Belanja mereka tidak sampai satu juta, aku sudah meminta mengambil apa yang mereka suka, tetap sekitar peralatan sekolah, tapi adik Melani yang bernama Lamhot yang duduk di kursi Sekolah Menengah Atas selalu, melirik ke Toko sebelah, aku penasaran dan ikut melihatnya.
Ia melirik showroom motor.
‘Apa dia ingin motor?’ Aku bertanya dalam hati, tidak masalah bagiku kalau ingin motor.
“Lae ingin motor?”
Wajahnya terkejut saat aku memergokinya melihat-lihat motor.
“A-a-a kawan-kawan semua ke sekolah sudah naik kreta lae, sekolahnya jauh, sekolahku itu lae yang samping lapangan itu, jalan kaki dari rumah berangkat dan pulang,” ujarnya sedih.
“Wa jauh bangat lae kalau jalan kaki,” ucapku terkejut, rumah Melani ke sekolah lumayan jauh, dari huta Dolok Martahan ke Nainggolan, jika di tempuh jalan kaki kira-kira satu setengah jam, tiba di sekolah sudah pasti lelah duluan, mana masuk lagi pelajaran ke otak kalau sudah capek tiba di sekolah yang ada ingin tidur.
“Kakak juga dulu jalan kakinya Bang. Kadang aku tidak serapan dari rumah, karena tidak sempat, di sekolah tidak jajan, pulangnya kadang kaki sudah gemetaran,” katanya berucap pilu.
“Baiklah, ayo kita beli, mau yang mana?” tanyaku.
Matanya kaget, menatap ku tidak percaya, ia hampir menangis.
“Ayo pilih lah,” ujar ku, aku menarik tangannya untuk memilih, pertama ia sangat takut.
“ Mabiar au lae abang Saut muruk.”
(Takut aku lae, nanti abang Saut marah)
“Tidak apa-apa, biar aku yang bicara nanti,” kataku menenangkannya.
Ia setuju dan satu memilih motor yang ia suka, Rudi dan kedua adiknya masih sibuk memilih sepatu , saat selesai mereka kaget melihat kami masuk ketempat penjualan motor.
“Mau beli kreta abang? Mata mereka melotot tidak percaya.
“Iya lae mau beli satu untuk lae Lamhot.”
“Wah… boi hita markareta molo sikkola ake bang.”
(Wah … bisa kita naik motor kalau berangkat sekolah iya, bang)