Kini aku sudah punya ponsel baru lagi, tidak ada ponsel di tangan, hidup seolah mati rasa, karena tidak ada tujuan, aku berniat main ke rumah teman , kebetulan ada rumah teman yang tidak jauh dari tempat dimana aku menggadaikan mobil Papi, tempatnya di salah satu apartemen di Jakarta Timur.
Kadang disaat kita susah baru ingat teman. Dulu saat masih jadi seorang dirut, boro-boro mendatangi rumahnya, berkirim pesan pun bisa dihitung dengan jari, tapi saat ini aku datang apartemennya.
Ting,tong...!
Aku menekan tombol bel apartemen Jimmy, kepala seseorang mendongak dari balik daun pintu dengan sikap was-was ia melirik kanan –kiri.
“Cari siapa?,” ia bertanya dengan mata mengawasi.
“Ada Jimmy gak Bro, gue temanya.”
“Sebentar,” anehnya ia menutup pintu kembali dan tidak berapa lama Jimmy datang.
“Hei Bro, ada apa ini, tumben datang ke tempatku, kenapa ada yang bisa saya bantu?”
“Tidak, aku hanya mau main, apa aku mengganggu?”
“Sebenarnya sih…, lagi ada teman-teman di sini.”
Aku tahu sikapnya ingin menolak, mungkin ada yang mereka kerjaan, tapi tidak boleh diketahui orang lain.
Jimmy bekerja di suatu perusahaan desain grafis, biasanya kalau ada kerjaan ia baru berangkat ke kantor, kalau tidak tidak ada ia akan menghabiskan waktunya di kamar Apartemennya.
“Ok tenang saja, aku bukan yang rusuh,” Kataku mendorong tubuhnya dari daun pintu, ia tadinya menghalangiku masuk, sebelum ia mengusirku secara terang-terangan, lebih baik membuang gengsi dan mendorongnya, aku menerobos masuk.
Benar saja, di dalam ada kira lima orang yang bermain kartu, tapi taruhan bikin mata berbunga-bunga, tidak tanggung-tanggung tumpukan warna merah.
Mereka menatapku dan menatap Jimmy.
“ Tidak apa-apa, ia bisa dipercaya,” ucap Jimmy, permainan dilanjutkan, tadinya aku hanya duduk sebagai penonton.
Apartemen milik Jimmy sangat kotor, baunya menyengat dari sampah-sampah bekas makanan yang berserak, aku yakin mereka juga tidak pulang berhari-hari, terlihat dari mata terlihat melingkar hitam kurang tidur.
Biasanya aku tidak akan betah bila melihat yang kotor-kotor seperti ini, tapi saat duduk lama hanya jadi penonton, sampah yang berserakan sudah aku anggap sebuah seni.
“Aku ikut,” kataku, ikut membuat lingkaran tidak ada yang protes, membagikan kartu dengan diam, permainan dimulai, awalnya sangat enak dan menggiurkan, 15 juta sudah di tangan, aku juga semakin bersemangat.
Tiba-tiba di putaran selanjutnya, aku merasa seakan dipermainkan oleh mereka, aku mendapat kartu yang jelek terus, main terus seperti orang kalap, hingga yang lima belas juta lenyap tidak sampai satu jam, aku tidak mau menyerah, uang dari pegadaian mobil Papi, masih ada dua belas juta lagi, aku gunakan, permainan berlanjut hingga malam, untuk makanan tinggal kami pesan, entah berapa bungkus rokok yang sudah aku lenyapkan, ruangan itu berbau asap rokok, berbau keringat juga.