Saat hasilnya keluar dan aku mengetahui semua faktanya, aku tidak tahan lagi , aku ingin menenangkan diri, aku ingin menghilang dari semua tuntutan keluargaku, permintaan berat yang tidak bisa aku penuhi.
Belum juga hatiku mereda dengan semua kenyataan pahit ini, tiba-tiba Mami menelepon untuk keinginannya punya cucu.
Kali ini Mami pakai drama pakai menangis, aku tahu pasti Mikha sudah menjalankan rencananya.
Kepalaku sakit. Tidak tahan lagi untuk berjalan sendiri, masalah itu berderet datang padaku tanpa jedah.
Aku terpaksa datang ke rumah Mami lagi, ingin bicara apa adanya, ingin bicara jujur pada Mami.
“Nando kamu sudah meninggalkan Perusahaan, aku ingin kamu kembali, tapi harus menikahi Mikha,” kata Mami, mami hanya memikirkan dirinya tanpa melihatku yang hampir gila.
“Maaf Mi , aku tidak bisa, jangan ungkit lagi dengan Mikha, itu bukan anakku.”
“Kamu Nando, kamu itu bodoh, ada wanita yang memberimu anak
kenapa kamu malah menolaknya, Mami tidak mau tahu kamu harus menikahinya, ia tidak perlu apa-apa, jadi istri kedua juga ia mau, aku tidak menyuruhmu menceraikan Melani, aku tahu itu sangat berat, Melani juga tidak bisa memberi anak.
Mami pikir ia tidak keberatan, Mami hanya ingin punya cucu dari kamu, hanya itu apa salahnya menuruti keinginan Mami,”
katanya dengan wajah memelas dan acara tangisan.
Mami tidak memberikan ruang untuk bicara dan untuk menjelaskan, sementara aku tidak punya tenaga lagi hanya sekedar duduk saat itu.
“Aku tidak mau melakukannya, jangan paksa aku Mi, aku tidak ingin melakukan apapun saat ini.
Aku meninggalkan rumah dan Berakhir di Bar lagi.
Aku kembali ke rumah Melani, ia merawatku dengan baik, ia tahu aku terpukul, ia tidak sedikitpun menunjukkan kemarahannya padaku, ia sabar merawat ku.
Aku berpikir tidak boleh seperti ini terus, itu artinya aku menyakiti Melani secara tidak langsung.
“Aku ingin bekerja di luar Kota,” kataku menghampiri Melani yang sedang duduk bersantai.
Aku tahu itu satu keputusan berat, Melani menatapku dengan tatapan, menimbang.
“Kapan?”tanya Melani
“Mungkin dua hari lagi.”
“Baiklah kalau abang ingin seperti itu lakukanlah.”
“Kamu tidak ingin bertanya aku sama siapa, pekerjaan apa di luar kota mana?
Apa itu wajar sebagai seorang istri, Sebenarnya kamu mencintaiku, apa bukan sih, Melani? Selama ini aku merasa kamu hanya melakukan begitu saja, sekarang jujur padaku apa kamu pernah mencintaiku?”
“Kenapa abang malah menanyakan hal itu sih?”