Saat melihat Melani di depanku, aku berpindah tempat dan tidur di depannya, menatap wajahnya saat tidur membuat mataku tidak bisa terpejam lagi malam itu, ku tatap setiap inci wajahnya.
Jujur, Melani yang saat ini sangat cantik, aku baru menyadari kalau ia memiliki hidung yang mancung dan alis yang tebal alami, maksudku alis Melani tidak dibentuk seperti celurit Madura seperti alis tante Candra dan mami
Lagi - lagi aku sport jantung dibuatnya, Suara jantungku bergemuruh saat melihat Melani tertidur pulas di depanku dengkuran halus terdengar dari mulutnya.
Ah … Ingin rasanya saat itu tidak ada pagi, terus saja malam agar aku bisa terus tidur di samping Melani.
Berbagi satu selimut di dalam satu ruangan bersama keluarga besar kami tidak banyak yang bisa aku lakukan, hanya merangkul pinggangnya dari bawah selimut itu sudah lebih dari cukup bagiku saat itu.
Tidur malam itu terasa sangat berbeda dari malam-malam sebelumnya, karena hampir dua tahun lebih Melani belajar di negeri orang. Dengkuran halus dari Melani membuat tersenyum tipis, sudah sangat lama tidak mendengarnya, setelah puas menatap wajahnya, menjelang pagi barulah mataku bisa diajak kompromi, aku ikut tertidur pulas.
Pukul 05:00
Dolok Martahan Samosir.
Suara ayam saling bersahut-sahutan dan suara orang sudah mulai sibuk di dapur.
Mungkin karena Melani kecapean sejak dari kemarin sudah pagi ia belum juga bangun, kalau biasanya ayam berkokok ia sudah bangun seperti biasanya yang dulu.
Saat semua sudah bangun hanya kami berdua yang masih tidur terlelap di tikar di pojokan ruangan. Semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri karena hari ini pemakaman opung kami, itu artinya hari ini ada pesta adat dan pesta besar, semua ibu-ibu sibuk marhobas dan keluarga kami sibuk ke salon, termasuk Mami dan Ibu mertuaku sudah terlihat di salon di kamar.
“Kemana si Melani?” tanya mertuaku terlihat mondar-mandir setelah selesai di salon, mengintip dari balik selimut tatanan rambut ibu mertua terlihat seperti sinden Jawa.
Aku mendengarnya, tapi aku mendiamkannya, membiarkan Melani tidur lebih lama denganku.
Tante Candra sudah datang dari Hotel, setelah semalaman memilih tidur di Hotel daripada tidur dengan keluarga besar kami, tapi aku senang ia tidur di hotel, dengan begitu Melani bisa tidur bersamaku. Mungkin kalau tadi malam mereka tidak menginap, bisa saja aku di suruh tidur dengan Candra atau tidak adik-adiknya.
Aku mendengar keluarga itu duduk di samping kami.
“Siapa yang masih tidur, lni?” tanya Tante mendudukkan tubuhnya di sampingku.
Aku sengaja menutup kepala dengan selimut dan Melani meringkuk kedinginan di bawah selimut .
“Abang Nando, ya ?” Edo menepuk pundakku.
“Aduh … Melani tidur di mana lagi” tanya mertuaku mencari Melani mondar-mandir.
“Ini nantulang, siapa yang tidur?” Candra menunjuk kami berdua.