Dipaksa Menikah dengan Sepupu
Kenyataan ia bisa membawa mobil itu membuat jantungku makin berdetak lebih cepat,aku berpikir kami tidak akan selamat, ternyata Melani sudah mahir mengendarai mobil ,bahkan memarkirkan di depan rumah sakit yang sempit, ia bisa mengambil celah untuk parkir. Melani keren, anak kampung yang naik daun.
Hingga aku sudah didorong di ranjang rumah sakit, aku masih serasa bermimpi, aku harus beberapa kali mencubit lenganku, memastikan kalau apa yang kami alami tadi bukan halusinasi atau hanya sebuah mimpi, aku mencubit lengan tanganku untuk kedua kalinya.
Pertanyaan bermunculan di benakku, siapa yang mengajarinya?
Sejak kapan ia bisa bawa mobil. Melani pernah keceplosan Aldo pernah mengajarinya naik mobil.
‘ Apa bocah nakal itu yang mengajari Melani?Ah dasar’ Aku memaki anak itu dalam hati.
Hingga suara suster mengalihkan pandanganku.
“Anda tidak mimpi kok, bapak beneran masuk rumah sakit,
ini rumah sakit Rose.
Apa bapak mengalami benturan di kepala?”
“Mana istri saya?”
“Istri bapak lagi menunggu di luar ruangan ini pak, tenanglah kami hanya melakukan pemeriksaan ringan,”
kata suster dengan ramah dan sabar.
Ia berpikir aku tidak percaya masuk rumah sakit.
Tapi, aku berpikir bagaimana caranya Melani menjalankan mobil itu dan Melani membawaku ke rumah sakit.
Tapi sudahlah, sepertinya pertanyaan ku akan mengendap begitu saja dalam otakku, karena seorang suster menyuntikkan sesuatu ke infus, aku merasa sangat mengantuk dan tertidur
*
Terbangun dengan bau harum yang biasa menggelitik hidungku.
Mencoba membuka mata perlahan. Melani tersenyum manis , ia terlihat sangat cantik pagi ini, aku berpikir masih pagi, ia terlihat seperti sekuntum bunga tulip yang sedang mekar.
“Selamat siang Bos,bagaimana rasanya tidur terlelap setelah di suntik obat bius, untung aku bawa abang kesini, cidera di pundak abang itu lumayan parah, aku kabarin Bou ya. Aku tidak mau nanti disalahkan gara-gara tidak mengabari mereka,”kata Melani menatapku dengan tatapan memelas.
Aku diam mencoba mengatur potongan-potongan dalam ingatanku tentang semua yang sudah dilakukan mami padanya. Aku tidak ingin mereka memperlakukan istriku dengan buruk.
Melani masih menatapku menunggu jawaban untuk permintaanya.
“Berapa lama aku tidur?”
“Lebih tepatnya setengah hari,” jawab Melani membuka plastik penutup makan siang ku.
“Sekarang jam berapa?”
“Jam satu siang, kenapa Bang, jangan bilang abang ingin mengurus pekerjaan lagi.”
“Harus Dek, aku memastikan sudah sejauh mana tahap pengerjaannya, karena owner nya memintaku memberi kabar jam 12 tadi, mana ponselku?”
“Ketinggalan di rumah tadi malam,”
“Kamu bagaimana sih meninggalkan ponselku di rumah, terus bagaimana aku menghubungi kalau sudah seperti ini!”
Suaraku m meninggi membentak Melani, ia mengedik memundurkan lehernya karena kaget dengan sikapku yang marah-marah.
“Kamu sih, aku sudah bilang tadi malam jangan membawaku kesini, kamu pakai memaksa lagi, begini ‘kan jadinya, aku tidak bisa mengabari tentang apa yang terjadi, aku benci pekerjaan yang tertunda.”
Aku menutup mata, mencoba mengontrol emosiku yang ingin meledak hanya karena hal sepele, kebiasaan lama yang belum bisa aku ubah, sangat tidak suka janji yang aku ucapkan tidak bisa aku tepati.
Ini tentang pekerjaan yang pengerjaannya di buru-buru yang menguras tenaga dan pikiran, pekerjaan yang membuatku berakhir di ranjang rumah sakit ini.
Sikap kasar ku kali ini aku pikir akan membuat Melani menangis atau ia akan ikut marah balik.
Saat aku membuka mata, ia masih duduk menatapku, mencoba membaca lewat ekspresi ku.
“Baiklah, aku akan mengambilnya ke rumah jika itu sangat penting,”
ucap Melani berdiri.
Melani mengeluarkan kunci mobil dari saku jaket miliknya.
