” terdengar di ujung telepon Papi mengambil alih ponsel Mami. “Fernando, besok ambil penerbangan pagi , tiba di bandara Silangit bisa siang,” kata Papi.

 

“Baik Pi,” sahutku patuh. Papi bukan tipe lelaki yang banyak bicara, tapi sekali bicara menusuk ke ulu hati dan menakutkan, terkadang mendengar beliau sekali marah bulu selangkangan yang biasanya keriting bisa mendadak lurus.

 

“Baiklah, kamu pulang sekarang bereskan pakaianmu, urusan pekerjaan saya sudah suruh pak Tony mengurus semuanya,” mendengar nada suara seperti itu, artinya si Bos lagi marah.

 

“Baik Pi,” jawabku tanpa ada bantahan.

Papi menutup sambungan teleponnya.

 

                       *

 

Hari itu aku masih di rumah Mikha kekasih yang aku cintai.

 

“Sayang aku pulang dulu ya, aku mau urus pernikahan kami, nanti kalau tiba di kampung di Samosir aku akan kabarin lagi,” kataku pamit

 

“Baiklah, aku akan menunggumu, menikahlah dengan Paribanmu dan kembali lagi padaku,” Mikha memelukku, memberiku izin untuk menikah.

 

                       **

 

 

 

Akhirnya hari ini tiba juga, aku akan pulang ke kampung untuk menikah, diberangkatkan dengan doa dan nasihat dari keluarga besar, pulang didampingi beberapa keluarga yang mendampingi untuk pulang ke kampung.

 

Kini kami sudah berada di perut burung besi yang siap mengantarkan kami ke Samosir ke Huta Dolok Martahan. Tempat tinggal Melani wanita yang akan saya nikahi nantinya. Pariban yang dijodohkan keluarga untukku. Seorang gadis kampung yang masih bau kencur baru tamat SMA.

 

Umurnya mungkin masih 18 tahun atau 19 segitu lah umur wanita yang akan saya nikahi nantinya, bagaimana bentuk dan wujud nya Mami sudah memberikan Fotonya, dalam benakku ia hanya gadis kucel.

 

Entah bagaimana nantinya kami menjalani sebuah rumah tangga, umurku yang sudah mapan dijodohkan dengan Pariban kecilku dengan perbedaan umur yang sangat jauh. Ini sudah seperti anak dan bapak nantinya.

 

Dari Halim Perdana Kusuma keberangkatan tujuan bandara Silangit Siborong-borong dengan jarak tempuh kira-kira 2 jam lebih. Sesuai jadwal rombongan kami tiba juga di Bandara Silangit, disambut keindahan Pesona alam yang begitu indah, alamnya yang masih Asri dengan hamparan pohon-pohon pinus tumbuh sejauh mata memandang.

 

Sedikit tentang Bandara kebanggaan orang Batak ini.

Bandara yang diresmikan oleh bapak SBY pada tahun 2005. Kemudian oleh bapak Joko Widodo Bandara diperbaiki dan di perbesar landasan pacunya, sebelumnya hanya 2.650meter diperbesar menjadi 3000 meter.

 

Kemudian pada November 2017 bapak Presiden Joko widodo meresmikan Bandara Silangit. Salah satu keinginan pemerintah untuk memajukan pariwisata Danau Toba agar mudah di jangkau.

 

Danau Toba Memang sangat indah, siapapun yang pernah berkunjung ke Danau Toba Samosir tidak akan lupa dengan keindahan Danau dan hamparan pinus dan keindahan alamnya.

 

Saat ini, di Bandara Silangit rombongan kami akan menyebrangi Danau Toba, danau yang dikenal juga dengan cerita legendanya.

 

Karena menurut cerita mitos atau cerita rakyat terbentuk danaunya karena kisah Toba dan Ikan Mas, dan tidak mungkin aku ceritakan kisahnya dalam perjalanan, bisa panjang ceritanya.

 

Kembali saja perjalanan.

Kami harus menyebrangi Danau yang luas itu untuk sampai ke tujuan, sebenarnya ada transportasi darat yang bisa membawa kami, mobil dari Silangit-Pangururan menuju Nainggolan.

 

Tapi kami memilih naik kapal dari Parapat –Ajibata karena lebih banyak kapalnya, bisa saja sebenarnya langsung dari Muara karena langsung sekali menyebrang, tapi kami memilih rute yang sedikit lebih panjang. Tapi karena ingin melihat Danau yang cantik ini lebih banyak lagi, maka kami memilih dari parapat.

 

Memilih kapal sebagai alat transportasi, agar bisa menikmati keindahan ciptaan Tuhan dan keajaiban alam ini.

 

Naik kapal dengan nama“Dainang Na Burju” nama yang tertulis dalam lumbung kapal. Mungkin tulisan dalam kapal yang kami naiki memiliki arti tersendiri bagi yang punya kapal. Dainang Na Burju: Ibu yang baik.

 

Suara kapal bernaung menutup pendengaran dan mulai menyusuri air Danau toba. Danau yang yang dikelilingi gunung lengkap dengan hamparan pohon pinusnya. Gunung berada di sisi kanan dan sisi kiri, dan di kaki gunungnya indah itu ada beberapa rumah berdiri indah menambah keindahan pinggir Danau.

 

Kapal semakin melaju berenang bebas menyusuri air Danau. Mataku tertuju pada sebuah Batu legenda, namanya batu Gantung, dan tiba-tiba bulu kuduk merinding, saat melihat batu yang bentuknya memang sudah mulai pudar tapi kisahnya tidak pernah hilang.

Legenda Batu Gantung adalah kisah tentang perjodohan pada Pariban nya juga.

 

Menceritakan, konon … Seorang wanita Batak atau Boru Batak yang dipaksa menikah dengan Pariban nya.

 

Ia tidak menyukai Pariban lelakinya. Perempuannya menolak menikah dengan Pariban nya. Pada akhirnya ia memilih mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari pinggir Danau Toba bersama anjingnya, dan rambutnya nyangkut di tepi tebing dan menjadi batu.

 

Kisah Batu Gantung itu bisa kita temui hingga saat ini, jika kita pergi ke Danau Toba. Bentuknya batunya yang bisa kita lihat menyerupai seorang wanita yang melompat dan rambutnya nyangkut di tepi jurang. Saat aku melihatnya bentuk batu itu tidak begitu jelas lagi memang, karena sudah mulai terkikis air.

 

Melihatnya mengingatkan pada diriku saat ini, aku membalikkan kisahnya pada diriku, bagaimana jika aku yang menolak menikah dengan pariban ku dan aku melompat dari atas tebing yang tinggi itu. Apakah ada kisah Batu Gantung kedua versi laki-laki?

 

Aku tersenyum tipis menertawakan pikiran gilaku.

Aku sengaja duduk di bangku paling atas agar bisa melihat dengan jelas pemandangannya, angin bertiup dengan kencang, kapal sedikit bergoyang ke kanan dan ke kiri.

 

Aku sangat menikmatinya, tapi Bibiku yang malah ketakutan.

 

“Fernando, ayo turun kita duduk di bawah saja,” kata bibi, menarik tanganku sedikit memaksa, wajahnya terlihat sangat takut. “ Kamu calon pengantin Bou takut kamu di lihat para penghuni Danau toba ini,” kata bibiku .

 

Aku tau akan hal itu dan aku sendiri memikirkannya, karena Danau toba sudah sangat banyak memakan korban jiwa. Bahkan belum lupa dalam ingatan ku baru-baru ini. Kisah kapal motor KM Sinar Bangun yang tenggelam di Danau Toba. Banyak jiwa yang terkubur di Danau ini.

 

Di balik keindahan Danaunya, ia juga menyimpan banyak kisah mistis yang membuat bulu kuduk merinding. Danau yang luas, bahkan Danau terbesar di Indonesia atau danau terbesar juga di Asia tenggara.

 

Maka pesan saya, kalau datang ke Danau yang indah ini untuk liburan dan bertamasya maka bersikaplah sopan dan jangan mengotori Danau yang cantik ini dengan sampah dan perbuatan-perbuatan kotor serta seronok.

 

Bersambung.

 

 

 

Bab 2

 

Pulang Ke Danau Toba Untuk Menikah

 

Maka pesan saya, kalau datang ke Danau yang indah ini, untuk liburan dan bertamasya maka bersikaplah sopan dan jangan mengotori Danau yang cantik ini, dengan sampah dan perbuatan-perbuatan kotor.

 

Kapal kami berhenti menurunkan penumpang di Harian, kapalnya berjalan lagi, seorang ibu dan dua anaknya turun lagi di kampung Sipinggan dan terus berjalan lagi, tiba di Nainggolan, satu orang inang-inang atau ibu-ibu menurunkan barang-barang, sepertinya ibu yang satu ini ibu yang berjualan Nasi di dalam kapal.

 

Hingga akhirnya kapal kami berhenti tempat tujuan Labuhan Pandiangan, kapal menurunkan rombongan keluargaku di pelabuhan kecil yang sederhana di Huta Pandiangan, atau labuhan Pandiangan.

 

Terlihat tidak jauh dari labuhan Mami melambai ke arah kami, dua mobil yang sengaja di bawa ke kampung untuk di pakai mengurus keperluan selama di kampung.

 

“Selamat datang di Samosir Fernando,” ujar Mami wajahnya terlihat gembira.

 

Ada banyak keluarga yang menyambut kedatangan kami, ada tiga gadis yang menyambut di labuhan, tiga orang anak remaja dengan wajah malu-malu kucing dan

cengar-cengir saling dorong-dorongan, ingin berkenalan denganku tapi malu, tadinya, aku pikir Melani yang datang menyambut.Ternyata pariban kecilku tidak ikut.

 

Seorang dari tiga sekawan memberanikan diri menyodorkan tangannya, seorang kulitnya yang paling gelap, orangnya ceria dan humoris juga manis, ia yang duluan paling berani.

 

“Hai Bang, aku Sina boru tinjak,” ujarnya suara tegas, karena penampilannya juga terlihat tomboy. Ia menyodorkan tangan memperkenalkan diri.

 

“Oh, Hai Ito,” ucap ku menyambut uluran tangannya.

 

Berusaha bersikap sopan pada wanita muda yang ikut menyambut kami di Labuhan pandiangan.

 

“Aku Revina boru Sinaga ,” ujar salah satu anak remaja yang kulitnya lebih putih.

 

"Iya ito Revina," Menyambut tangannya juga.

 

Tinggal satu lagi” Aku Wati boru tinjak." Gadis muda yang bernama Wati terlihat manis.

 

Mataku celengak-celenguk melihat mereka semua, aku tidak melihat Melani pariban ku wanita yang akan aku nikahi nantinya.

 

'Kemana dia, Kenapa tidak ikut menyambut calon suaminya?' Batinku bertanya.

 

Melihat ketiga teman-temannya, aku bisa menggambarkan bagaimana warna kulit Melani tanpa harus melihatnya langsung.

 

“Nia, tidak ikut bang, tidak diperbolehkan menemui abang sesuai tradisi, dia dikurung di rumah amang Sintua." ujar Lihasina.

 

Sittua adalah pelayan di Gereja.

 

“Oh tidak, aku tidak untuk melihatnya," ujar ku berbohong.

 

Padahal, biar bagaimanapun aku penasaran, kenapa teman-temannya ikut, dia tidak ikut menjemput.

 

Melihat sikap ketika teman-temanya, aku yakin Melani juga seperti mereka anak remaja pada umumnya, masih polos bersikap ceria dan seharusnya belum saatnya untuk menikah. Tetapi demi Poda opung atau wasiat kami terpaksa melakukannya.

 

Tiga mobil terlalu sempit untuk mengangkut kami semua, aku memilih naik ojek untuk membawaku ke atas maksudnya ke kampung Melani.

 

“Mi, aku naik motor ojek saja, iya.”

 

“Bukan motor Fernando, bilangnya naik kereta.” Mami menunjukkan salah seorang bapak.

 

Di samosir nama mobil Motor, dan motor dua roda yang biasa kita tau itu disebut kereta, begitu di samosir di kampung Melani.

 

“Aku, mau naik Kereta ke Dolok Martahan, bisa, Tulang?"

 

“Ke Huta Dolok Martahan jauh Lae 50 ribu mau gak? Kalau mau saya antar.”

 

“Iya tulang, tidak apa-apa harga segitu.”

 

Kita sepakat, naik kereta atau motor dan keluarga yang lain naik mobil.

 

Naik motor sebenarnya lebih menyenangkan karena di sepanjang jalan menuju Huta Dolok Martahan mata kita akan dimanjakan pemandangan yang hijau-hijau dengan sawah sepanjang jalan. Mulai tepi pantai Pemandangan hingga ke Pandiangan atas.

 

Tanaman padi yang masih hijau karena kami datang di bulan maret, maka katanya musim marbabo( Marbabo: membersihkan rumput dari tanaman padi) Karena di kampung Melani tanam padi hanya sekali dalam setahun karena pasokan air terbatas dan tidak adanya irigasi yang mengairi untuk membantu para petani saat itu, hanya mengharapkan air hujan dari langit.

 

Musim tanam sekitar bulan Desember-januari, bulan segitulah orang kampung menanam padi,

kedatangan kami saat ini bulan tiga, musimnya marbabo.

 

Terlihat ada beberapa ibu yang sedang bekerja membersihkan tanaman padi mereka di sepanjang jalan yang kami lalui.

