Melani memberikan Ponselnya dengan berat Hati, saat aku membuka pesannya, benar bahasannya tidak jauh dari mata kuliah mereka.
Aku terdiam, kalau terus begini, usahaku untuk mencetak anak akan gagal terus.
Salah lagi nih, apa aku bertindak berlebihan, tidak, ini masih wajar, aku menatap Melani dengan sorot mata yang tegas.
“Jangan dekat-dekat dengan lelaki Longor itu lagi, karena aku tidak suka, aku marah,”
aku memberikan ponselnya.
Kedua alis Melani menyengit tidak terima dengan sikapku.
“Kok jadi aku sih, aku sudah bilang bang, aku tidak ada masalah apa-apa, ia meneleponku karena tugas kampus,”jawab Melani.
“Aku bilang jangan dekati, ya janganlah.Atau aku menghentikan membiayai uang kuliahmu, kamu pilih mana?” kataku bernada marah, perasaanku bagai di aduk-aduk.
Sebenarnya aku uring-uringan saat Melani menolakku malam itu.
Apa yang sudah aku rencanakan, tidak tercapai aku kesal aku marah, aku cemburu.
“Baiklah, kalau memang harus begitu,” kata Melani.
Wajahnya datar, aku tau apa yang dipikirkan pasti ia berpikir kalau aku tidak waras ,memaksakan kehendak dan keras kepala.
“Sebaiknya kamu siapkan dirimu, jangan sekali-kali menolakku,”kataku meninggalkan Melani yang masih duduk di sofa.
Aku masuk ke kamar mandi, mengguyur kepala dengan air dingin, mencoba mendinginkan dadaku yang terasa panas dan meredakan kemarahan ku.
Samar-samar aku mendengar Melani membereskan piring bekas kami makan tadi, ia tertunda membereskan karena kemarahanku.
‘Tidak seharusnya aku marah seperti itu padanya tadi, harusnya aku bicara baik-baik dengannya, karena di sini akulah pihak yang salah’
Aku keluar dari kamar mandi, aku pikir Melani dalam kamar, tapi saat aku sudah berpakaian, aku melihatnya duduk di sofa dengan barang-barang di sampingnya.
Aku menatapnya dengan diam, mencoba menebak, aku berpikir ia minta pergi dari rumah ini, karena sikapku yang memaksa.
Dengan tanganku dilipat di dada, aku mencoba bersikap tenang.
‘Kalau kamu ingin minta pergi jangan harap anak kecil, karena saat ini, kamu sudah aku beli, itu artinya kamu sudah milikku’Aku membatin, merasa jengkel.
“Bang… aku”-
“Tidak bisa!” kataku tegas membuatnya terdiam kebingungan.
“Kamu mau bilang kamu mau kabur, kan? Kamu mau bilang kamu tidak cocok di sini Kan?,”
Aku menatap dengan serius.