Setelah selesai deretan acara adat saur matua oppung kami kegiatan diadakan pesta besar, karena anak-anaknya sudah sukses, seharusnya untuk pesta saur matua seperti ini, tidak ada lagi acara tangis -tangisan karena opung juga sudah sangat tua.
Kaki terasa pegal, karena manortor atau menari, dan berdiri hampir satu hari, tetapi bersyukur karena acara adat saur matua oppung kami, bisa berjalan dengan baik tanpa ada kekurangan apapun.
Aku masih berdiri di di kamar Melani membuka dasi yang kupakai, menarik nafas berat, aku merasa ada sesuatu yang akan dibahas nanti termasuk masalah rumah tangga kami dengan Melani.
“Abang kenapa?” tanya Melani yang tiba-tiba masuk.
“Aku tahu akan ada pertengkaran dan perdebatan besar nanti, aku merasa sedikit takut, terlebih masalah rumah tangga kita nanti,” ucapku dengan sangat berat.
“Tidak apa-apa Bang, perdebatan itu hal biasa di setiap keluarga, apalagi sudah mengumpul begini,” ucap Melani terlihat tenang, berbanding balik denganku yang merasa gelisah.
“Tapi aku merasa tidak percaya diri lagi, aku melempem ini.”
Melani tertawa kecil, melihatku yang tiba-tiba seperti ayam sayur, saat bertemu keluarga besar malam ini.
“Abang mau gak mereka semua tidak terlalu marah lagi nanti?” tanya Melani menatapku serius.
“Maulah, apa yang kita harus lakukan?”
“Ayo kita beli minuman, saat mereka sudah mulai emosi nanti, kita baru keluarkan” Melani memberikan usulannya.
Melani asli orang Toba Samosir, ia sangat tahu kebiasaan orang Batak saat kumpul, dalam acara baik di acara arisan maupun acara keluarga, pasti tidak jauh dari namanya tuak dan bir serta pendampingnya kacang, bukanya hanya di kampung Melani seperti itu, di setiap acara yang ada kumpulan Batak pasti seperti itu juga.
“Maksudmu kita buat mereka mabuk?” tanyaku.
“Iya,” jawab Melani santai.
“Ah, rasanya tidak sopan membuat keluarga kita tepar,” kataku menolak.
“Tenang Bang, aku sudah mengenal bapa uda sama bapa tua di kampung ini, mereka justru merasa dihargai kalau kita beli minuman untuk mereka,” kata Melani.
“Benarkah?”
“Iya, kita belinya jangan sampai berkarton-karton juga, satu krat saja, beli kacang coca cola, buat ibu-ibu,” ucap Melani.
“Ok aku pamit papi takut dicariin,” aku setuju ide Melani, memberi kabar sama Papi, supaya tidak di cariin nanti.
Melani juga pamit, “Kita naik motor apa naik mobil Mel?”
“Mobil saja, takut hujan,” sahut Melani, Padahal aku tadinya ingin naik motor, ingin berduaan dengan Melani, tapi karena takut hujan kita memutuskan naik mobil.
Niat ingin berduaan, lagi-lagi jadi batal, tiba-tiba adik-adik Melani minta ikut, ada rasa kecewa sedikit. Tapi berkat mereka aku bisa tertawa ngakak, saat adik-adik Melani menceritakan kejelekan Melani dengan bahasa daerah yang masih kental, adik-adik Melani sangat riuh dalam mobil, semuanya adik dan abang Melani berjenis kelamin laki-laki, bisa dibayangkan dalam rumah keriuhan mereka.