Motor Rx king melaju naik ke atas arah kampung Melani .

 

Motor Rx King akhirnya berhenti di salah satu pinggir jalan. Pohon tua yang sepertinya sudah ratusan tahun berdiri kokoh di tempat aku berdiri, pohon besar menjulang tinggi arah masuk ke rumah Melani.

 

Baru tiba para anak-anak dan orang tua datang menyambut kedatangan rombongan kami.

 

Terlihat juga Paman dan Bibiku, orang tua Melani datang menyambut kami, senyum dan tawa terpancar dari kedua orang tua itu.

 

Rumah Melaninia di samping rumah kakekku, bapak dari Mami, rumah sederhana berdinding kayu, Melaninia delapan orang bersaudara, ia anak yang ketiga dan adik-adiknya juga masih kecil. Tetapi api lagi-lagi ia tidak ada kelihatan.

 

Hingga kita masuk ke rumah Opung, jabu rumah atau rumah adat Batak.

Suasana rumah sudah mulai ramai, anak-anak dan perempuan remaja atau anak Naposo terlihat penasaran melihat kedatangan tamu dari Jakarta.

 

Setelah diadakan acara penyambutan penaburan beras diatas kepala atau sipir ni tondi sebagai simbolik menguatkan jiwa atau ruh atau ucapan syukur karena kami sampai dengan selamat.

 

Setelah selesai adat penyambutan di dalam rumah aku belum melihat Melani juga. aku penasaran seperti apa nanti reaksinya melihatku, apakah ia juga bersikap seperti teman-teman remaja seperti saat ini? mereka terlihat sangat mengagumi paras wajahku yang tampan? Apa Melani juga nanti akan cengengesan seperti mereka? Aku semakin penasaran seperti apa wujud aslinya calon istriku.

 

Aku keluar dari rumah untuk melihat-lihat dan ingin memberi kabar untuk Mikha kekasihku yang tinggal di Jakarta, aku ingin mengabari kalau aku sudah tiba di kampung.

 

Saat berjalan keluar mencari sinyal, terlihat anak-anak perempuan yang masih remaja itu terus mengikutiku.

 

“Melani di rumah yang di bawah bang, apa abang mau menemuinya?” tanya Sina.

 

“Oh, tidak, aku hanya ingin melihat-lihat saja.”

 

“Ayo, kami temani saja mau melihat apa? yang di sebelah kanan kampung kami Sidalu-dalu dan di sebelah kiri itu Huta Raja,” kata Wati bertindak seperti Tour Guide, ia selalu menjelaskan semua apa yang aku lihat. Aku hanya mengangguk kurang bersemangat.

 

Ketiga Teman-teman Melani anak-anak remaja yang ceria, saat kami lagi duduk di Harbangan ni Huta. Tiba-tiba seorang anak remaja teman Melani datang lagi, dengan nafas terengah-engah seperti habis lari maraton.

 

“Sin, mana pacar si Melani? aku baru pulang dari ladang mencabut ubi, gak di bolehin oppung tadi aku ikut ke pelabuhan manomu-nomu mereka, (Bahasa batak diterjemahkan ke bahasa Indonesia)

 

“Ini.. abang itu kak,” Revina boru sinaga menunjukku.

 

“Holo, perkenalkan nama aku, Betharia sonata nauli boru Lumban raja,” ujarnya bersemangat, ia teman Melani satu lagi, ia memperkenalkan diri. Tetapi namanya panjang seperti rel kereta api.

 

Dari ketiga temannya, ia sendiri paling unik, rambutnya kriting halus seperti rambut orang Papua, orangnya pendek dan betis kakinya besar seperti pemain bola, ia mengusap-usap telapak tangan ke bajunya, lalu ia menyerahkannya padaku.

 

Aku tersenyum kecil melihatnya dan menyambut tangannya.

 

“Hai juga ito, aku Fernando.”

 

“Kita berempat temannya si Melani, temannya sekolah, teman bermain, teman marbada juga,” ucapnya lagi.

 

Melihat tahi lalat diatas bibi si Betharia aku berpikir dia pasti parbada.

 

Aku berharap mereka berempat meninggalkanku sementara, memberiku waktu sendiri, karena dari tadi pagi aku belum mengabari kekasihku Mikha.

 

Tetapi ke empat teman Melaninia terus mengekor ku kemanapun kakiku melangkah, terpaksa mengurungkan niat menelepon Mikha, aku takut mereka-mereka mengadu ke Mami kalau aku menelepon wanita lain dan takut menambah masalah baru lagi

 

Keempat teman Melaninia menceritakan banyak hal tentang Melaninia, melihat mereka berempat, aku bisa langsung tau kalau Melaninia pariban kecilku yang akan ku nikahi tidak jauh beda dari keempat temanya, terlihat masih polos dan masih anak-anak .

 

Teman Melaninia: Revina, Wati, Sina dan Betaria. Si Betaria inilah yang paling cerewet dan paling sok tahu. Ia juga masih mau lari-larian seperti anak kecil.

 

“Hadee ... Apa Melaninia akan bertingkah seperti itu,” kataku berucap kecil.

 

Bersambung....

 

 

 

 

Bab 3

Melani Calon Istriku

 

 

 

 

 

Hingga malam tiba, acara rapat keluarga besar kami akan dimulai.

 

Aku sudah duduk di tengah di tempat khusus calon pengantin di kelilingi para orang tua dan pemuka adat.

 

“Nunga didia si Melani, suruh masuk,” ( sudah dimana si Melani suruh masuk) Salah seorang keluarga meminta masuk. Mendengar namanya dipanggil, aku mengalihkan pandangan ke arah pintu.

 

Akhirnya Melani datang, seorang anak remaja memakai sarung sebagai kain bagian bawahnya, ia diantar teman-temannya, teman-temanya terlihat tertawa menggoda, mereka cengar-cengir .

 

Dugaanku salah, ia terlihat kalem dan pembawaannya tenang.

 

“Masuk maho inang, tusonko hundul.” ( masuklah kau nak, disinilah kau duduk)

 

“Salam dulu pariban calon suamimu,” kata semua orang yang ada di dalam rumah.

 

“Halo bang Nathan, selamat datang,” ia menyodorkan tangan ke arahku.

 

Dug ... Dug ....!

 

Jantung ini berirama saat ia menyodorkan tangannya dan menatap mataku, kenapa malah aku yang jantungan, kok jadi aku yang grogi sedangkan ia terlihat sangat tenang.

 

'Kenapa jadi aku yang grogi menghadapi anak kecil' ucapku dalam hati.

 

“Ha-halo,” jawabku terbata.

 

Kenapa jadi aku yang gugup, harusnya Ia yang bersikap tersipu-sipu malu seperti teman-temanya, itu yang aku pikirkan sebelumnya.

 

Ia duduk di sampingku, saat semua mata orang tertuju padaku, aku malah penasaran dengan Melani, aku mencuri-curi kesempatan untuk melihat wujud asli calon istri yang akan menikah nantinya.

 

Ia duduk dengan tenang tatapan mata terlihat biasa saja, ia juga terlihat jarang tersenyum sepanjang kami duduk dalam acara perkenalan matanya menatap kosong.

 

'Ada apa dengannya? kenapa ia bersikap seolah tidak suka dengan perjodohan ini, kalau ada pihak yang tidak suka dengan perjodohan ini, itu harusnya aku'

 

Akulah yang tidak mau dijodohkan dengan pariban. Karena aku sudah punya kekasih, umurku juga sudah mapan, tampan dan anak kota juga,

aku di buat penasaran dengan sikap dingin Melani.

 

Ini diluar perkiraanku, aku berpikir Melani akan menyambutku dengan hati berbunga-bunga dan bersikap malu-malu kucing. Tetapi semua dugaanku salah.

 

“Bagaimana Nia? dari semua yang kita bicarakan di sini, kita juga perlu meminta pendapatmu, apa ada permintaanmu? Atau barangkali ada tambahan?"Tanya salah seorang keluarga.

 

“Tidak Bapa tua, Nia tidak ada tambahan, aku akan menuruti apa yang sudah diatur keluarga."

 

“Bagaimana kau amang, ada tambahan?" bertanya padaku juga, aku sibuk dengan pikiranku sendiri dan mataku melirik Melani.

 

“Nando …! Kamu ditanya,” bisik Mami menyenggol lenganku.

 

“Ooh apa-apa tadi?” aku kebingungan dengan pertanyaannya, karena tidak fokus.

 

“Ooooh.. attong da, anon ma bereng-bereng paribanmi( nantilah kamu lihat-lihat paribanmu itu). Suara tawa terdengar dari dalam rumah.

 

Aku merasakan wajah ini panas karena menahan malu. Melani melirikku dengan ekspresi wajahnya datar membuatku semakin malu.

 

Hingga rapat malam itu selesai, aku melirik ke dekat pintu, akhirnya ada beberapa pemuda teman buat ngobrol juga. Dari tadi saat aku tiba hanya teman-teman Melani Lah yang menemaniku.

 

Melani pamit, ia pulang duluan, karena ia tidurnya tidak di rumahnya, ia tidur di kampung Sianduduk rumah salah seorang sintua Gereja.

 

Tiba di kampung, aku pikir kami langsung bisa menikah cepat, agar aku bisa kembali lagi ke Jakarta.

 

Ternyata masih banyak rentetan acara yang perlu kami lakukan .

Aku sudah dua hari di kampung Melani, tapi baru sekali saja aku bertemu langsung dengan Melani.

 

Banyak hal yang sudah kami lakukan, mengangkat air misalnya.

Pasokan air di kampung Melani masih sangat minim, untuk kebutuhan mencuci dan memasak harus mengangkat air dari sungai yang jaraknya menuruni bukit yang lumayan terjal.

 

Sekarang aku paham kenapa betis teman Melani yang bernama Betaria

segede palu Hanoman, ternyata untuk mengangkat kebutuhan keperluan air harus mendaki dan menuruni bukit dengan membawa air yang berat di dalam ember di junjung di atas kepala.

 

Dengan bawaan barang seberat itu wajar banyak anak-anak remaja yang jadi bantet di kampung Melani, karena sering membawa bawaan yang berat.

 

Tapi sepertinya Melani, tidak, ia tidak begitu pendek, hanya kulitnya yang terlihat kering terkena panas matahari.

 

Hari ketiga di kampung. Mami sepertinya tau kalau aku masih sering menelepon Mikha, Mami menyita benda hitam persegi empat itu, hidup terasa mati rasa tanpa ada ponsel di tangan.

 

Saat ini, aku butuh waktu sendiri tanpa harus ada teman teman Melani yang terus mengekor ku, ingin jauh dari suara-suara anak-anak yang ikut-ikutan mengekor.

 

Aku bosan, berharap pernikahan segera berlangsung dan aku bisa kembali ke Jakarta, suasana kampung memang indah, tetapi karena tidak terbiasa aku merasa sudah sangat lama di kampung ini, rasa jenuh melanda.

 

Rumah Tulangku atau pamanku tidak terlalu jauh dari rumah Nenekku, hanya beberapa meter, rumah sederhana terbuat dari papan.

 

Aku penasaran, apa ada Melani ada di rumahnya, sejak aku datang hanya malam itu aku bertemu dengannya, saat teman-temannya begitu antusias dan terlihat mengagumi ku, tapi kenapa Melani terlihat biasa saja, bahkan sikapnya tidak begitu bersemangat aku penasaran.

 

Saat aku berdiri di halaman depan aku mendengar bibiku mamanya Melani marah, tepatnya di pintu belakang rumah mereka. Memarahi seseorang, mendengar namaku disebut, aku penasaran dan mendekat.

 

Terlihat Melani lagi mencuci piring dan Bibiku berdiri di belakangnya dengan wajah penuh kemarahan.

 

“Aku tidak mau menikah, Ma, tidak bisa di batalkan perjodohan ini, aku di terima di di UNIMED, Mak. Aku ingin kuliah, bukan untuk menikah, aku sudah belajar keras untuk di terima di sana..” (bahasa daerah) wajahnya terlihat memohon.

 

“Naung gila doho? ... ! nunga ro paribanmu tuson,” ( Kamu sudah gila iya, sudah datang paribanmu kesini) Wajah Bibiku mengeras dan terlihat sangat marah.

 

“Tolonglah dibicarakan, Mak, aku hanya ingin kuliah dan meraih cita-citaku, tidak ingin kawin muda, kenapa harus aku sih..”

 

“Kuliah …!kuliah adong hepeng mu? Namora Ho? mangan pe babam nunga susah, marsyukur ho adong manopot ho pariban na mora" ( kuliah…!kuliah memang ada duitmu, orang kaya kamu? Makan saja kamu sudah bersyukur, beruntung kamu ada paribanmu orang kaya melamarmu) kata bibiku.

 

“Aku tidak akan menyusahkan Bapak sama mama, aku akan mencari uang kuliahku sendiri,” kata Melani masih mencoba membujuk Bibi.

 

“Sip, sip ma babami(diam-diamlah mulutmu) Bibi mengambil panci aluminium.

 

Taaang ...!

 

Bibi memukul kepala Melani dengan panci.

 

“Berhentilah sok kaya, kalau miskin tidak usah tinggi-tinggi cita-citamu, aku sama bapakmu tidak akan mampu menyekolahkan, terimalah nasibmu dan

terima perjodohan ini, menikahlah, tidak usah macam –macam, awas kamu berpikir macam-macam, kamu beruntung Namborumu kaya,” kata Bibiku ia masih berdiri di belakang Melani.

