Aku harus menemui Melani, kalau masalah kami tidak cepat diselesaikan, maka perpecahan keluarga akan terjadi,
jika aku dan Melani sampai berpisah, maka bisa dipastikan keluarga besar kami akan berpecah.
Aku merasa ujian hidup hari ini menguras emosi, aku jauh-jauh datang dari Bogor ternyata Melani di bawa tanteku ke Bogor, ngapain aku datang ke Bekasi kalau ia di Bogor?
Hadeh…!
Aku terpaksa kembali Ke Bogor, melajukan mobil kembali lagi ke Kota Hujan.
Menarik nafas panjang beberapa kali, datang ke rumah tanteku akan jadi hari yang lebih buruk lagi, dari rumah tulangku.
Tante tidak pernah akur sama kakaknya, Mami, mereka berdua, selalu salah paham dan selalu bertentangan pendapat.
Kadang hal kecil dibuat besar, dan untung kami anak-anaknya tidak ikut campur.
Terakhir Tante datang ke rumah kami pas tahun baru, moments yang harusnya saling bermaafan malah mereka berdua saling menyindir satu sama lain, ujung-ujungnya bertengkar, itulah kelakuan Mamiku dan Tanteku.
Hal yang biasa.
Datang kerumahnya saat situasi kami sedang buruk dengan Melani aku sudah bisa pastikan Ia sudah menghasut Melani, tapi aku percaya pada Melani, ia orang pintar yang tidak akan terpengaruh.
Tapi saat ini aku khawatir pada diriku sendiri.
Setelah sekian lama menempuh perjalanan ke Bogor, akhirnya tiba di rumah Tante.
Rumah besar berlantai dua bercat putih rumah tanteku.
Memarkirkan mobil agak jauh dari rumah Tante, aku takut saat melihat mobil, tiba tidak membukakan pintu.
Sebelum turun dari mobil, lagi-lagi aku menarik nafas panjang, aku tahu akan menghadapi hal yang berat.
Menekan bel, anak perempuan tante Lamtiar namanya, ia membukakan pintu untukku.
“Bang Nathan?
Mari masuk bang.”
“Tante ada dek?”
“Mama sama bapak ke arisan bang’ mari masuk bang.”
Anak perempuan yang satu ini sangat berbeda dengan tanteku, setidaknya ia tidak mengikuti jejak Tante si Jabir,
Lamtiar anak satu-satunya perempuan, ia baik dan ramah, ia masih seorang pelajar jurusan keperawatan, keluarga tanteku semua bekerja di bagian kesehatan.
Tanteku seorang Bidan dan abangnya yang pertama sekolah Kedokteran.
Tiar sangat berbeda dari semua saudara laki-lakinya, abang-abangnya mengikuti sifat tante, sombong dan tidak mau mengalah.
“Melani ada di rumah gak, dek’ kan ikut mama arisan bang, tidak lama kok paling bentaran juga pulang,
ayo bang, duduk, abang mau minum apa?”
“Apa saja dek.”