Suasana di di halaman kantor jadi perhatian warga sekitar karena ulah para preman kuali gosong ini, bagaimana tidak? kantor Naima Karya yang selama ini hening karena sudah tutup, tiba-tiba jadi perhatian banyak orang karena ulah mereka.
“Bang jangan berisik dong,” ujar seorang pemuda yang rumahnya tidak jauh dari kantor.
“Eh … Lu diam! Kalau lu masih ingin hidup!’ bentaknya dengan kasar.
“Iya Bang,” ucapnya dengan takut, ia masuk ke dalam rumah.
Nyali pemuda bertubuh kerempeng itu tiba- tiba ciut, seperti kerupuk di disiram air, saat salah seorang dari mereka mengacuhkan golok panjang, jangankan pemuda kerempeng itu, aku saja merasa takut.
Para lelaki sanggar bertato itu sangat beringas, mereka tidak peduli dengan lingkungan sekitar, dengan beraninya mereka berempat menenteng balok kayu, dan memukul-mukul pagar.
“Keluar lu Fernando, bayar utangmu!” teriak salah seorang dari mereka.
“Utang …? Utang apa, perasaan aku tidak punya utang , utang sama siapa? baru juga mau ajuin ditolak.
Lalu aku punya hutang sama siapa?” Semakin aku berpikir semakin aku bingung.
“Gue tahu lu ada di dalam brengsek, keluar lu!” teriaknya mereka semakin lantang.
Bukannya aku takut untuk menghadapi mereka, kalau disuruh one by one sih masih mending, mereka berempat pasti menghajar ku sampai penyok jika aku keluar, diam dalam ruangan menunggu Beny cara yang paling tepat saat ini.
Karena aku juga belum tahu siapa yang punya hutang sama mereka, karena selama dalam pusat rehabilitasi, banyak hal yang berubah dan banyak hal yang tidak aku ketahui selama dipingit di pusat rehabilitasi, karena selam di sana aku benar-benar tidak diperbolehkan untuk keluar.
Para preman bertampang sangar yang mendatangi kantorku saat itu. Mereka semakin marah karena aku memilih duduk diam dalam di kursi kerjaku.
“Itu kantornya sudah lama tutup Bang,” ujar salah seorang warga.
“Eh lu juga diam gak usah ikut-ikutan!” Bentaknya lagi.
Mental kerupuk jange si bapak langsung melempem.
Tidak lama kemudian akhirnya Beny datang bersama anak buahnya.