 

Bersambung

 



Bab 4


Martuppol

 

“Berhentilah sok kaya, kalau miskin tidak usah tinggi-tinggi cita-citamu, aku sama bapakmu tidak akan mampu menyekolahkan, terimalah nasibmu dan

terima perjodohan ini, menikahlah..! tidak usah macam –macam, awas kamu berpikir macam-macam, kamu beruntung Namboru mu kaya,”(dalam bahasa daerah) kata Bibiku ia masih berdiri di belakang Melani.

 

Melani terlihat tidak membantah lagi, ia diam tapi sesekali ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya dan tetap melanjutkan mengerjakan pekerjaannya. Tulang, bapak Melani juga ada di sana, ia hanya diam , tidak membela Bibiku juga, ia tidak membujuk Mel. Beliau hanya diam, tidak mau bicara, Paman menundukkan wajahnya.

 

Tulang sepertinya tidak terlalu menyukai pernikahan ini, matanya terlihat sedih menatap putrinya yang saat ini menangis.

 

Tulang sepertinya tidak menyukai kami dijodohkan, tapi beliau tidak bisa berbuat apa-apa, Karena Nantulang sepertinya jauh lebih galak.

 

Oh jadi ia juga tidak menyukai perjodohan ini? Ini semakin menarik, kami berdua tidak menyukai pernikahan ini, lebih baik ngomong terus terang pada keluarga agar pernikahan ini di rundingkan kembali.

 

Sekarang aku mengerti kenapa dia bersikap dingin padaku, ternyata pariban kecilku ingin kuliah daripada menikah. Di satu sisi aku menyukai sikap itu.

 

Hal besar yang di sudah di rencanakan keluarga kami tidak mungkin kami batalkan begitu saja karena ini sudah kesepakatan orang tua, wasiat dari mendiang opung doliku atau kakekku.

 

Suka tidak suka pernikahan kami akan tetap berlangsung, ini juga keinginan Opung boruku atau nenekku yang saat ini sudah sakit-sakitan.

 

Baiklah, menikah saja tidak apa-apa , setidaknya Melani tidak menyukai pernikahan ini, berarti ia juga mungkin tidak keberatan jika aku tetap berhubungan dengan kekasihku walau kami sudah menikah, itulah yang aku pikirkan.

 

Hari ini, kami akan Martumpol Melani tampil anggun dengan polesan dan keajaiban tukang rias yang memoles wajahnya, pulau-pulau di wajahnya bisa tertutupi dan ia terlihat anggun dengan kebaya berwarna hijau.

 

Walau ia tidak menyukai perjodohan kami, tapi ia bisa bersikap tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa pada hatinya.

 

Padahal aku sudah melihat bagaimana ia berusaha keras menolak perjodohan ini, bukan hanya sekali, tapi dua kali kedapatan mataku memohon untuk menghentikan pernikahan kami agar ia bisa kuliah, tapi dua kali juga ia gagal membujuk kedua orang tuanya.

 

Kami Martumpol di Gereja sederhana di Pandiangan. Teman-teman Melani terlihat ikut juga mendampinginya dan selalu menemaninya saling bercanda, tapi Nia terlihat hanya tersenyum ringan.

 

Kenapa Ia bisa bersikap dewasa seperti itu, saat teman-temanya bersikap masih layaknya orang remaja yang masih suka labil. Tapi Melani lebih dewasa dari semua teman-teman sebayanya.

 

Walau ia diledekin sama teman-temannya, ia akan menanggapinya dengan tenang dan jawabannya yang terdengar lebih dewasa.

 

Acara martumpol sudah terlaksana, cincin sudah terpasang di jari-jarinya dan di jari-jariku.

 

“Ayo kita bicara berdua, aku ingin bicara dengan kamu kataku,” saat kami tiba di rumah setelah dari gereja.

 

“Ada apa bang?” wajah terlihat santai.

 

“Kita bicara di luar saja.” Aku, Berjalan di depannya.

 

“Ada apa bang?”

 

“Begini, aku dengar kamu tidak menyukai perjodohan kita. Aku tidak tau alasannya dan tidak mau tau juga alasannya, karena aku sendiri juga tidak menginginkan perjodohan ini, tapi aku memilih menuruti permintaan keluargaku demi menjalankan tradisi di keluarga kita, jadi aku berharap kamu mengerti apa maksudku, jadi ayo kita jalankan pernikahan ini,” ia terlihat bingung dengan kata-kataku.

 

Ia hanya diam, tatapan matanya kosong tidak bermakna, aku jadi berpikir apa kata-kataku terdengar kasar?

 

“Berapa tahun umurmu?”

 

“Apa umurku jadi hal yang penting buat abang saat ini?,” jawabnya dengan berani.

 

“Tentu, setidaknya aku tahu kalau wanita yang aku nikahi seorang anak kecil,”

 

“Kalau kamu sudah tahu aku anak kecil kenapa kamu masih mau menikahi ku?” jawabnya.

 

“Kan, sudah kubilang tadi, karena tradisi keluarga kita dari opung ke opung kita wajib ada yang marpariban .”

 

“Sejak kapan orang kota sepertimu yang tidak mengerti tentang filsafat adat bicara adat padaku?” katanya ekspresi wajahnya datar dan terlihat sangat dingin.

 

Dek!!

 

Aku merasa jantungku ingin melompat dari dadaku saat mendengar ucapannya.

 

“Bukankah kamu tidak terlalu kecil dan terlalu muda untuk bicara formal pada aku?”

 

Ia menarik nafas panjang, ia tidak suka jika aku memperlakukannya seperti anak kecil.

 

“Umur tidak menentukan orang bisa dewasa apa tidak itu benar, harusnya umur abang yang jauh lebih tua harusnya bicara yang mengayomi saya, bukannya bersikap sombong dan bersikap sok tahu segalanya,” katanya,

Kami berdua bertengkar, perempuan yang aku anggap sebagai anak kecil itu ternyata pola pikirnya cerdas dan berpikir kritis dan tajam.

 

“Aku tidak perduli dengan pikiran kamu, tidak peduli juga dengan keinginan kamu yang kuliah itu, aku hanya ingin menyelesaikan semuanya dan kembali ke Jakarta,” kataku ikut-ikutan marah.

 

“Kamu lelaki yang sok tahu.” Katanya meninggalkan aku.

 

Kenapa aku jadi ikut-ikutan marah sih, bukan seperti ini tadi yang aku inginkan , aku hanya berniat bicara baik-baik padanya, kenapa jadi ngelantur kemana-mana sih.

 

Saat hari itu Melani tidak mau bicara padaku, ia marah, setiap melihatku matanya sinis. Masih banyak acara yang kami lakukan sebelum pesta, saat orang bergembira menyambut satu pesta besar yang dilaksanakan di kampung itu tapi Melania sejak pertengkaran kami ia tidak mau keluar dari rumah, ia memilih semedi di rumah, tentu saja membuat semuanya jadi khawatir.

 

“Boasa dang olo si Mel ro tuson mangan, aturan na rap mangan, rap hundul do dohot halletna on,” (kenapa si Mel tidak datang ke rumah ini? harusnya ia sama-sama duduk )

kata nenekku.

 

Semua orang membujuknya untuk datang, tapi ia tidak mau melihatku, dari saat itu aku berpikir ia wanita yang berwatak keras.

 

“Aku harus meminta maaf tulang, Mi, semua yang ada di rumah ini, sebenarnya itu gara-gara aku, aku yang kemarin yang memarahinya makanya ia gak mau melihatku,” lebih baik bicara jujur di depan keluarga daripada ada masalah besar nanti.

 

“Kamu bagaimana sih, Than, ia orang yang baik dan sopan, sejak bicara bertemu denganmu kenapa malah berubah? Kamu harus bertanggung jawab, minta maaf padanya dan bawa dia kesini bagaimanapun caranya,” kata papi memaksaku mengajak Melani ke rumah nenek untuk makan bersama, rumahnya tidak jauh hanya jarak beberapa puluh meter dari rumah nenekku.

 

“Baiklah aku akan coba pi, kataku ragu, acara makan ditunda kalau Melani tidak datang.

Aku datang membujuk Mel berharap ia tidak marah.

 

Tok..tok...

 

Aku mengetuk rumah papan milik keluarga Melani.

 

Ia datang membukanya, di dalam rumahnya ada ,Betaria, Revina, Sina dan Wati keempat temannya

 

“..Eh abang datang kesini, mau lihat kita, iya,” kata Betaria.

 

“Tidak aku mau mengajak Mel” kataku menatapnya.

 

“Aku meminta maaf karena ucapanku yang waktu itu,” mencoba membujuknya.

 

Bersambung

 

 

 


Bab 5


“Berhentilah sok kaya, kalau miskin tidak usah tinggi-tinggi cita-citamu, aku sama bapakmu tidak akan mampu menyekolahkan, terimalah nasibmu dan

terima perjodohan ini, menikahlah..! tidak usah macam –macam, awas kamu berpikir macam-macam, kamu beruntung Namboru mu kaya,”(dalam bahasa daerah) kata Bibiku ia masih berdiri di belakang Melani.

 

Melani terlihat tidak membantah lagi, ia diam tapi sesekali ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya dan tetap melanjutkan mengerjakan pekerjaannya. Tulang, bapak Melani juga ada di sana, ia hanya diam , tidak membela Bibiku juga, ia tidak membujuk Mel. Beliau hanya diam, tidak mau bicara, Paman menundukkan wajahnya.

 

Tulang sepertinya tidak terlalu menyukai pernikahan ini, matanya terlihat sedih menatap putrinya yang saat ini menangis.

 

Tulang sepertinya tidak menyukai kami dijodohkan, tapi beliau tidak bisa berbuat apa-apa, Karena Nantulang sepertinya jauh lebih galak.

 

Oh jadi ia juga tidak menyukai perjodohan ini? Ini semakin menarik, kami berdua tidak menyukai pernikahan ini, lebih baik ngomong terus terang pada keluarga agar pernikahan ini di rundingkan kembali.

 

Sekarang aku mengerti kenapa dia bersikap dingin padaku, ternyata pariban kecilku ingin kuliah daripada menikah. Di satu sisi aku menyukai sikap itu.

 

Hal besar yang di sudah di rencanakan keluarga kami tidak mungkin kami batalkan begitu saja karena ini sudah kesepakatan orang tua, wasiat dari mendiang opung doliku atau kakekku.

 

Suka tidak suka pernikahan kami akan tetap berlangsung, ini juga keinginan Opung boruku atau nenekku yang saat ini sudah sakit-sakitan.

 

Baiklah, menikah saja tidak apa-apa , setidaknya Melani tidak menyukai pernikahan ini, berarti ia juga mungkin tidak keberatan jika aku tetap berhubungan dengan kekasihku walau kami sudah menikah, itulah yang aku pikirkan.

 

Hari ini, kami akan Martumpol Melani tampil anggun dengan polesan dan keajaiban tukang rias yang memoles wajahnya, pulau-pulau di wajahnya bisa tertutupi dan ia terlihat anggun dengan kebaya berwarna hijau.

 

Walau ia tidak menyukai perjodohan kami, tapi ia bisa bersikap tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa pada hatinya.

 

Padahal aku sudah melihat bagaimana ia berusaha keras menolak perjodohan ini, bukan hanya sekali, tapi dua kali kedapatan mataku memohon untuk menghentikan pernikahan kami agar ia bisa kuliah, tapi dua kali juga ia gagal membujuk kedua orang tuanya.

 

Kami Martumpol di Gereja sederhana di Pandiangan. Teman-teman Melani terlihat ikut juga mendampinginya dan selalu menemaninya saling bercanda, tapi Nia terlihat hanya tersenyum ringan.

 

Kenapa Ia bisa bersikap dewasa seperti itu, saat teman-temanya bersikap masih layaknya orang remaja yang masih suka labil. Tapi Melani lebih dewasa dari semua teman-teman sebayanya.

 

Walau ia diledekin sama teman-temannya, ia akan menanggapinya dengan tenang dan jawabannya yang terdengar lebih dewasa.

 

Acara martumpol sudah terlaksana, cincin sudah terpasang di jari-jarinya dan di jari-jariku.

 

“Ayo kita bicara berdua, aku ingin bicara dengan kamu kataku,” saat kami tiba di rumah setelah dari gereja.

 

“Ada apa bang?” wajah terlihat santai.

 

“Kita bicara di luar saja.” Aku, Berjalan di depannya.

 

“Ada apa bang?”

 

“Begini, aku dengar kamu tidak menyukai perjodohan kita. Aku tidak tau alasannya dan tidak mau tau juga alasannya, karena aku sendiri juga tidak menginginkan perjodohan ini, tapi aku memilih menuruti permintaan keluargaku demi menjalankan tradisi di keluarga kita, jadi aku berharap kamu mengerti apa maksudku, jadi ayo kita jalankan pernikahan ini,” ia terlihat bingung dengan kata-kataku.

 

Ia hanya diam, tatapan matanya kosong tidak bermakna, aku jadi berpikir apa kata-kataku terdengar kasar?

 

“Berapa tahun umurmu?”

 

“Apa umurku jadi hal yang penting buat abang saat ini?,” jawabnya dengan berani.

 

“Tentu, setidaknya aku tahu kalau wanita yang aku nikahi seorang anak kecil,”

 

“Kalau kamu sudah tahu aku anak kecil kenapa kamu masih mau menikahi ku?” jawabnya.

