Jika banyak orang mengatakan rumah adalah tempat teraman bagi mereka, tetapi bagiku, rumah keluargaku bagai neraka bagiku.
Bagaimana tidak? ibu yang melahirkan ku telah menghancurkan hidupku, bukan hanya hidupku, tetapi Mami juga menyakiti hati istriku, Sebenarnya aku tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan mami.
Dulu ia yang memaksaku menikah dengan Melani, dulu ia bilang untuk mengikuti tradisi adat temurun di keluargaku.
Lalu kenapa mami sekarang berubah? Apa Mami tidak takut pada roh para orang tua yang sudah meninggal, apa Mami tidak takut pada roh tulangku , abangnya Mami, Apa dia tidak merasa bersalah pada ayahnya Melani?
Pikiran-pikiran itulah yang menghantuiku belakangan ini, membuatku enggan untuk pulang.
Bahkan otak-otakku panas memikul semua beban pikiran ini, mungkin jika orang lain yang menghancurkan hidupku aku akan membalasnya.
Tetapi kali ini yang merusak hidupku Mamiku sendiri, wanita yang melahirkanku ke dunia ini.
Aku marah tetapi tidak bisa membalasnya, untuk membalas perbuatan Mamiku, aku merusak hidupku, itulah caraku membalas perbuatan keluargaku, gila memang!
Satu minggu aku memilih hidup di jalanan, jadi tukang parkir, wajahku yang berubah dekil dan kumal, itu sebabnya tidak ada yang mengenaliku, ada beberapa orang yang aku kenal misal anak-anak kantor, tapi mereka tidak tahu kalau tukar parkir itu aku, aku merasakan bagaimana hidup di jalanan.
Badanku tidak seperti dulu lagi terawat dan atletis, aku yang sekarang kurus karena kurang makan, tidur di pinggir jalan, di gigit nyamuk membuat seluruh badanku gatal-gatal dan jadi korengan.
“Hei anak baru! enak bangat lu ambil lahan kita!”suara itu membangunkan ku yang sedang tiduran.
Pak …!
Segerombolan anak fungki sekitar lima orang dengan gaya rambut jambul berwarna biru dan anting bulat di lobang kupingnya, tato menghiasi seluruh lengannya.
Salah seorang dari mereka memukulkan gitar ke hidungku, karena katanya aku jadi pak ogah di lahannya dia.
“Jangan memukul orang sembarangan,” aku tidak terima dipukul.
Walau gembel, aku masih punya harga diri, walau ada lima aku memang ahli bela diri, mematahkan tangan kelima orang itu hal yang muda bagiku.
“Jangan coba-coba mengusikku bodoh, gue tidak suka di usik,” aku memberi mereka pelajaran.
Aku hidup di jalanan seperti saat ini, semata hanya ingin memberi Mami pelajaran, kalau hidup anaknya saat ini sudah rusak, karena ulahnya yang mata duitan.
“Ampun-ampun bang, aku tidak akan melakukannya lagi, tapi kalau aku sudah emosi susah untuk meredakannya, hidungku berdarah karena ulah para gembel sialan itu.