Kapal melaju perlahan di danau Toba, danau yang indah, memandang gunung dan hamparan pinus di tepi danau Toba, dan hembusan angin membuat jiwaku semakin terasa kosong.
‘Inikah namanya rindu setengah mati? Seumur hidup baru kali ini aku merasa rasa rindu yang sangat menyesakkan dada. Aku hanya bisa duduk diam dalam kekosongan, tanpa sadar sebutir kristal bening menetes dari sudut mataku.
‘Gila … apa aku menangis?’ mengusap mataku dengan buru buru, aku melirik kanan kiri tidak ada yang melihatku meneteskan air mata. Aku duduk di tingkat paling atas kapal, sementara Mami duduk di tingkat paling bawah bersama Papi dan perawat yang menjaganya, aku sengaja duduk di atas kapal, suara mesin kapal menutupi pendengaran ku, tapi hati dan pikiran dipenuhi bayangan Melani.
Semakin kapal mendekat dan hampir tiba di pelabuhan Pandiangan, semua sudah turun, hanya aku masih duduk, beberapa tahun yang lalu, saat kami datang disambut bak raja.
Tetapi saat ini, kami datang, semua sudah berbeda, hanya kami yang di turunkan di pelabuhan Pandiangan.
“Nando cepat turun!” teriak Papi saat kapal mau jalan lagi.
“Kita naik apa Pi?” Aku bertanya sembari turun dari kapal, tidak ada kendaraan di pelabuhan.
“Tenang, kemarin aku sudah suruh orang menjemput kita di sini.”
Aku enggan melangkah, aku berharap Melani datang dari Jerman , walau hal itu tidak mungkin.
Hingga mobil berwarna hitam datang menjemput kami, aku berdiri ingin rasanya aku kembali lagi ke Jakarta, tidak ingin melihat kampung Melani dan teman-teman Melani.
“Ayo masuk, nunggu apa lagi …!?” panggil Papi dari dalam mobil.
“Aku balik lagi saja iya Pi, aku sepertinya berat bangat mau kembali ke sana.”
“Kamu mau naik apa? tidak ada kapal lagi jam segini, Ayo ada-ada saja kamu, oppungmu loh yang meninggal ,” ujar Papi.
“Baiklah, mari kita pergi,” menurut walau berat hati.
Sepanjang jalan pulang, aku hanya diam menutup mata.
Dari pelabuhan tempat kami turun, naik lagi ke desa.
Mobil kami tiba dan berhenti di Desa Dolok Martahan, saat di depan halaman sudah dipasang tenda, aku sama Papi membantu Mami turun , saat menurunkan koper dari bagasi mobil.
“Horas... amang, selamat datang Bou,” suara itu membuatku hampir pingsan, tidak mungkin, suaranya saja yang mirip pikirku, melanjutkan menurunkan koper.