 

“Kan, sudah kubilang tadi, karena tradisi keluarga kita dari opung ke opung kita wajib ada yang marpariban .”

 

“Sejak kapan orang kota sepertimu yang tidak mengerti tentang filsafat adat bicara adat padaku?” katanya ekspresi wajahnya datar dan terlihat sangat dingin.

 

Dek!!

 

Aku merasa jantungku ingin melompat dari dadaku saat mendengar ucapannya.

 

“Bukankah kamu tidak terlalu kecil dan terlalu muda untuk bicara formal pada aku?”

 

Ia menarik nafas panjang, ia tidak suka jika aku memperlakukannya seperti anak kecil.

 

“Umur tidak menentukan orang bisa dewasa apa tidak itu benar, harusnya umur abang yang jauh lebih tua harusnya bicara yang mengayomi saya, bukannya bersikap sombong dan bersikap sok tahu segalanya,” katanya,

Kami berdua bertengkar, perempuan yang aku anggap sebagai anak kecil itu ternyata pola pikirnya cerdas dan berpikir kritis dan tajam.

 

“Aku tidak perduli dengan pikiran kamu, tidak peduli juga dengan keinginan kamu yang kuliah itu, aku hanya ingin menyelesaikan semuanya dan kembali ke Jakarta,” kataku ikut-ikutan marah.

 

“Kamu lelaki yang sok tahu.” Katanya meninggalkan aku.

 

Kenapa aku jadi ikut-ikutan marah sih, bukan seperti ini tadi yang aku inginkan , aku hanya berniat bicara baik-baik padanya, kenapa jadi ngelantur kemana-mana sih.

 

Saat hari itu Melani tidak mau bicara padaku, ia marah, setiap melihatku matanya sinis. Masih banyak acara yang kami lakukan sebelum pesta, saat orang bergembira menyambut satu pesta besar yang dilaksanakan di kampung itu tapi Melania sejak pertengkaran kami ia tidak mau keluar dari rumah, ia memilih semedi di rumah, tentu saja membuat semuanya jadi khawatir.

 

“Boasa dang olo si Mel ro tuson mangan, aturan na rap mangan, rap hundul do dohot halletna on,” (kenapa si Mel tidak datang ke rumah ini? harusnya ia sama-sama duduk )

kata nenekku.

 

Semua orang membujuknya untuk datang, tapi ia tidak mau melihatku, dari saat itu aku berpikir ia wanita yang berwatak keras.

 

“Aku harus meminta maaf tulang, Mi, semua yang ada di rumah ini, sebenarnya itu gara-gara aku, aku yang kemarin yang memarahinya makanya ia gak mau melihatku,” lebih baik bicara jujur di depan keluarga daripada ada masalah besar nanti.

 

“Kamu bagaimana sih, Nando ia orang yang baik dan sopan, sejak bicara bertemu denganmu kenapa malah berubah? Kamu harus bertanggung jawab, minta maaf padanya dan bawa dia kesini bagaimanapun caranya,” kata papi memaksaku mengajak Melani ke rumah nenek untuk makan bersama, rumahnya tidak jauh hanya jarak beberapa puluh meter dari rumah nenekku.

 

“Baiklah aku akan coba pi, kataku ragu, acara makan ditunda kalau Melani tidak datang.

Aku datang membujuk Mel berharap ia tidak marah.

 

Tok..tok...

 

Aku mengetuk rumah papan milik keluarga Melani.

 

Ia datang membukanya, di dalam rumahnya ada ,Betaria, Revina, Sina dan Wati keempat temannya

 

“..Eh abang datang kesini, mau lihat kita, iya,” kata Betaria.

 

“Tidak aku mau mengajak Melani” kataku menatapnya.

 

“Aku meminta maaf karena ucapanku yang waktu itu,” mencoba membujuknya.

 

Bersambung

 

 

 

Bab 6

Tragedi Sebelum Pernikahan


 

“Eh, abang datang kesini, mau lihat kita, iya,” kata Betaria bergurau, perempuan yang satu ini selalu buat lelucon tapi garing, berbeda dengan Revina yang terlihat lebih dewasa walau umurnya lebih muda dari mereka semua.

 

“Iya, aku mau mengajak Melani bicara empat mata, boleh?” kataku, melirik Melani yang duduk di pojok ruangan.

 

“Boleh saja, mau bayar berapa?” Sina merentangkan tangannya.

 

“Maksudnya .…?” Tanyaku bingung dengan tingkah anak-anak remaja teman-teman Melani

 

“Maksudnya jatah preman ,Bang."Wati menimpali.

 

“Baiklah, kami hanya bercanda, iya ela… mukanya serius amat kayak, kayak mau ujian kenaikan kelas saja,” kata Sina terkekeh.

 

“Boleh aku masuk?" kataku pada anak-anak perempuan itu.

 

Rumah berdinding papan dan berlantai papan itu rumah yang ditempati Melani, ia kurang suka saat melihatku sedang menyelidiki rumahnya, tidak ada kamar khusus untuk seorang anak gadis dewasa, dalam rumah itu hanya dipasang gorden panjang dan dua lemari sebagai pemisah atau sekat. Aku baru pertama kali melihat dengan jelas bagian dalam rumah Tulangku.

 

Tidak ingin merusak apa yang sudah disepakati para pemuka adat dan keluarga yang sudah menentukan hari yang tepat untuk melangsungkan pernikahan kami aku terpaksa mengalah, mengalah agar urusan pesta dan segala macam dapat terlaksana, tidak ingin berlama-lama di kampung. Maka meminta maaf pada gadis ingusan itu jalan yang tepat.

 

Tadinya agak berat hati, masa lelaki dewasa sepertiku harus meminta maaf pada anak kecil seperti Melani, tapi demi kebaikan mengalah tidak apa-apa .

 

“Duduklah Bang, keluar pun kami dari sini, ayo, woi…!” Teman Melani yang bernama Sina mengajak temannya keluar.

 

“Kita bicara disini saja, iya, Aku hanya mau bilang, aku ingin pernikahan ini cepat selesai, jadi, ayo kita saling berbaikan dan aku harus meminta maaf atas kata-kataku kemarin.”

 

“Baiklah,” hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, padahal aku sudah bicara panjang lebar sepanjang jalan tol, tapi jawabannya hanya ‘baiklah’

 

“Itu artinya, kita tidak ada masalah ‘kan?”

 

“Dari pertama kita memang tidak ada masalah, bang NaNando yang menjadikan jadi masalah.”

 

“Ok, baiklah, aku salah, jadi boleh kita pergi ke rumah Opung sekarang? kamu di tungguin di sana, kalau kamu tidak datang tidak acara makan katanya.”

 

Aku terpaksa membujuknya karena desakan Papi dan Mami padaku juga, sedangkan aku sudah mulai dirundung rasa jenuh, Tidak bisa dibayangkan aku dijauhkan dari ponselku, Ponsel sudah seperti kekasih kedua bagiku.

 

Belum lagi rasa rindu pada Mikha, ia pasti sudah menunggu kabar dariku, ia pasti sudah berpikir aku tukang bohong, tukang kibul, karena tidak ada satupun janji yang aku ucapkan pada Mikha aku tepati, salah satunya mengirim foto pemandangan Danau Toba.

 

Ia tersenyum kecil, Melani orang yang tidak terlalu banyak bicara, mempunyai banyak adik membuatnya cepat dewasa dan keadaan yang sulit menempanya jadi anak yang cepat berpikir dan mapan.

 

“Tidak ada hal seperti itu, mungkin orang itu sudah makan duluan, Abang duluan saja, nanti saya menyusul kesana.”

 

“Baiklah,” kataku mengangguk tanda setuju.

 

Benar, meminta maaf hal tepat untuk cepat menyelesaikan masalah, tidak peduli yang kamu hadapi anak kecil ataupun orang dewasa, kalau merasa salah maka minta maaflah.

 

Aku pun demikian, meminta maaf pada Melani, ia akhirnya datang dan kesalahpahaman bisa diatasi.

 

Tidak terasa aku sudah hampir dua minggu di kampung Melani. Tiga hari menjelang pesta semua perlengkapan untuk pesta sudah beres, mulai dari tenda, parhobas dan segala seksi-seksi, jika pesta yang biasa aku lihat di Jakarta.

 

Pihak pesta tinggal terima beres karena akan memberikan pada wedding organizer, tinggal terima beres, kalau tidak tinggal pesan catering dan gedung kalau pesta di Jakarta.

 

Tapi ini pestanya diadakan di kampung, tidak ada gedung yang jadi tempat pesta, halaman rumah Opung kami yang jadi gedungnya lengkap tendanya.

 

Seminggu sebelum pesta semua orang sudah sibuk, saat ini menjelang H-3 perlengkapan sudah lengkap.

 

Tapi, ada ungkapan yang mengatakan: Malang tak dapat ditolak untung tidak bisa diraih.

 

Manusia boleh berencana apapun tapi Tuhanlah yang menentukan.

 

Saat keluarga besar kami tengah berkumpul dan berdatangan dari perantauan untuk ikut menghadiri pesta pernikahan kami. Rumah Opung terlihat sangat ramai. Rumah adat yang terbuat dari kayu itu, dipenuhi anggota keluarga yang datang, anak-anak dan cucunya yang datang dari perantauan.

 

Untungnya, rumah adat itu di bagian belakangnya dibangun lagi bangunan permanen sebagai bangunan tambahan, jadi muat menampung keluarga besar kami, tidur berjejer seperti ikan asin, tapi dari situlah keunikan nya, saat bisa tidur ramai-ramai bersama semua keluarga.

 

Tidak ada yang menginginkan hari ini, bahkan tidak ada menduganya.

Hari itu, tidak ada lagi cahaya matahari memberikan nuansa jingga di hamparan langit luas. Saat aku duduk menikmati sore, seorang bapak-bapak berlari buru-buru ke rumah Melani. Tidak berapa lama suara tangisan terdengar memecah keheningan sore, tidak lama kemudian empat orang laki-laki dewasa terlihat menggotong tandu. Saat itulah mimpi buruk itu datang menghampiri keluarga besar kami terlebih aku dan Melani.

 

Aku masih duduk dengan bingung di ujung halaman, langit berwarna jingga semakin memudar menghilang di balik cakrawala.

 

Tangisan histeris itu memecah keheningan sore.

Apa yang terjadi, batinku ikut terpanggil, aku masuk ke rumah Melani.

 

Saat itulah aku merasakan lututku bergetar tak mampu menopang berat tubuhku.

 

Terlihat Tulangku, bapak Melani terbujur kaku dengan luka parah di bagian kepala dan bagian dada.

 

Tangisan semua keluargaku mengisi seluruh rumah bahkan seluruh kampung, otakku belum mampu mencerna terlihat sebagai mimpi yang mengerikan

 

Bagaimana mungkin Tuhan? besok lusa kami akan menikah tapi ini sudah terjadi, bagaimana ini?

 

Opung ku pingsan, diikuti nantulang ku, mataku begitu berat terlihat Melani menangis di atas tubuh lelaki yang sudah terbujur kaku itu.

 

Apa yang terjadi? baru beberapa jam yang lalu tulangku sehat-sehat saja bahkan beliau masih berpamitan padaku.

 

Tadi saat tulangku mau berangkat membawa alat-alatnya, aku masih meminta ikut menemani, tapi tulang melarang, tidak bagus calon pengantin bepergian itu yang dikatakan nya, ia mengajak adik Melani untuk ikut menemaninya.

 

Tulang selain berladang beliau juga maragat atau menyadap tuak dari pohon aren (Tuak minuman khas orang batak)

 

Disela-sela tangisan histeris keluargaku, bapak yang menolong tulang menceritakan kronologi nya.

 

Tulang terjatuh saat memanjat pohon aren dan terjatuh ke sungai, kepalanya mengenai batu sungai yang keras, parang besar milik tulang melukai bagian dadanya.

 

Adik Melani yang melihat bapaknya terjatuh, berlari meminta bantuan orang-orang di dekat ladang.

 

Tapi nyawanya tidak terselamatkan karena luka parah di bagian kepala dan dadanya.

 

Tuhan memanggilnya dengan caranya sendiri, tidak ada firasat, bahkan saya sendiri tidak merasakan Firasat pada tulang saat ia pergi tadi, ia hanya ia tersenyum padaku.

 

“Bagaimana ini? Bagaimana dengan pesta si Melani?

 

Meninggalnya tulangku, bagaimana sebuah mimpi di siang bolong pada keluarga kami, kesedihan, tangisan terdengar pilu di rumah Oppung.

 

Mimpi buruk pada keluarga besar kami, terlebih untuk Melani, ia tidak sedikitpun berdiri dari samping Tulang, hingga besoknya tulang kami dimakamkan.

 

Tapi besoknya, akan ada pesta pernikahan kami, bagaimana selanjutnya? semua undangan sudah disebar dan tenda saat Tulang meninggal tidak di buka lagi.

Hidup mati rahasia Tuhan, hanya Tuhan yang tahu kapan hidup manusia berakhir.

Bersambung...



Bab 7

Tetap Menikah Walau Berduka

Mimpi buruk pada keluarga besar kami, terlebih untuk Melani, ia tidak sedikit pun beranjak dari samping jenazah tulang, hingga besoknya tulang kami dimakamkan.

 

Tapi besoknya, akan ada pesta pernikahan kami, bagaimana selanjutnya? semua undangan sudah disebar dan tenda saat tulang meninggal tidak di buka lagi.

