Setelah belanja di Onan (pasar), kami akan pulang ke rumah karena hari sudah semakin sore dan toko-toko juga sudah mulai banyak tutup
“Sudah, kita pulang iya, kita nanti kelamaan,” ucapku, untuk menghentikan acara tangis-tangisan mereka berdua, melihat mereka menangis aku jadi ingin ikut menangis.
“Iya nanti nenek lampir marah,” ujar lae Lamhot.
“Siapa nenek lampir Lae?” tanyaku penasaran.
“Bou Candra borneng stres”
Aku tertawa mendengarnya, rupanya lae yang satu ini walau ia selalu diam, ternyata ia marah melihat kelakuan tante Candra. Dari semua abang dan adik Melani ada satu yang paling pendiam dan jarang bicara, Namanya Lamhot Nainggolan anak remaja yang duduk di bangku SMA.
“Ah dang boi songoni Mang, pantang.”
(Tidak boleh seperti itu Nak, tidak sopan) ujar Ibu mertuaku menasihati
Akhirnya kami pulang.
Penumpang mobil hari ini berkurang dua, lae Lamhot dan Rudi naik motor yang baru di beli, kami pulang ke rumah karena hari sudah sore.
Hari ini, bertambah satu moments indah dalam hidupku dan menjadi kenangan indah untukku dari keluarga Melani, aku belajar untuk selalu bersyukur, apapun bentuk kehidupan yang kita jalani , karena rezeki Tuhan yang mengatur, tapi bahagia adalah sebuah pilihan.
Tiba di rumah, benar kata Melani kami disambut mata sinis dari tante Candra, apalagi saat melihatku bersama Melani, tapi aku sudah tidak merasa takut lagi seperti saat di Jakarta dulu, karena aku sudah tahu kebenarannya, Melani masih istriku aku berhak untuk melakukan apapun.
Mereka duduk di depan rumah, sedang melihat kami, untungnya kami melakukan apa yang dikatakan Melani, tidak mengeluarkan barang belanjaan dari bagasi mobil.
Aku yakin kalau saja kami mengeluarkannya, tante akan bernyanyi sepanjang malam, tapi saat kami turun, tidak ada yang menenteng belanjaan, ia bingung, mata menyelidiki kami satu persatu, hanya melihat adik Melani yang kecil memegang mobil remote.
“Sudah? Kalian dari mana sih?” tanya Tante Ros melihat kami dengan tatapan bingung.