Melani Bawa mobil pulangdalam keadaan marah?
untung otakku masih sedikit bisa diajak berpikir.
“Terus… aku bagaimana?aku lapar, aku haus,”
kataku membuat alasan untuk menghentikannya, agar tidak pergi membawa mobil dalam keadaan marah.
“Terus abang ingin aku mengerjakan yang mana, dulu?”
Melani meletakkan kunci itu lagi di atas nakas di samping ranjang.
“Aku ingin makan dan minum obat, dulu.”
Hadeh kenapa aku bangun-bangun langsung marah-marah sih, mungkin Toni sudah mengabarinya, soalnya tadi malam aku kan sudah berpesan padanya , aku bermonolog sendiri.
Menyesal karena sudah terlanjur memarahi perempuan cantik itu, kini senyum indah ala bunga mekar itu sudah berubah wujud bagai batang kaktus di gurun pasir. Tidak ada lagi senyum manis lagi seperti saat aku bangun, senyum indah itu telah menghilang dengan suaraku yang meninggi tadi, wajah itu kini sudah datar.
Hal yang paling aku tidak sukai darinya, aku tidak suka kalau ia bersikap tegas dan berubah jadi pendiam seperti itu.
“Maaf,” ucapku saat ia menyuapiku.
“Baiklah,” jawabnya singkat,
Butuh waktu beberapa Jam untuk ia tersenyum dan bercanda denganku lagi, saat ia menyuapiku suasana hening, hanya suara sendok yang terdengar bersentuhan dengan piring
Ah harusnya tidak membuatnya marah tadi.
Hingga makan itu ludes tidak bersisa, Melani tidak sedikitpun membuka mulutnya.
“Melani, aku’ kan sudah meminta maaf, apa harus mendiamiku seperti ini, itu karena kepalaku sakit dan pundak ku juga sakit,” aku mencoba mencari perhatian darinya.
“Abang harus meminum obat, setelah itu Dokter akan mengganti perban di kepala abang.”
“Tapi aku merasa ada bagian yang sakit lagi dari Tadi, saat kamu tiba-tiba mendiamkanku.”
“Bagian mana?”
“Hatiku.”
“Nanti Dokter akan memberikan obatnya juga.”
“Haa?Obat untuk hatiku?’
kataku menatap matanya.
Tidak berapa lama seorang Dokter muda berwajah cantik memeriksaku, aku bisa membayangkan Melani memakai jubah itu nantinya, tinggi badan mereka sama bahkan senyumnya sama.
Saat aku tersenyum hanyut dalam lamunan tanpa sadar Dokter itu membalas ku dengan senyuman, aku mengira ia salah paham padaku.
“Pacar bapak melihat bapak,loh.”
“Oh ia istriku Dok. Dia juga calon Dokter,” ucapku dengan bangga.
“Oh, benarkah?Oh istrinya, saya pikir tadi pacarnya.”
Senyum yang di pamerkan Dokter cantik semakin manis, ia melirik Melani.
“Oh, bapak itu sangat tampan, mapan dewasa lagi, seseorang pasti sangat senang.
Melihat Melani cemberut, aku pikir Melani cemburu .
Aku berpikir akan membuat tamba cemburu lagi.
“Tidak juga, dia tidak begitu senang,.”
“Ckkk, kalian berdua ngomong apa sih?
Kak Nela juga, sudah sana, aku bisa menggantinya nanti,” ucap Melani menghardik pinggang dokter cantik itu, mereka terlihat sangat dekat membuatku kebingungan sendiri.
“Oh, benarkah ibu dokter…?”
“Eh… tunggu, kalian saling mengenal?” tanyaku penasaran.
“Iya, dia kakaknya Aldo!” balas Melani dengan mata meledekku balik.
“Haaa!?”
“Aldo lagi ngapain Kak?”
“Kenapa nyariin adikku, sudah punya suami tampan, mapan,” kata Dokter cantik itu lagi.
“Aldo lebih tampan, kak,” ucap Melani, sukses membuatku kupingku panas.
“Heii! Kamu berani membanding-bandingkanku sama bocah itu, iya.
Sudah, sudah. Dokter keluar saja, aku tidak mau dokter yang memeriksaku lagi,”
kataku kekanak-kanakan.
Siapa yang menduga niat ingin membuatnya cemburu, malah aku yang di buat panas. Aku tidak menduga dokter yang tersenyum manis itu kakaknya Aldo lelaki yang diam-diam cinta pada Istriku.
Aku terkena jebakan sendiri. Itu semua karena aku marah-marah di waktu yang salah.
Bersambung...