 

Hidup mati rahasia Tuhan, hanya Tuhan yang tahu kapan hidup manusia berakhir.

 

Setelah mimpi buruk itu, mimpi buruk yang lainnya juga datang.

 

Melani menolak untuk melanjutkan pernikahan, aku sendiri pun tidak akan tega, air mata masih di pelupuk mata, bagaimana kami menjalankan pernikahan ini.

 

Semua orang membujuk Melani agar melanjutkan pernikahan yang sudah ditentukan, tapi ia menolak dengan deraian air mata.

 

“Bagaimana aku mau menikah, bapak baru juga dikuburkan.”

 

Semua orang memakluminya, bahkan nantulangku mamanya Melani masih juga terlihat shock, masih terus menangis, Nantulang belum percaya serasa mimpi.

 

Ini bukan tentang biaya puluhan bahkan ratusan juta yang sudah terpakai untuk persiapan pesta kami. tapi ini sudah musibah besar untuk keluarga kami.

 

Suara-suara sumbang seperti lebah mulai bermunculan dari orang-orang kampung yang mulai bergosip.

Bahkan orang-orang bermulut lemes itu mengatakan, semua sial untuk pernikahan kami, ini pertanda buruk untuk kami, bahkan larangan untuk meneruskan pernikahan kami.

 

Tapi siapa yang tahu apa itu karma dan kutukan, setidaknya orang yang punya Tuhan tetaplah percaya Tuhannya.

 

Mami terlihat terpukul, ia banyak diam tidak berani mengutarakan keinginannya. Di satu sisi, ia hanya mengikuti wasiat almarhum kakekku, dan sisi lain bagaimana mami meneruskan pernikahan ini saat banyak orang mengatakan jangan di teruskan, ia bingung, belum lagi biaya dan seluruhnya yang sudah habis untuk biaya pesta pernikahan kami dan ongkos pulang pergi kami.

 

Tidak ada yang menduga akan seperti ini, semua keluarga begitu terpukul, apa lagi oppung kami, melihat anaknya meninggal mendahuluinya, itu satu siksaan tersendiri bagi orang tua Batak.

 

Tidak ada lagi keceriaan dan tawa untuk penyambutan pesta meriah.

 Yang ada hanya tatapan hampa dan tangisan-tangisan sedih terdengar di dalam rumah.

 

Keluarga berkumpul yang tadinya untuk pernikahan kami, malah menyaksikan kepergian tulang ke alam baka.

 

Melani jangan ditanya. Perempuan remaja itu hanya menangis sepanjang hari, beruntung ia punya keempat temannya, Revina, Betaria, Sina, Wati mereka berempat selalu mendampingi Melani.

 

Kesedihan Melani jadi kesedihan teman-temannya juga, tidak ada lagi tingkah saling dorong-dorongan, tidak ada lagi ketawa-ketawa dan saling berbisik, mereka ikut larut dalam kesedihan sahabatnya.

 

Melihat semua keluarga tidak ada yang membuat keputusan, padahal waktunya tinggal besok, jika besok tidak jadi semuanya akan sia-sia.

 

Keluarga besar sudah berunding, tapi belum menemukan titik terang. Jalan satu-satunya hanya aku dan Melani yang membuat keputusan.

Aku memutuskan bicara dengan Melani.

 

“Kita bicara sebentar ,iya,” kataku mengajak nya keluar. Matanya terlihat sangat bengkak.

 

“Kalau abang ingin membicarakan pernikahan itu lagi, aku tidak mau,” katanya, ia menolak.

 

“Baiklah, dengarkan aku dulu, baru kamu yang memutuskan, saya pikir kamu bukan anak-anak lagi, saya rasa kita berdua yang menentukan bagaimana akhirnya. JIka besok kita tidak menikah beban keluarga akan bertambah, apa yang sudah dikerjakan tulang dan keluarga kita akan semua sia-sia, waktu, tenaga dan uang, kamu akan dicap wanita yang gagal menikah dengan aku… ini berat memang buat kamu, buat aku juga, buat keluarga kita. Tapi kita harus membuat keputusan yang tepat.”

 

“Bang, bagaimana aku melakukannya, aku pasti akan menangis terus.”

 

“Tidak apa-apa, itu wajar, begini… Besok…jika kita menikah, nantulang setidaknya beban pikirannya lepas dan –“

 

“Aku tak sanggup,” jawabnya terlihat lemah, aku memegang tangannya.

 

“Bukannya kamu ingin kuliah, mari kita buat kesepakatan, kita akan tetap menikah, aku akan mendukungmu kuliah, aku tidak akan menuntutmu apa-apa dan tidak mengurusi pribadimu dan kamu juga tidak akan mengurusi pribadiku, aku akan membantu nantulang tiap bulan untuk biaya hidup, tanpa Mami tau.”

Ia tiba-tiba terdiam, matanya menatap dengan serius.

 

“Aku tidak mengerti maksudnya,” kata Melani terlihat masih belum konek.

 

“Begini… kasarnya, kita hanya melakukan pernikahan saja, kamu tidak mengurusi pribadiku dan aku akan mendukungmu untuk kuliah dan membantu biayanya.”

 

Ia lama berpikir meremas punggung tangganya.

 

“Mari kita bantu keluarga kita keluar dari situasi ini, jika pernikahan besok batal, semua akan bertambah pusing, kita doakan saja Tulang tenang di sisi Tuhan,” kataku.

 

“Baiklah.”

 

“Kamu setuju kan? Agar kita bicara pada keluarga.”

 

“Baiklah.”

 

“Baiklah, pakai sarung biar kita masuk ke rumah opung, kita jelaskan semuanya.”

 

Untungnya dalam situasi seperti ini Melani dapat diajak bicara baik-baik.

Walau ada keluarga yang keberatan dan ingin menunda pernikahan.

 

Masih ada juga mulut orang kampung yang berkata pernikahan pembawa sial.

 

Kami masuk, aku sengaja menggenggam tangan Melani untuk memberinya kekuatan dan sisi lain ingin menepis omongan orang yang mengatakan perjodohan kami karena paksaan.

 

“Kami sepakat pernikahan tetap dilangsungkan besok , saya dan Melani memutuskan tetap melaksanakannya, bukannya kami tidak bersedih atas kepergian Tulang, tapi tidak ingin kerja keras Tulang yang ikut menyiapkan pesta jadi sia-sia.”

 

Disambut baik keluarga, Melani juga sudah terlihat tegar, oppung juga mamanya Melani mencoba tegar.

 

Pagi-pagi semua keluarga ke makam tulang untuk minta izin. Melani terlihat mulai kuat, hanya oppung kami dan mamanya Melani yang beberapa kali pingsan.

 

Hari pernikahan kami akhirnya tiba, ini akan jadi pernikahan yang berat dan akan terus terukir dalam hati kami,

Pernikahan dan kematian akan dua sisi yang membekas seumur hidup untuk Melani dan aku.

 

Keluarga kami tidak ada wajah ceria walau sudah berdandan cantik, tapi mereka semua tampak masih dibalut kesedihan, tidak ada suara musik pengantar acara pesta.

 

Hal yang paling di penting saat ini hanya ingin diberkati, di setiap acara hanya tangisan dan kesedihan yang terlihat dalam acara Gereja .

Hingga tangan pendeta akhirnya menopang diatas kepala kami berdua. Janji suci sehidup semati telah diucapkan di hadapan Tuhan dan dihadapan manusia.

 

“Apa yang dipersatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan Manusia”

 

Aku sudah resmi menjadi seorang suami. Suami untuk Melani.

 

Pernikahan ini diiringi tangisan sepanjang acara dalam gereja.

Gereja sederhana di Huta Pandiangan jadi tempat pernikahan kami.

 Alunan lagu rohani jadi pengantar tangisan semakin sedih untuk keluargaku yang ikut dalam acara pemberkatan.

 

“Jangan menangis lagi,” kataku pada Melani, aku menggenggam tangannya, walau kata-kataku tidak berhasil tetap saja sungai kecil dari pipinya mengalir deras sepanjang acara.

 

Acara yang sudah disusun banyak di potong habis, tidak akan ada lagi manortor dan marembas dan saweran dan tidak akan ada lagi sumbangan lagu-lagu untuk pengantin.

 

Hanya pesta adat sederhana yang penting ada (suhi ampang na opat)yang dimaknai empat sisi bakul: 

*Holong: Kasih

*Dame:Damai

*Lasniroha:Suka cita

*Harapan.

 Biasanya kalau di kampung pesta sampai malam kadang sampai jam sembilan malam baru selesai.

 

Tapi saat ini, di pesta kami tidak sampai sore, karena masih diliputi duka yang sangat dalam.

 

Tatapan mata semua orang melihat aku dan Melani begitu iba, Melani, entah berapa banyak air mata yang ia tumpahkan saat pesta berlangsung.

 

Keempat teman Melani ikut larut dalam kesedihan, Betaria yang berperan jadi Panaru (pendamping pengantin) kami terlihat sangat sabar di samping Melani.

 

Segala nasehat sudah kami terima doa dan harapan dan air mata semua kami lalui hari ini.

 

Akhirnya pesta selesai juga, lega rasanya, aku merasa beban seberat itu terangkat. Selama hampir dua Minggu di kampung, aku merasa memikul beban yang sangat berat.

 

Saat ini aku sudah suami sah bagi seorang Melani.

 

Bersambung...

 



Bab 8

Pulang ke Jakarta

Akhirnya pesta selesai juga, lega rasanya, aku merasa beban berat itu lepas dari pundakku.

Selama hampir dua minggu di kampung, aku merasa memikul beban yang sangat berat.

 

Saat ini aku sudah sah suami bagi seorang Melani, pariban kecilku.

 

Dua hari setelah pesta usai, kami sudah menyelesaikan silaturahmi pada keluarga di kampung.

 

Sebenarnya keluarga masih meminta kami untuk tinggal lebih lama, karena adatnya setelah selesai pesta pernikahan, biasanya kita pengantin baru diundang makan di rumah keluarga dekat.

Kami terpaksa melewatkan tradisi itu karena aku meminta untuk pulang ke Jakarta lebih cepat, karena ada pekerjaan yang mendesak. Sebenarnya bukan masalah pekerjaan yang mendesak, tapi hatiku yang mendesak ingin menemui seseorang.

 

Tapi sebelum pulang ke Jakarta sudah satu tradisi di keluarga besar kami setiap ada acara atau syukuran akan makan hidangan khas Batak Toba. Naniura atau sushi Orang Batak masakan khas dengan rasa andalimannya yang bergetar di lidah.

Ikan mas tidak dimasak hanya dibalut dengan asam dan bumbu berwarna kuning.

 

Aku dan Melani akhirnya memutuskan untuk berangkat lebih dulu dari kedua orang tuaku pulang ke Jakarta.

 

Teman-teman akrab Melani, Betaria, Revina, Sina,Wati memeluknya dengan tangisan, kini keempat anak remaja itu sudah ditinggalkan salah satu teman akrab mereka.

 

Melani terlihat sangat tegar, sedangkan Nantulang mamanya Melani terlihat diiringi tangisan untuk melepas putrinya, sepanjang perjalanan mengantar kami ke labuhan kapal di Pandiangan. Nantulang memeluk Melani air mata nya tidak berhenti mengalir dan nasehat-nasehat seorang ibu, ia bisikkan pada Melani, Melani atau Istriku hanya menganggukkan kepalanya.

 

Tiba di labuhan Pandiangan, kapal yang yang akan menyeberangkan kami dari Danau Toba ke bandara Silangit akhirnya datang.

 

Disitulah tangisan Melani pecah, ia menangis saat melihat adik-adiknya menangis melepas kepergiannya.

 

“Sudah, sudah, kapal akan segera berangkat,” tanteku, atau Bounya Nattania yang menemani kami pulang, Tante, menuntun tangan Melani menaiki kapal.

 

Kapal perlahan meninggalkan pelabuhan, aku dan Melani masih terlihat sangat kaku, ia sifatnya pendiam dan aku yang belum mengenalnya sepenuhnya membuat hubungan kami sangat kaku. Kaku dan kering seperti kulit kerbau yang jemur.

 

Dalam kapal, sesekali ia masih terlihat menyeka air matanya dengan punggung tangannya, harusnya aku sebagai suaminya menyenderkan kepalanya di pundakku, memberikan punggungku untuk ia menyandarkan kepala, tapi aku tidak melakukannya.

 

Aku belum siap, aku belum siap jadi seorang suami untuk Melani, aku butuh waktu untuk menerimanya sebagai istriku, aku harus minta maaf akan hal itu.

 

Akau dan Melani butuh tahap pengenalan, ia memang sepupuku tapi aku jarang bertemu dengannya, pernah beberapa kali itupun waktu kecil.

 

Jika aku disalahkan karena belum bisa menerimanya itu wajar. Tapi, hati dan perasaan seseorang tidak bisa dipaksakan, akan lebih menyakitkan bagi Melani jika aku berpura-pura tahu tentang dirinya dan aku bersikap seolah mencintainya.

 

Tapi maaf untuk seluruh keluargaku, hatiku saat ini masih ada yang punya.

 

Aku sebenarnya merasa kasihan pada Melani atas segala yang terjadi pada kami. Tapi… sebagian besar hatiku, tertuju pada kekasihku Mikha, selama dua minggu tidak bertemu dengannya, aku merasa sudah hampir satu tahun. seandainya aku punya sayap, aku akan terbang mendahului pesawat yang akan kami naiki, hanya untuk bertemu dengannya.

