Hampir satu minggu rasanya tidak pernah bisa tidur malam dengan baik membuat penyakit baru muncul, dalam tubuhku salah satunya penyakit lama, lambungku yang sering kambuh bila aku kurang istirahat.
Aku kembali sakit karena begadang lagi tadi malam.
Saat bangun sudah jam 09:15 pagi, aku harus bertemu Melani, sebelum bertemu dengan keluargaku. Aku harus bicara bertemu dengannya, aku tahu apa yang terjadi pasti Melani sangat membenciku, tapi apapun keputusannya aku harus bertemu dengannya.
Aku harus memberitahunya kalau aku juga marah, aku sudah menghukum orang yang sudah menyakiti Melani.
Badanku meriang, kepala pusing, tapi aku harus kuat, di seberang Hotel tempat aku menginap ada diapotik, obat yang buat maag untuk menghilangkan rasa perih di lambung yang sudah menusuk ke bagian ulu hati.
Kebetulan ada penjual Bubur di depan apotik, pas bangat makan Bubur baru minum obat.
Tepat jam sepuluh, aku meninggalkan Hotel, aku akan ke Bekasi, aku akan menjemput Melani ,kami akan pulang ke rumah, aku tidak akan meninggalkannya lagi apapun yang terjadi, sekalipun aku nantinya akan jauh dari Mami aku siap demi Melani.
Aku sudah menyusun segala rencana yang baru dengan Melani, aku akan bekerja keras, aku mau sembuh, aku siap menerima pengobatan asal Melani mau menerimaku kembali.
Tiba-tiba merasa jantungku bergemuruh, aku berpikir ada hal buruk lagi yang akan terjadi.
Tapi aku tidak tahu kalau tidak mencobanya, segala sesuatu itu harus dicoba baru tahu hasilnya.
Aku terpaksa mematikan ponsel karena Papi dan semua keluarga meneleponku. Mengajariku ini, itu, menyuruhku menunggu tapi aku tidak akan melakukanya, aku harus menjemput Melani, membawanya pulang,
karena bukan aku yang melakukannya, aku mencintai Melani jauh dari yang mereka pikirkan.
Perjalananku dari Bogor ke Bekasi membutuhkan waktu kira-kira dua jam, mudah-mudahan tidak macet.
Aku akhirnya tepat saat matahari di atas kepala, jam 12 siang aku pertama ke bengkel tulang, tapi sayang bengkel itu ditutup.
Bengkel milik Mami, yang di sewakan Mami sama adiknya.
Mami memang luar biasa pelit, dan kikir sama adiknya sendiri ia menyewakan, apa ruginya memberikan satu untuk saudaranya, karena itu tidak akan menjadikan Mami jatuh Miskin. Mami punya kontrakannya banyak, belum lagi kantor koperasi yang di bangun Mami.
Tapi setiap kali aku dan kak Eva membahasnya Mami akan marah, maka itu aku dan Kak Eva, tidak mau membahas lagi.
Kami berpikir biarlah ini jadi urusan orang tua kami, tapi lama-lama kelamaan aku berpikir Mami makin tamak mengutamakan uang di atas segalanya, termasuk kebahagian anaknya sendiri.
“Abang itu hampir satu minggu tidak buka.”
Seorang ibu tiba-tiba berdiri di sampingku.
“Kenapa iya Ibu?” tanyaku pada seorang ibu yang berjualan di samping bengkel Tulang.
“Kurang tahu ya dek, rumahnya dekat dari sini jalan juga bisa.”
“Iya bu makasih.”