Setelah Melani menutup pintu, aku pikir Melani akan memberiku kiss rindu, ternyata ....
Ia mengganti pakaiannya, memakai kebaya serba hitam.
‘Iya ampun Nando otak gadong ... latteung! masih sempat - sempat ya memikirkan hal itu' Aku memaki diriku sendiri.
Dug … dig.. dag …!
Lagi-lagi jantung berdendang lagi, suara jantungku semakin bertalu. ‘Apa yang dipikirkan Melani? Aku yang aneh …. Apa Melani yang lupa kalau dia meninggalkan surat untukku? '
“Tolong kancingin Bang kebayanya dari belakang,” ucap Melani.
Ia terlihat sangat cantik dengan kebaya berwarna hitam, dipadukan sarung berwarna hijau, hampir semua ibu- ibu di keluarga kami memakai kebaya hitam, karena pesta hari ini pesta meninggal jadi seragamnya hitam artinya berduka.
Tanganku meraih resleting kecil kebaya Melani, model kebayanya resleting belakang.
“Sudah …,” ucapku membersihkan putih-putih di kebaya Melani.
“Tunggu sebentar iya Bang, aku dandan dulu.” Melani mengeluarkan tas makeup-nya dari koper miliknya.
Aku sudah berpakaian rapi, duduk menonton Melani bersalon sendiri, ia menata rambut sendiri, kalau tadi ibu mertuaku tatanan rambutnya mirip sinden Jawa, kali ini anaknya lebih cantik, rambutnya di sanggul sedikit di belakang, mirip pramugari, dijepit menggunakan hiasan untuk mempercantik rambut, beberapa menit kemudian.
“Tolong jepit di sini bang.” Melani menyuruh menjepitkan bros kecil di belakang.
“Kamu bisa salon juga?” tanyaku penasaran, sepertinya, Melani punya banyak talenta.
Selain kemampuannya membuat hati orang berdebar-debar iya juga bisa membuat mata orang tidak berkedip melihatnya.
“Bagus gak bang?” tanya Melani melihatku dengan senyuman.
“Bagus bangat,” ucapku memuji, bukan hanya sekedar pujian, hasil salonnya memang cantik, natural dan sederhana tetapi manis, ia tidak menor. melihatnya sangat cantik, ingin rasanya aku mencubit pipinya.
“Diajarin teman waktu di Jerman, aku juga bantuin teman buka salon, jadi aku dapat ilmu,” kata Melani.
“Kamu sangat cantik,” aku memujinya.
Membalasnya dengan senyuman tipis ,tersenyum begitu ia terlihat seperti kelopak bunga mawar yang baru mekar di pagi hari, aku jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya pada Melani setelah kami menikah.
“Abang sudah?” tanya Melani memakai sepatu dengan tumit yang tidak terlalu tinggi.
“Sudah, ayo.”
Dalam rumah hanya kami berdua, semua orang sudah berkumpul di halaman rumah oppung.