 

“Nando, coba kamu tanyakan di bawah sudah ada jualan nasi belum, Melani dari rumah belum serapan,” kata tanteku menatapku dengan tajam.

 

Bagaimana tidak menatapku dengan tajam, karena sejak Mami mengembalikan ponselku tadi, mataku dan perhatianku jadi terfokus pada benda yang satu itu.

 

Mataku menatap dengan fokus benda hitam persegi empat itu, karena saat disita sama Mami hampir dua minggu, aku merasa berada di planet lain tanpa ponsel di tangan ku.

 

Maka saat di kembalikan lagi padaku, tentu saja aku melakukan satu hal melihat pesan masuk dari Mikha dengan jantung

 

~dak… dik …duk~

 

Tanganku mengusap dagu, mataku masih dengan serius melihat pesannya yang berjubel banyaknya.

 

“Fernando Situmorang…!” panggil tanteku , mengalihkan mataku dari ponsel, “Kamu gak dengar Tante tadi bilang apa?” melihatku lagi-lagi dengan mata menyelidiki.

 

“Apa tadi, Tan?”

 

“Ah, kamu benar benar deh,” katanya, wajahnya marah, ia meninggalkan kami berdua duduk.

 

Kami duduk dalam diam dengan Melani, kecanggungan masih terjadi pada kami berdua, padahal kami sudah pasangan suami istri. Untuk malam pertama jangan tanya, aku belum menyentuhnya.

 

Menurutku, Melani masih terlalu kecil untuk hal itu, dan aku pun belum berniat melakukan kewajibanku sebagai suami untuk saat ini.

 

Aku sibuk dengan ponselku, Melani sibuk dengan pikirannya sendiri. Saat kami duduk dengan diam seseorang datang lelaki masih muda menghampiri Melani.

 

“Melani..!tudia ho?”( mau kemana kamu?”) wajahnya tampan, masih muda, seumuran dengan dengan Melani.

 

“Eh, Aldo, naeng tu Jakarta mangihuthon amattaku.” ( mau ke Jakarta bersama suamiku) kata Melani, Ia menatapku.

 

“Bang, ini Aldo, ia teman satu sekolahku,” Melani memperkenalkan temannya, walau aku tidak peduli dengan hal itu, tapi ia terlihat dewasa saat memperkenalkan temannya padaku.

 

Hal yang sangat wajar, karena aku adalah suaminya.

 

“Hai bang ,aku Aldo situmorang,” menyodorkan tangannya.

 

“Hai bro,” sapaku singkat tanpa basa-basi dan kembali terfokus pada layar ponselku, membaca ratusan bahkan ribuan pesan masuk dan email masuk.

 

Merasa aku tidak terlalu begitu peduli pada mereka, Aldo memilih duduk di bangku agak jauh dari kami.

 

“Bang, aku ngobrol sebentar sama teman, iya!” Melani, meminta izin untuk duduk bersama teman satu sekolahnya.

 

“Iya, kataku tanpa protes, hanya menoleh sebentar dan kembali ke layar ponselku.

 

Tidak beberapa lama lagi Tanteku sudah datang membawa nasi di tangannya, melihat Melani bersama pria lain, tante malah marah.

 

“Kamu bagaimana sih Tan, bukanya jaga Melani malah main hape mulu sih,” tanteku mengomel.

 

“Itu dia, Tan. lagi ngobrol sama teman satu sekolahnya.”

 

“Itu dia maksud Tante, Nando, kalian masih pengantin baru, ia sudah duduk mengobrol dengan lelaki lain dan kamu seolah tidak peduli, nanti apa kata orang, Nando,” kata tanteku, lagi-lagi ia merepet, sejak naik kapal entah sudah berapa kali tanteku mengomel padaku karena sikapku yang acuh pada Melani.

 

Kami tiba di Muara dan dari Muara ke Bandara Silangit, kami turun dari mobil lelaki yang bernama Aldo ikut juga.

 

Bukannya peduli akan hal itu. Tapi aku sedikit penasaran, sejak ia turun, matanya hanya menatap Melani, Melani terlalu sibuk, ia sibuk mengurus koper bawaan kami hingga tidak menyadari tatapan lelaki muda berkulit putih itu.

 

Aku tidak merasa terusik sedikitpun.

Bersambung...



Bab 9


Pertama Kali Naik Pesawat

 

Aku tidak merasa terusik sedikitpun, hanya aku berpikir saat itu, apa yang ia pikirkan pada Melani, karena sorot matanya terlihat sayu menatap Melani.

 

Saat kami berada di ruang tunggu pesawat, Aldo berada ditempat yang sama dengan kami.

 

Sebagai seorang lelaki dan Sekaligus suami Melani aku penasaran pada lelaki remaja itu, karena dari tadi matanya hanya menatap Melani, aku memilih duduk di sebelah.

 

“Mau ke Jakarta juga?"tanyaku penasaran, lama-lama aku terusik juga dengan dengan matanya yang selalu menatap kami sejak dari tadi.

 

“Iya bang’ saya mau ke Jakarta ke rumah kakak."

 

“Kenapa lihatin Melani dari tadi, apa ada masalah?" Aku sengaja menatapnya dengan tajam, agar ia tidak melakukannya lagi.

 

“Tidak, tidak ada Bang,” gelagapan dan pergi meninggalkanku.

 

Melani dan Tante baru saja datang dari toilet, jadi tidak menyadari aksiku yang menggertak anak ingusan itu. Melani juga sepertinya tidak tau kalau temannya memperhatikannya sejak tadi, ia duduk kembali dengan buku di tangannya, saat anak-anak sebayanya memegang ponsel, ia tidak melakukannya.

Sejak aku tiba di kampung belum pernah aku melihatnya memegang ponsel.

 

'Apa ia tidak punya alat komunikasi itu?' saat teman sebayanya sudah menjadikan benda yang satu itu barang paling utama,tetapi ia malah berbeda, ia menjadikan buku untuk menemaninya.

 

Sedikit tentang penampilan Melani, pakaian yang ia kenakan mungkin hanya pakaian itulah yang terbaik yang ia punya, ia memakai celana kulot berbahan karet dan dipadukan kemeja berwarna putih dan sepatu sneaker berwarna putih juga, dari penampilannya aku bisa melihat kalau ia pribadi yang sabar dan pintar.

 

Umurnya yang boleh di bilang sangat muda, tapi ia bisa menyesuaikan dengan lingkungan dan keadaanya.

 

Aku penasaran dengan buku yang dibaca anak remaja seperti dia, matanya terfokus pada buku yang ia pegang

 

Aku duduk di bangku kosong di sampingnya, aku duduk di sampingnya saja, ia bahkan tidak mengalihkan pandangan matanya dari buku tebal seperti Kamus.

 

Aku melirik bacaan buku yang dipegang Melani: Panduan Sukses Masuk perguruan Tinggi TPA.

 

Oh… ternyata tekadnya untuk kuliah tidaklah main-main, karena saat anak remaja yang lain sibuk pegang gadget Melani sibuk mengisi otaknya dengan membaca buku, melihatnya saja pegang buku aku yang langsung mengantuk.

 

Sebenarnya aku juga penasaran dengan sikap diamnya, apa itu sikap diam alami atau ia jadi pendiam karena keadaan yang ia alami saat ini?

 

“Aham,” aku terpaksa pura-pura batuk kecil. Ia baru mengalihkan matanya ke arah ku.

 

“Abang mau minum kopi?”

 

“Ada?"

 

“Ada, matanya mengarahkan ke salah satu kantin sederhana.

 

“Boleh, boleh, kita berangkatnya masih ada waktu 20 menit lagi"

 

Ditemani segelas kopi kembali duduk di samping Melani, ia kembali diam.

 

“Kamu gak mau kopi?” aku bertanya sebagai awal untuk mengawali obrolan.

 

“Tidak suka kopi bang."

 

“Ayo…! Pesawatnya sudah ada.”

Wajah Melani terlihat sangat menegang , aku berpikir ia merasa sedih karena akan meninggalkan kampung halamannya.

 

Hingga kami masuk ke dalam pesawat tujuan Halim Perdana kusuma. Saat mau naik ke dalam ke pesawat Melani terlihat mulai ketakutan, ia duduk di sampingku beberapa kali mengusap keringat di dahinya.

 

Harusnya aku bertanya ada apa dengannya, kalau tidak harusnya ia memberitahukan pada kami, kalau ini pertama kalinya ia naik pesawat agar kejadian yang memalukan itu tidak terjadi.

 

Saat Pesawat take off wajahnya memutih seperti kapas dan memegang kursi dengan kuat, saat pesawat mulai terbang ke atas tidak diduga musibah memalukan terjadi.

 

“Uaak ...!"

 

Ia mengeluarkan isi perutnya dan mengotori kursinya dan aku juga kena, yang paling gilanya lagi, kursi penumpang di depannya ikut kena juga.

 

Hal yang menjijikkan dan memalukan , bahkan baunya ikut membuatku ingin muntah juga.

Malu, bau, kotor itu yang aku alami, semua mata melihat ke arah kursi kami berdua. Aku tidak menolongnya karena kau sendiri orang yang jijik.

 

Untungnya para pramugari cantik itu sabar dan menolong.

 

“Adiknya?

 

“Iya adik,” jawabku singkat. Aku malu melihatnya seperti itu ,aku terpaksa berdiri dan tidak mengaku mengenalnya, karena aku sudah kesal karena bajuku ikut kotor.

 

“Tante pindah kesini…! Ini menjijikkan, harusnya dia bilang ini baru pertama kalinya naik pesawat," kataku kesal.

 

"Ih, kamu bagaimana sih, Nando, itu istri kamu, olesin minyak gosoklah."

 

“Ah tante saja, aku orangnya jijik an,” kataku Aku malu dengan sikap kampungan Melani.

 

Terpaksa membuka jaket dan hanya mengenakan kaos tipis.

Berpindah tempat duduk dengan tanteku dan aku duduk akhirnya di tempat tanteku di barisan kursi di sebelah Melani.

 

Kalau ditanya kesal , iya sangat kesal dan merasa malu.

 

Melani terlihat beberapa kali muntah, mungkin tubuhnya terkejut dan ia merasa panik, maka itu ia muntah, tapi seharusnya ia bilang sama kami jadi ada antisipasi agar jangan memalukan seperti saat ini.

 

Mata semua orang pada terarah padaku. Melani juga sudah terlihat sangat lemas dan bajunya sudah sangat kotor.

 

Untungnya, ada tante bersama kami kalau saja tadi kami berangkat berdua, aku tidak tau lagi bagaimana tadinya mengurus Melani. Tante dengan sabar mengoleskan minyak angin ke badannya dan memintanya tidur.

 

Akhirnya pesawat landing dan ia kembali lagi mendapat serangan dari tubuhnya, entah berapa kali ia memuntahkannya.

Karena terlalu pusing, ia tak sanggup lagi hanya untuk berdiri.

 

“Aku tidak bisa jalan."

 

“Terus kamu mau apa?” kataku, “sungguh… saat itu aku hanya terbawa emosi.

 

“Tunggu sebentar lagi, aku tak mampu menapakkan kakiku, aku pusing dan lemas,” kata Melani, tapi aku memilih keluar dan menunggu di luar pesawat, untungnya seorang petugas dan pramugari membawa kursi roda dan membantunya.

 

Aku mau rasanya cepat-cepat ingin menghilang dari tempat itu, karena masih ada mata orang yang menatap kami dengan tatapan seakan-seakan menertawakan.

 

Tidak berapa lama setelah di jemput supir, akhirnya tiba juga di rumah.

 

Aku langsung naik ke kamarku mengunci dari dalam tidak ada orang lain boleh masuk, memang seperti itulah kebiasaan ku setiap harinya, tidak ingin di ganggu.

Karena Arnita adik perempuanku yang sering kami panggil di rumah si jabir artinya cerewet, sering masuk ke kamu dan mengoceh ini, itu, itu alasanku mengunci pintu kamar.

 

Bahkan aku tidak sadar kalau aku saat ini sudah menjadi suami Melani.

 

Aku berniat berendam diri di kamar mandi, perjalan hari ini sungguh melelahkan dan memalukan untukku, kalau sudah seperti ini, ingin rasanya aku di manjakan Mikha.

 

Di Dalam kamar mandi aku hanya melilitkan handuk di pinggang dan memegang ponselku, niatku ingin mengabari Mikha minta bertemu dan…

 

Tok ... tok ...

 

Suara ketukan di pintu, aku pikir adikku yang datang mengganggu ketenanganku ternyata Melani.

 

BERSAMBUNG

 

 

 

 

Bab 10

 

 Antara Istri dan Kekasihku

 

 

Melani berdiri di pintu kamarku dengan tante dan kakak perempuanku Eva yang saat ini sedang mengandung anak pertamanya, kak Eva tidak ikut menghadiri pesta pernikahan kami karena saat ini usia kehamilannya memasuki delapan bulan, maka itu ia tidak ikut tidak pulang.

 

“Lah, kamu bagaimana Nando, ini Melani kamu tinggalin, maksud kamu, ia mau tidur dimana?” tanya tante.

 

“Oh, iya ampun aku lupa,” kataku menepuk jidat sendiri.

