Belum juga aku sempat diwawancara sama Tiar, mobil Tanteku sudah tiba. Aku berdiri sangat senang, aku tidak bisa meluapkan kegembiraan aku tidak sabar lagi menemui Melani.
Tapi…
Tante keluar dari mobilnya, bapa uda keluar juga, aku menahan napas karena Melani tidak kunjung turun, wajahku yang bergembira tadi tiba-tiba merubah kesal saat Bapa sudah menutup pintu mobil dan menekan tombol kunci.
‘Kemana Melani? Kenapa tidak keluar, katanya ikut Tante, ke arisan, tapi tidak keluar, tidak mungkin lari ke rumah duluan kan?’
Aku melirik pintu masuk tapi rasanya tidak mungkin karena aku duduk dekat pintu masuk, setan saja bila lewat aku tahu, apa lagi Melani kalau lewat pasti aku tahu.
“Ada apa, kenapa tadi Lam?” tanya tante sama Tiar yang duduk di sebelahku.
Aku terduduk lemas karena lagi-lagi tidak menemukan Melani, bodo amat dengan kemarahan tante, bodo amat dengan ocehannya. Aku hanya ingin Melani, sekarang kemana lagi Melani mereka sembunyikan.
“Tidak, hanya salah paham, abang Nando sama abang Candra,” jawab Tiar menatapku.
“Mana abangmu?” tanya Tante menatapku sinis.
Tapi bapa udaku orang baik, kalem, sama seperti Papi, sekarang masalahnya.
Ada apa dengan semua orang ini?
Mami, Melani, Tanteku, aku tidak tahu dengan jalan pikiran mereka semua.
“Eh Nando, sudah lama menunggu?” Bapa uda duduk di sebelahku.
“Lumayan bapa udah, Melani kemana ?”
“Tidak tahu inang udamu, tadi-“
“Aku menyembunyikannya, kenapa?” sahut Tante, dengan sikap judesnya, wajah dan sifatnya tidak jauh dari Mami.
“Aku tidak mau kalian memukuli Melani lagi, jangan temui dia lagi…!” kata Tante dengan suara meninggi.
“Tante salah paham denganku.
Saya baru sampai Tante, saat kejadian saya tidak di Jakarta, saya kerja di Papua.” Aku membela diri.
“Aku sudah bilang dari dulu, kalau kamu tidak pantas sama Melani, kelakuan kalian seperti binatang, terutama Arnita dan gundikmu itu.”
Tidak ingin menambah dosa karena melawan orang tua, bahasa tante bicara denganku sebenarnya memancing emosi, tapi biar bagaimanapun
Tante adalah orang tuaku juga jadi aku tidak ingin melawannya.
“Melani di rumah siapa bapa uda?” Aku bertanya mulai merasa lemas karena aku dihalang-halangi menemui istriku.