Bab 54
Dokter cantik itu keluar setelah melakukan pemeriksaan padaku, kakaknya saja cantik seperti ini, pantas Aldo juga seperti orang Korea putih bersih,kataku menatap Melani.
“Tadi aku hanya ingin membuatmu cemburu Ta, kok jadi kamu yang menanyakan adik nya si Aldo, Aldo itu.”
“Kucing garong mah memang tidak bisa melihat ikan, pasti diembat,”
kata Melani cuek.
Melani mengibaratkan aku dengan kucing garong, padahal, aku niatnya ingin membuatnya cemburu,
“Enak saja ngatain aku kucing garong, aku itu kucing Siberia,” kataku ingin membuatnya tertawa, tetapi gagal.
Sejak kami mulai bersama, pertengkaran, cemburu, bercanda, semua itu mengawali perjalanan rumah tanggaku dengan Melani, saat aku bertobat dan meninggalkan Mikha, dan kembali kejalan yang lurus, sekarang aku jalani dengan seluruh hidupku tanpa beban.
Dua hari sejak pulang dari rumah sakit, aku masih tahap pemulihan di rumah, aku hanya menginap satu malam di rumah sakit saat itu,
Aku tidak betah di rumah sakit, aku ingin Melani yang menjagaku dan merawat ku di rumah.
Ia setuju dan membawaku pulang, kini setiap hari, ia yang berperan jadi suster dan jadi Dokter untukku.
Rasanya sangat berbeda saat istri yang merawat.
“Bang kita pulang ke rumah Bou iya, aku tidak enak, kita sudah lama tidak ke rumah,”
kata Melani.
“Baiklah, tanganku juga sudah pulih, tapi kamu sudah siapkan mental yang kuat untuk menghadapi mereka?”
“Sudah, pasang obat kebal di hati,”
jawab Melani.
Aku cepat juga pulihnya, tidak sia-sia punya istri calon Dokter, semua berubah dalam hidupku termasuk pola hidupku.
Sejak bersama Melani , aku sudah jarang pergi ke Bar, pernah beberapa kali, tapi itupun aku perginya dengan Melani dan beberapa Temannya dari Kampus.
Pernikahan Kami sudah hampir tiga Tahun, dan sudah 7 bulan sejak aku memutuskan tinggal dengan Melani, Tapi sejak 7 bulan bersama, Melani belum hamil juga, kami sudah pergi ke banyak Dokter, semua bilang baik, Tapi kami tetap akan sabar untuk menanti sampai berkat indah itu datang.
“Abang jagan merokok lagi, iya.” kata Melani malam-malam sebelum kami tidur.
“Kenapa, ibu Dokter?”
Tanyaku merangkul pinggang ramping Melani, aku berharap suatu saat perut datar itu, tidak datar lagi, tapi melendung dan ada buah cinta kami di dalam.
Tapi sepertinya keinginan itu masih belum ter wujud,
Mami semakin menekan Melani, Mami sering meneleponku menanyakan hal itu, karena sudah hampir tiga tahun belum juga hamil, tapi tidak sekalipun ia marah, saat Mami memarahinya lewat sambungan telepon, memarahi Melani seperti biasa.
“Bang merokok itu, tidak bagus untuk kesuburan, aku akan memberi abang vitamin untuk abang minum, abang berhenti saja, iya,”
bujuknya, tatapan matanya memohon,
“Susah Ta, tapi aku akan berusaha,”
kataku , tidak ingin berjanji, karena aku tahu, susah untuk menghentikan kebiasaan ku merokok, aku salah satu laki-laki dari penduduk planet Bumi ini yang susah menghentikan kebiasaan buruk itu.
Mungkin aku akan berhenti, jika pabrik rokok sudah berhenti ber-operasi.
Pagi ini Melani sudah bagun duluan, rencananya kami akan ke rumah Mami setelah pulang dari kampus, seperti yang sudah kami rencanakan tadi malam, tapi pagi-pagi Melani sudah membuat masalah.
Ia menyodorkan satu botol kecil saat aku bangun, dengan mata setengah sadar.
“Apa ini?”
tanyaku belum mengerti.
“Abang mau ke kamar mandi,kan tampung kesini iya bang,”
kata Melani.
Aku menatapnya dengan bingung, dengan mata menyengit ,
“Untuk apa?”
“Hanya ingin memeriksa di laboratorium saja, bang,”
“Kamu pikir apaan?
Kamu pikir aku yang penyakitan?”
kataku tersinggung.
“Iya ampun Bang, tidak, aku hanya ingin memeriksa saja, aku juga, tidak salah’ kan, kalau ada yang sakit kita berobat dan kita sembuhkan.”