 

“Hadeh, baru kemarin punya istri sudah lupa, bakalan berat ini,” Kata Arnita menimpali

 

“Tidak tau nih, si NaNando,” kata kak Eva tangannya mengusap-usap perutnya yang Buncit, kak Eva sejak hamil kadar cerewetnya meningkat drastis.

 

“Aku hanya ingin mandi tante, sini masuk, sana kalian semua…!” kataku mengusir wanita-wanita cerewet itu.

 

Aku membantunya menarik koper Melani, aku tau ia pasti canggung masuk ke kamar orang lain.

 

“Masuk Mel, ini kamar kita,” kataku, meletakkan kopernya tanganku yang satu memegang kuat handuk yang dililitkan di pinggang, aku tidak mau handuknya terlepas membuat istri kecilku terkejut nantinya.

 

Aku tau gadis kecil ini belum siap untuk melakukannya tugasnya sebagai istri.

 

“Iya bang,” tapi matanya tidak mau menatapku, ia memilih melihat kearah lain.

 

“Kamu bereskan saja barang-barang mu, itu lemariku, aku rasa bajumu masih muat didalamnya.”

 

“Iya bang.”

 

Kriiiing

Kriiing

 

Saat aku menjelaskan keadaan kamarku pada Melani, Mikha menelepon.

 

“Aku mau mandi dulu iya, aku sudah sempat mau mandi tadi.”

 

“Iya,’ ia mengangguk.

 

“Tapi kamu boleh mengganti pakaianmu dulu? Baunya tidak enak bikin kepalaku pusing.”

 

“Iya bang, abang masuk saja dulu nanti aku pasti ganti,” ia menunduk merasa malu.

 

Karena kejadian di pesawat hari ini sungguh sangat memalukan baginya. Tapi sebenarnya bisa saja kita maklumi kalau saja ia mengatakannya terlebih dulu pada kita kalau itu pertama kali ia naik pesawat.

Tapi sayang, Melani tidak melakukannya.

Aku masuk kembali kedalam kamar mandi.

 

“Halo sayang.”

 

“Kamu masih mau menerima teleponku, aku kira kamu sudah melupakanku,” suara Mikha seperti tangisan, membuat hatiku sedih.

 

“Aku merindukanmu sayang , tunggu aku di sana, aku datang, iya.”

 

“Aku juga merindukanmu, datanglah kesini,” kata Mikha di ujung telepon.

 

Tidak perlu berlama-lama dikamar mandi, aku keluar, Melani duduk di kursi dekat meja kerjaku, lagi-lagi ia membaca buku.

 

“Hobi bangat baca buku,” kataku.

 

Ia menoleh ku sebentar, tiba-tiba wajahnya memerah karena aku hanya mengenakan handuk, tapi kegugupannya dan kecanggungan nya bisa disembunyikan dengan sikapnya yang tenang.

 

“Kamu boleh mandi, aku sudah selesai.”

 

Ia mengangguk lalu membawa pakaian gantinya sekalian ke kamar mandi. Aku sudah membuat janji ingin menemui Mikha.

 

Tapi saat Melani keluar dari kamar mandi, aku berpikir ini kesempatan ku untuk minta izin padanya untuk keluar, jika aku minta izin pada kak Eva yang ada ia akan menyelidiki, jika ke tante ia akan merepet dan marah-marah, jika pamit pada si bontot yang ada ia berkokok sampai pagi, cerewetnya minta ampun.

 

Jalan satu-satunya pada Melani, aku ingin pamit padanya, alasan untuk menemui teman-temanku, baru ingin, mau ngomong.

 

Tok…Tok...

 

Suara pintu kamar, si jabir sudah berdiri di sana, entah apa yang dipikirkan bocah si jabir itu, matanya menatap kami bergantian, apalagi saat melihat Melani baru selesai keramas

 

“Apa?”

 

“Abang sama Eda ditunggu di bawah.”

 

“Sama siapa?”

 

“Ada keluarga yang datang, ingin memberi ucapan selamat untuk kalian berdua.”

 

Oh, seperti itulah tradisinya jika ada famili yang baru menikah di kampung, dan pengantin kembali ke Jakarta. Keluarga dan teman yang tidak ikut menghadiri pesta akan datang dan membawa kado kalau tidak amplop memberi ucapan selamat.

 

Saat turun ke bawah beberapa sudah menunggu kami. Tidak ingin bersikap tidak sopan. Aku terpaksa membatalkan pertemuanku lagi dengan Mikha dan aku terpaksa mematikan ponselku, karena sudah ada banyak keluarga yang datang hingga malam.

 

Aku sangat lelah karena perjalan dari kampung hari ini.

 

“Aku tidur dulu iya, tan capek bangat,” minta izin tidur duluan.

 

“Baiklah, sana, bawa Melani sekalian.”

Tapi, tiba-tiba menghampiri dan membisikkan sesuatu, aku pikir ada hal yang penting ternyata ia hanya bercanda.

 

“Pelan-pelan bro, kasihan bini loe masih kecil,” bisik Agus temanku, ia terkekeh.

 

“Dasar sudah sana.”

 

Tidak peduli dengan tatapan keluarga dan teman-teman aku ijin tidur duluan, karena memang aku sudah sangat lelah. Lelah hati, lelah tubuh, lelah otak.

 

Melani juga ikut, tapi aku tau ia terlihat takut-takut.

 

“Kita perlu bicara sebentar,” mengajak Melani untuk bicara empat mata menyuruhnya duduk. “Kamu masih ingat’ kan perjanjian kita?” ku menatap dengan tatapan serius, berharap ia mengerti.

 

“Iya bang, ingat,” katanya tapi dengan wajah menunduk ia terlihat sangat sungkan.

 

“Seperti yang aku katakan di kampung waktu itu, aku tidak akan mengurusi pribadi kamu dan begitu juga sebaliknya.”

 

Aku menarik nafas panjang, sebelum meneruskan obrolan kami, aku melihat wajah Melani terlihat pucat dan ketakutan.

 

Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan dan apa yang membuatnya ketakutan, aku berharap, ia tidak berpikir macam-macam.

 

“Melani’ begini… ‘ aku belum bisa mencintai kamu, aku butuh waktu dan membiasakan diriku untuk situasi kita saat ini dan… aku belum bisa melakukan kewajiban ku sebagai seorang suami, kamu tahu maksudku kan? Jadi kamu tidak perlu takut, kita akan mencari kampus yang cocok untuk kamu kuliah aku akan menepati janjiku.”

 

“Aku mengerti bang, aku akan menurut sama Abang.”

 

“Maksudku bukan begitu, Ta, saat ini situasinya , aku hanya butuh waktu, itu saja,” kataku mencoba menjelaskan.

 

“Baiklah, aku melakukan semua yang Abang suruh,” lagi-lagi kata itu lagi yang ia ucapkan, aku bisa menangkap kalau ia benar-benar pasrah dan bergantung padaku.

 

“Netania’ bukan seperti itu maksudku tapi… sudahlah, intinya ini jadi rahasia kita berdua, aku yakin besok pagi orang –orang di rumah ini, akan menanyakan banyak hal padamu termasuk malam…pertama kita, jangan katakan apapun, lebih baik diam kalau tidak suruh tanyakan ke aku saja.”

 

“Iya bang”

 

“tidurlah.”

 

Lagi-lagi ia diam matanya menatapku.

 

“Aku akan tidur si sofa, kamu saja tidur di ranjang ku, tidak biasa tidur dengan orang lain dalam satu ranjang,” kataku, itu jelas satu kebohongan, aku hanya belum siap tidur dengan Melani.

 

“Biar aku yang tidur di sofa aja bang , aku sudah biasa, di kampung juga kami tidurnya di papan.”

 

“Aku tidak ingin berdebat, aku sangat mengantuk dan sangat lelah, tidurlah di ranjang dan aku tidur di sofa, jangan lupa kunci pintunya, jangan biarkan orang lain mengetahui hal ini,” kataku berbaring di sofa panjang di kamarku.

 

“iya bang.”

 

Mataku sudah lelah, tapi hati ini ingin pergi ketempat lain, pikiranku masih saja pada MIkha. Aku menghidupkan ponselku kembali pesan Mikha membuatku tidak bisa tidur. Aku terpaksa terbangun lagi Melani sudah tertidur pulas, mungkin karena perjalanan hari ini membuatnya lelah.

 

Jam sudah menunjukkan 23.00, Tante belum tidur.

 

Aku mengambil kunci mobil dan turun kebawah.

 

“Tan, aku ingin bertemu teman tentang proyek kami, ada masalah,” kataku buru-buru.

 

“Tidak bisa besok? Ini sudah malam.”

 

“Hari ini batas waktunya, kalau menunggu sampai besok, ia memutuskan hubungan kami,” kataku.

 

Alis mata tanteku terangkat.

 

Mobil Porsche cayman berwarna putih menyusuri jalanan hingga tiba di apartemen milik Mikha.

 

bersambung...

 

 

 

 

 

 Bab 11

Bertekad Ingin Kuliah

 

Satu tahun kemudian.

***

Jakarta.

Jam 06:15

 

“Makanya aku bilang pergi ke Dokter, sampai kapan kalian seperti ini, aku jenuh menunggu,” suara omelan Mami sudah seperti nyanyian setiap pagi untuk kami.

 

Kreak...

 

Decit pintu di buka, Melani masuk dengan raut wajah terlihat lelah, seperti apapun Mami bernyanyi padanya, ia akan tetap tenang dan diam tidak pernah membantah.

 

“Abang udah bangun, mau aku buatkan kopi, Bang?”

 

“Mami bilang apa lagi, kali ini?,” tanyaku pada Melani.

 

“Masih seperti biasa,” bibirnya tersenyum tipis.

 

“Abang mau minum kopi apa langsung serapan?,” tanya Melani lagi.

 

“Serapan bareng saja di bawah, aku berangkat pagi, ada rapat di kantor,” kataku, bangun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi.

 

Melani dengan sigap membereskan ranjang , menyiapkan baju yang akan aku pakai ke kantor.

 

“Abang, turun duluan saja, aku mau mandi dulu,” kata Melani membawa baju gantinya.

 

“Baiklah,” jawabku dan turun ke bawah duluan.

 

Di meja makan keluargaku sudah berkumpul duduk membentuk lingkaran mengikuti bentuk meja makan kami yang mirip meja bundar, karena sudah kebiasaan di keluargaku setiap pagi serapan, kali ini serapan yang disediakan bu Rika asisten di rumah tangga, yang sudah bekerja selama bertahun-tahun di rumah kami, jadi sudah hafal menu-menu Favorit di rumah keluargaku, maka pagi ini menu sarapan kami Nasi goreng teri medan. Menu kesukaan di keluargaku maka jika Ibu Rika sudah memasaknya sebanyak pasti makan lahap dan habis.

 

Dari baunya saja sudah membuat cacing semakin kegirangan, baunya Menggugah selera makan.

 

Baru juga menjatuhkan panggul ku di salah satu kursi di meja makan , Mami sudah bernyanyi kembali padaku.

 

“Kamu Fernando, apa kalian tidak jadi pergi ke Dokter yang Mami bilang itu? kenapa?,”

 

“Iya, Mi kemarin saya ada rapat di kantor,” jawabku santai.

 

“Kenapa Melani juga gak pergi, sibuk juga, Dia?”

 

“Ia juga kuliah, Mi,” jawabku.

 

“Kuliah-kuliah, apa hebatnya kuliah, sok bangat aku lihat dia, tidak tau diri,” kata Mami mengoceh.

 

Melani akhirnya turun, ia juga sudah rapih , ia ada kuliah pagi hari ini.

 

“Kamu, mau kemana sekarang?”

 

“Aku ada kuliah pagi, bou.”

 

“Tidak, tidak kalian berdua, sekarang ke Dokter yang Mami bilang, jangan membantah, kau!,” kata Mami terlihat terlalu memaksakan kehendaknya, padahal Melani juga tidak pernah membantah omongan Mami, tapi Mami kadang mencari-cari kesalahan Melani.

 

Mata Melani melirikku,

“Baiklah, Bou,” jawabnya kemudian.

 

“aku sudah telepon tadi Dokter itu, sudah janjian, kalian datang ke tempatnya pagi ini kata Mami menatap tajam pada Melani.

 

“Kamu juga pergi Fernando, tidak ada bantahan tidak ada alasan,” kata Mami menekan kamu berdua,.

 

“Baiklah,” Jawabku, tidak ada yang berani membantah perintah Mami si nyonya Besar.

 

Papi hanya diam dan kakak Eva juga dan suaminya hanya diam, tidak boleh ada yang membela kami dan membantahnya perintah Mami.

 

Tepat satu tahun yang lalu. Sesuai Janjiku Melani akhirnya masuk ke salah satu Universitas Negeri di daerah Depok. Ia mengambil jurusan Kedokteran sesuai keinginannya.

 

Hal itu juga membuat Mami meradang dan tidak menyukai Melani sejak saat itu, karena ia Kuliah dan mengambil jurusan Kedokteran.

Salah satu jurusan yang paling mahal pilihan yang berat, tapi tidak seharusnya Mami se marah itu padanya karena ia juga dapat Beasiswa prestasi dari sana. Melani mahasiswa yang pintar, ia juga masuk ke Kampus itu melalui seleksi dan berbagai tes, hingga akhirnya ia lolos dan dapat beasiswa prestasi.

