Malam itu, salah satu dari tulang yang bertengkar dipaksa diantar pulang agar pertengkaran berhenti.
Aku dan ketiga anak lelaki itu, terpaksa tidur di tikar, mereka bertiga juga bersikap biasa saja, hanya mama mereka yang bersikap berlebihan, kata jaman sekarang Lebay. Aku pikir sudah bisa tidur tenang setelah pertengkaran tulang yang tadi berhenti, Ternyata masih ada lagi yang baru.
“Angkatin kasur lah dari rumah Melani untuk mereka bertiga, karena mereka tidak pernah tidur di lantai,” perintah tante pada abangnya Melani, tentu saja Laeku tidak mau, memang mereka babunya.
Mendengar itu semua keluarga yang ada di rumah mengomel meminta mereka ke hotel lagi.
Tante selalu senang membuat masalah dan paling senang membuat, ia jadi bahan perhatian orang.
“Sudah dong mama, kami tidak apa-apa, mama tidur saja jangan bikin malu,” bisik Edo ikut berdiri membantu mamanya keluar.
“Tidak, nanti abang mu badannya sakit, dia tidak biasa tidur di lantai,” katanya masih ngotot.
“Mama sudah!
Aku bukan anak Bayi lagi” Candra marah, ia meninggalkan rumah.
“Kok kamu jadi marah? Mama hanya ingin terbaik untuk kamu, ini rumah mamaku juga, tidak ada yang boleh mengucil-ucilkan anak-anakku, apalagi mengusir mereka,” ujar tante, entah untuk siapa kata-kata itu ia tujukan, yang pasti mulutnya sudah pasti gatal ingin bertengkar.
“Kamu ngapain lagi sih?” bapa uda tiba-tiba datang dari luar menariknya keluar.
“Tidak…! semua orang di rumah ini mengucilkan aku dan anak-anakku, seakan -akan apa yang ada di rumah ini miliknya, mereka tidak tahu ini juga rumahku!” Teriaknya membuat kehebohan lagi.
Biasanya kalau ada keributan dan pertengkaran biasanya mami orang paling cepat muncul kepermukaan, tapi sejak tadi aku tidur-tiduran, ia tidak datang.
Hanya ada dua kemungkinan, ia tertidur atau dilarang Papi ikut campur, tante sudah mulai marah-marah tidak jelas.
Jam sudah menunjukkan pukul 1:30 pagi.