Diperlukan rasa untuk menjelaskan momen saat ruang dan waktu bertemu dalam satu kesempatan sempurna. Saat warna langit berubah menjadi emas. Saat sisa kenangan ikut pergi bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Apalah arti kata jika dibandingkan dengan rasa yang dapat menjelaskan keindahan seperti warna emas dalam senja. Seperti saat warna itu menyelimuti nisan-nisan di sebuah area pemakaman dengan cahaya yang hangat dan temaram.
Seorang penjaga makam duduk sendirian di bawah pohon kamboja, menatap nisan-nisan itu. Bertanya-tanya ia, apakah kenangan tentang mereka yang tiada akan menghilang saat tak ada lagi orang yang datang bertandang? Apakah mereka bersedih setiap kali matahari tenggelam dan kini mereka tinggal dalam kesendirian di liang lahat yang sempit? Elas—penjaga makam itu dapat ikut merasakan sepi setiap kali cahaya terakhir pergi meninggalkan area makam. Namun bagaimana pun juga, malam harus tetap terjadi.
Sepanjang jalan setapak ia berjalan. Sebuah bunga kamboja ia petik. Setiap kali melewati sebuah makam tertentu ia akan berhenti, meletakkan bunga di atas tanah dan mengelus nisannya penuh kelembutan. Terdiam untuk sesaat, membayangkan wajah seorang wanita cantik yang dapat membuatnya tersenyum, dapat membuatnya nyaman, dapat menenangkan hatinya dalam situasi kacau apapun. Wanita terhebat dalam hidupnya itu adalah Dahlia, bukan sebuah bunga, namun memiliki keindahan yang sama.
Istriku, hari ini aku harus pulang. Tapi besok aku akan kembali lagi.
Itu adalah kata-kata yang selalu ia ucapkan dalam hati setiap kali berpamitan. Elas pun berjalan pergi meninggalkan area makam. Sama seperti hari-hari kemarin. Sama seperti dua belas tahun waktu yang ia habiskan sebagai seorang penjaga makam sejak kematian Dahlia.
***
Sekelompok anak SMP berjalan di pinggir sawah. Empat anak di belakang dan satu di depan. Anak-anak di belakang tak hentinya mengejek si anak di depan, lebih tepatnya mengejek profesi ayahnya yang hanya seorang penjaga makam dan terkadang jika ada klien, tukang gali kubur.
“Ayahmu bau tanah!”
“Cuma diem di kuburan! Gak ada kerjaan!”
“Nasib, memang nasib, jadi tukang gali kubur!”