 

Tapi dengan kuliahnya Melani membuat Mami sangat marah, bahkan sangat membencinya, hampir tiap hari Melani kena marah sama mami, kata-kata kasar bahkan sudah diterima, tapi tetap ia sabar dan diam, tidak pernah sekalipun membantah, aku salut dengan pendirian dan kesabarannya, jarang orang Batak punya hati se sabar itu, biasanya kalau boru batak itu, ia menerima satu makian, sudah menjawabnya dengan seratus kata.

 

Mami menganggap Melani memanfaatkan ku dan ingin morotin hartanya. Apa lagi biaya untuk kuliah Kedokteran sangat mahal.

 

“Kamu sudah jadi menantu di rumah saya, itu artinya kamu sudah saya beli untuk menantu di rumah ini. Mana mungkin kamu minta kuliah lagi dan tidak meminta izin dulu sama aku,” kata Mami satu tahun lalu.

 

“Tapi Bang Fernando sebagai suami aku sudah mengijinkannya ,Bou,” jawab Melani tepat setelah ia diterima di Universitas ternama itu.

 

“Kamu Gila, tidak tahu diri bangat iya, anak saya saja tidak ada yang aku sekolahkan jadi Dokter, kamu anak kampung sudah aku pungut, aku beli mahal untuk menantuku. Kamu malah bertingkah ingin jadi kuliah jadi Dokter. Aku tidak mau… Jangan kuliah!,” kata mami , ia terlihat sangat marah saat itu.

 

“Maaf bou, tapi saya sudah diterima, nanti saya akan belajar untuk mendapatkan beasiswa,” kata Melani, semarah apapun Mami ia tetap pada pendiriannya ingin kuliah.

 

“Kamu tau gak, biaya kuliah Kedokteran ini mahalnya sebagaimana, anak orang kaya saja belum tentu mampu, saya tidak mau iya mengeluarkan sepeserpun untuk biaya kuliahmu, jangan harap,” kata Mami.

 

“Saya akan kerja, bou,,” kata Melani tidak mau menyerah, bagaimanapun Mami memarahinya, ia tetap tidak mau menyerah.

 

“Kerja, kamu pikir dengan kamu kerja, bisa membiayai kuliahmu! mau kerja apa kamu? Kamu pikir gampang cari kerja di Jakarta ini, apa lagi kamu dari Kampung,” Kata Mami merendahkan.

 

“Nanti pasti ada Jalan Bou,” kata Melani.

 

“Fernando, apa kamu menyuruhnya kuliah?”

 

“Aku hanya mendukungnya, Mi,” kataku.

 

“Jangan coba-coba kamu kasih duit buat dia iya, ia memang istrimu tapi kamu bekerja di perusahaan yang di bangun Mami dan Papi,” katanya dengan kejam.

 

“Baiklah, aku tidak akan memberikan apa-apa,” kataku, agar Mami berhenti marah.

 

Saat itu mami benar-benar sangat membenci Melani, tidak mau memberikan uangnya sepeserpun.

 

Aku terpaksa memberikan uang diam-diam pada Melani untuk membantunya.

 

Saat ini, usia pernikahan kami sudah setahun lebih, tapi belakangan ini Mami mulai sangat menekan kami berdua tentang keturunan.

 

Entah berapa Dokter yang kami datangi karena Mami, entah berapa kali Melani diurut dan disuruh minum obat penyubur rahim.

 

Semua ia lakukan tanpa membantah, tidak ada satupun perintah Mami yang ia bantah kecuali, untuk berhenti kuliah.

 

Kembali ke waktu pagi ini, baik hari ini saat ia mau berangkat kuliah, ia disuruh Mami cek ke Dokter kandungan, memeriksa kesuburan kami berdua, karena kenapa sampai satu tahun ini belum juga hamil.

 

“Ayo bang,” kata Melani.

 

“Makan dululah,”kataku melihat ia makan serapannya, baru beberapa suap.

 

“Sudah kenyang, bang kita pergi saja,” gara-gara Mami tidak berhenti mengomel mengungkit semuanya, membuat Melani ingin cepat-cepat pergi.

 

“Baiklah, ayo.”

 

Saat dalam mobil tiba-tiba Mikha menelepon, nama mikha aku ganti dengan nama samara, pak Juan.

 

“Iya, pak juan.”

 

“Beb, temanin aku dong, aku ada pemotretan di Sudirman, tapi asistenku lagi sakit jadi tidak ada yang antar aku, mau iya Beb,” kata Mikha di ujung telepon, suaranya memelas aku tidak bisa menolaknya.

 

“Maaf pak Juan, saya hari ini tidak bisa saya ada urusan penting,” kataku, menatap Melani dan menutup teleponnya.

 

Melani sama seperti dulu waktu baru kenal, ia masih jadi seorang pendiam, jika tidak ada yang penting, ia tidak mau memulai cerita atau memulai obrolan denganku.

 

“Itu tadi pak Juan, di kantor ada rapat sebenarnya,” kataku berbohong lagi padanya, entah berapa kali aku sudah membohongi Melani tentang banyak hal terutama tentang Mikha.

 

“Abang pergi saja, biar aku yang ke Dokternya, nanti kita atur janjian untuk abang lagi, nanti biar aku ngomong sama Dokternya, aku saja dulu yang diperiksa hari ini,” kata Melani , ia selalu seperti itu satu tahun ini, selalu jadi malaikatku saat Mami memarahi aku.

 

“Beneran Boleh?” kataku bersemangat

 

“Boleh, abang ada rapat, kan?”

 

“Iya,” kataku ragu, sedikit merasa bersalah karena terus-terus membohonginya, padahal ia tidak tau kalau aku menemui Mikha.



Bab 12

Hatiku Merasa Sedih

“Aku turun di depan saja bang,naik Busway ada yang langsung ke tempat tujuan, Abang putar balik saja ke Kantor.”

Aku menurut, Melani turun di dekat halte busway sebelum menaiki tangga halte dengan tersenyum kecil ia melambaikan tangan padaku, lalu menaiki tangga ke loket pembelian tiket busway.

 

Aku masih melihatnya naik keatas, melihat masuk kedalam loket, barulah aku meninggalkan.

 

Meraih ponsel lagi, mengabari Mikha, karena aku bisa mengantarnya.

 

“Sudah di mana sayang?”

 

“Ini masih di apartemen Beb, kamu beneran tidak bisa?” suara manja Mikha terdengar di ujung teleponku.

 

“Ok, aku bisa, kamu siap-siap saja.” Aku menuju kesana, mengarahkan mobil ke arah apartemen Mikha.

 

Tidak perlu naik keatas lagi, ia sudah menunggu di depan apartemennya,

wajahnya Mikha sangat gembira saat mobilku berhenti di depannya.

 

“Ayo.”

dengan cepat-cepat, ia memasukkan barang-barangnya ke jok belakang.

 

“Aku buru-buru nih Beb, karena jadwal pemotretannya satu jam lagi,” katanya melihat riasan di kaca depan mobilku.

 

“Ok, mudah-mudahan tidak macet.”

kerena penyakit Ibukota yang sudah mendarah daging adalah macet,

tidak perduli malam, ataupun pagi, siang, tiada hari tanpa macet.

 

Benar saja, jalanan kearah Sudirman padat merayap dan bahkan tidak bergerak.

 

Setelah hampir berjam-jam, kami melewati Jalanan akhirnya sampai .

 

Tapi sayang, pemotretannya di batalkan, karena Mikha terlambat datang.

 

“Iya…Beb dibatalkan,

kita jalan-jalan saja, beliin aku tas iya,” rengek Mikha seperti biasa,

aku tidak akan pernah bisa menolak permintaanya, menarik membawaku ke salah satu Mall di daerah Sudirman, Pacifik place

 

Mikha sama seperti wanita-wanita pada umumnya, gemar belanja dan gemar berdandan cantik.

Karena menurutnya wanita itu harus selalu tampil cantik

 

“Aku mau tas itu Beb,tidak mahal kok hanya 10 juta, itu yang KW nya, kalau yang aslinya tidak segitu.”

 

“Lah, kemarin sepatumu harganya juga sama,

jangan yang itu,” kataku, mulai ingin mengurangi keborosan Mikha.

 

Ia langsung ngambek,

iya uda ni, aku terima telepon, bayar dengan kartu Kredit ku saja,

membiarkannya membayar sendiri, aku menerima telepon.

 

“Sudah, ayo

tangannya bergelayut di lenganku.

 

“Lah kok, ada tiga,

bukannya tadi hanya minta tas,”

kataku setelah melihat bag belanjanya, bertambah jadi tiga.

 

Ia tertawa cengengesan

 

“Aku menambahkan dua belanja lagi, sepatu dan dressnya bagus,”

 

“Kamu harus kurangi kegemaran belanja mu itu MIkha,”

aku menekan hidungnya .

 

Saat kami berjalan turun menggunakan eskalator, jantungku hampir mau copot, Melani duduk di lantai dasar sendirian matanya melihat kearah kami, aku yakin ia melihat kami.

 

Saat kami ingin keluar, aku menarik tangan Mikha menjauhi pintu masuk, karena ia duduk di sana.

 

“Ada apa Beb?”

mata Mikha menatapku dengan bingung.

 

“Ada istriku.”

 

“Haaa, mana?”

 

“Tidak usah,”

kita lewat dari pintu belakang saja, kataku menarik tangan Mikha.

 

Melewati counter jualan ponsel,

ia minta di belikan lagi versi terbaru, padahal aku baru mengganti ponselnya beberapa bulan lalu.

 

“Beb ganti ponselku, aku tidak suka lagi, kamera nya kurang bagus.

 

“Nanti saja Mikha,

itu ada istriku,” kataku sedikit membentaknya.

 

“Baiklah,”

katanya ia melihatku mulai marah

 

Apa Melani melihatku tadi? bagaimana kalau ia sudah melihatku dan melaporkan sama Mami’ aduh kepalaku pusing.

 

“Beb kita makan dulu dong,” Mikha tiba-tiba membuatku jengkel.

 

“Lu masih sempat-sempatnya pikirin makanan,gue uda bilang gue lihat bini gue,

kok lu gak ada khawatirnya sih?Egois bangat,” bentakku kesal

 

Ia terdiam, mungkin ini pertama kalinya aku se marah itu padanya.

 

Sepanjang perjalanan kita berdua diam, saat aku bentak ia takut, sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri,

aku yakin tadi Melani melihat kami.

 

Hingga tiba di depan apartemen Mikha

 

“Aku mau langsung pulang saja.”

 

“Kamu tidak mampir dulu Beb?

 

Aku meminta maaf iya.”

 

wajahnya memelas terlihat merasa bersalah.

 

“Tidak apa-apa,” sahutku masih merasa jengkel dengan sikapnya yang tadi.

 

“Tapi kamu tidak marah,kan, besok kamu masih datang kan beb?”

 

“Iya , aku pulang dulu.”

 

Meninggalkan Mikha yang masih memandangi hingga jauh.

 

Di otakku saat ini hanya Melani, aku takut ia melapor sama Mami, bisa gawat nantinya.

 

Aku menelepon nomornya, tapi tidak aktif,

aku sengaja menunggunya di jalan arah rumah kami, nanti jika ia naik angkot pasti berhenti di sana.

 

Hampir dua jam aku menunggunya di dalam mobil, akhirnya ia datang juga, itu pun ia sendiri yang mengetuk kaca mobilku.

 

“Abang mau ngapain di sini?”

 

“Nungguin kamu, aku telepon tidak aktif, kenapa?”

Aku kesal juga karena hampir dua jam jadi gembel di pinggir jalan.

 

“Baterainya gampang habis, baterainya sudah gembung,” ujarnya sembari merogoh tas miliknya, tangannya mengeluarkan ponsel jadul, bekas milik kakak Eva yang di berikan padanya .

 

“Oh.”

 

“Bang, boleh gak kita ganti baterainya?Tapi agak mahal, kemarin aku tanya counter dekat rumah.”

 

Aku ingin beli ponsel baru untuk Melani, berharap dia tidak mengadu pada keluargaku antara kami dan Mikha“Ayo kita ganti.”

 

“Tapi, agak mahal bang.” wajahnya seperti orang mikir, tidak usah deh, ini saja dulu, mahal soalnya.”

 

“Memang mahalnya berapa?”satu jutaan?” tanyaku penasaran.

 

“Tidak sampai sih, seratus tujuh lima,”

 

“Apa?”

 

“Mahal ya, makanya aku bilang tidak usah,nanti saja deh.”

 

Aku terkejut bukan karena mahal, tapi justru yang aku pikir, tidak ada artinya harga itu, tapi buat ia itu sudah sangat berharga.

 

“Bukan, maksudku kenapa tidak diganti saja,”

nada suaraku sengaja ku pelan kan, agar ia juga tidak merasa tidak enak.

 

Mobil aku putar balik kearah counter,

 

“Abang tunggu disini saja biar aku yang turun untuk nanya harga dulu,

abang kasih seratus saja biar aku yang tambahin sisanya

aku ada duit 75000 lagi, sisa ongkos tadi.

 

Aku diam, aku bagai di tampar bolak balik.

 

Tadi Mikha belanja puluhan juta, istriku hanya minta seratus ribu dariku untuk ganti baterai ponselnya.

 

“Mahal iya…baik tidak usah deh, nanti aku nabung lagi, kita pulang saja,” tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

 

Aku terdiam karena ada bagian dalam hatiku seperti di tusuk jarum, rasanya nyeri dan sakit.

 

“Ayo kita turun,”aku ingin bergegas turun.

 

Abang tidak usah turun, abang disini,”

Lihat selengkapnya