“Kamu terlalu menyombongkan sekolah Kedokteran mu Ta, itu menyinggungku ,aku tidak suka dengan sikap seperti itu,”
kataku marah.
“Kok jadi abang marah-marah sih, aku hanya berusaha yang terbaik untuk rumah tangga kita bang,”
kata Melani, Menahan air matanya.
“Sekali aku bilang tidak, maka tidak, kamu belum jadi seorang Dokter Ta, jadi berhenti melampaui batas kemampuanmu,”
kataku menahan emosi,
“Baiklah kalau abang emosi,” kata Melani, meninggalkanku.
Ia mengalah dan pergi ,meninggalkan Botol kecil pembawa bencana itu.
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ketakutan saat Melani , bilang ingin memeriksaku, ternyata egoku masih tinggi, Jika Dokter yang lain memeriksaku, aku merasa tidak apa-apa, tapi sepertinya aku merasa sangat tersinggung saat Melani ingin memeriksanya,
Walau pada akhirnya, aku masuk ke kamar mandi degan berat hati, aku menampung air milikku di dalam botol kecil yang di berikan Melani, dengan perasaan bercampur aduk, aku menatap air berwarna sedikit ke kuning-kuningan itu.
Aku merasa, ada rahasia yang akan jerjadi di balik air yang berwarna kuning itu nantinya.
Tapi aku mencoba menenangkan pikiranku, aku berharap Melani tidak melakukannya, aku merasa tidak bisa melakukan pemeriksaan itu, aku membuangnya ke tempat sampah di kamar mandi.
“Aku tidak bisa melakukannya, kamu jangan sembarangan menuduhku,”
kataku menahan dadaku yang bergemuruh.
“Baiklah bang, tidak apa-apa, saya minta maaf kalau sudah membuat abang tersinggung,” kata Melani.
Tapi lagi-lagi aku tidak bisa menahan luapan emosiku ”
Kamu tidak perlu melakukan itu padaku, kamu belum jadi seorang Dokter, kamu itu masih kecil,”
kataku pakai emosi.
Melani terlihat sangat tenang, seakan aku ini anak kecil yang masih labil.
“Ini minum dulu air hangatnya, kata Melani memberikan satu pil untuk aku minum, aku sedikit merasa tenang, kembali.
Ada apa denganku, kenapa selalu marah-marah tidak terkontrol ih aku?
“Ayo abang, kita serapan, Melani sudah menyiapkan menu sehat untuk kami berdua,”
“Kamu marah karena aku menolak menampungnya?” tanyaku penasaran dengan sikap tenang itu.
“Tidak, untuk apa tersinggung, berarti aku saja nanti yang periksa itu kata Melani menunjukkan botol miliknya, warnanya lebih kuning, aku sering merasa sakit pinggang, aku takutnya ada bagian dalam perutku penyakit lain, aku hanya ingin memeriksanya, kebetulan kami nanti ada praktek di laboratorium.
Itu saja tidak ada maksud lain,” ucap Melani membuatku terdiam.
“Sepertinya aku ada penyakit serius dalam perutku, karena warna sangat kuning, punya abang begitu, gak?”
Melani bertanya dan menatapku.
“Kamu membuatku jijik sih, dari tadi ngomongin itu mulu.”
Kataku tersinggung lagi.
“Ok baiklah, maaf, tidak lagi bang,”
Hal yang satu itu terkadang kalau di tanyakan kebanyakan kaum adam seperti saya tersinggung dan marah,
Bab 56
Akibat Mara-Marah
Hal yang menyangkut kualitas bibit lelaki, terkadang kalau di tanyakan kebanyakan kaum adam, seperti aku tersinggung dan marah.
Jujur saat itu, aku benar-benar marah dan tersinggung, mungkin untuk Melani itu sudah hal biasa bagi dunia medis.
Tapi bagiku, itu masih hal yang masih tabu dan melukai harga diriku.
Belum juga serapan itu habis, aku sudah berdiri, ingin pergi.
“Abang udahan serapa’nya? Tunggu aku bereskan dulu,”
kata Melani merapikan meja.
“Aku berangkat duluan, saja.”
Melani terdiam menatapku dengan tatapan dalam, wajahnya terlihat bingung dengan sikapku yang uring-uringan.
“Abang masih marah?”
Melani meletakkan wadah yang ia pegang tadi di atas meja.
“Menurut kamu?”
“ Aku sudah meminta maaf Bang, aku tidak akan mengulangi lagi.” Katanya, disini akulah yang bersikap seperti anak kecil.
“Sepertinya benar kata Mami Ta, kamu bakalan sombong kalau kamu sudah jadi Dokter, belum jadi Dokter saja kamu sudah mendikte suamimu.”
Kataku marah.