Yurisa menyandarkan tubuh mungilnya pada tembok. Kakinya sudah kebas karena terlalu lama berdiri. Punggungnya juga terasa pegal-pegal. Ini semua karena Kayana, perempuan itu mengajak Yurisa mengintai Dipta dan kawan-kawan yang sedang berada di kantin. Padahal Yurisa sudah menolak, tetapi Kayana malah menyeret Yurisa ke samping kelas XI IPS 1 yang dekat dengan kantin untuk bersembunyi.
“Udah, yuk, Kay.” Yurisa berusaha membujuk Kayana untuk kesekian kali.
“Bentar, dong, Yur. Gue lagi melakukan misi dadakan, nih.” Tolak Kayana tanpa melihat lawan bicaranya. Bagi Kayana, jika ia belum mendapatkan informasi apapun, ia tidak akan berhenti mencari tahu.
“Nanti kita dikira penguntit, Kay.” ujar Yurisa mulai tak tenang. Satu hal yang ada dipikiran Yurisa saat ini, Kayana terlalu nekat.
Kali ini Kayana menoleh kepada Yurisa. “Lo serius pacaran sama Dipta?”
Yurisa mengangguk sekali kemudian menyeret Kayana dari sana. Takut ada yang melihat dan mengadukan hal ini kepada Dipta. Bisa-bisa masalahnya malah semakin melebar. Yurisa memang cenderung tidak neko-neko.
“Ya elah Yurisa.” gerutu Kayana. Kakinya menyejajarkan langkah Yurisa yang begitu cepat. Seolah-olah sedang dikejar warga sekampung karena ketahuan maling ayam.
Keduanya memasuki kelas kembali. Suasana masih begitu ramai karena jam istirahat belum selesai. Ditambah lagi akan ada jam kosong tiga jam ke depan. Yurisa yakin setelah ini Kayana akan memberinya banyak pertanyaan.
“Lo seriusan di tembak Dipta kemarin?” tanya Kayana lagi. Padahal ia sudah menanyakan hal itu berkali-kali dan mendapat jawaban yang sama pula.
“Kan udah di jawab,” balas Yurisa.
“Kok bisa? Lo udah deket lama sama dia?”
Yurisa menggeleng kuat. “Boro-boro kenal deket, Kay. Bertegur sapa aja enggak pernah."
Kayana mencoba berpikir keras. Mencari kemungkinan mengapa tiba-tiba Dipta menembak Yurisa kemarin.
“Jangan-jangan Dipta diem-diem suka sama lo udah dari lama lagi, Yur.” celetuk Kayana.
Yurisa hanya menoleh sekilas kemudian membuka buku pelajarannya. “Nggak usah mikir yang aneh-aneh, deh, Kay.”
“Ah! Nyesel gue nggak masuk kemarin.” Kayana malah merengek. Ia telah menyia-nyiakan momen langka yang terjadi tidak pasti setahun sekali.
“Ya udah sih, Kay. Gitu doang lo tangisin.” balas Yurisa.
“Eh, tapi lo seneng kan jadi pacarnya Dipta?” tanya Kayana penuh selidik. Matanya memicing, seolah-olah Yurisa baru saja melakukan kebohongan besar.
Yurisa menghentikan kegiatannya sejenak. Gadis itu menggeleng pelan. “Gue enggak tahu.”
Kayana hanya meringis pelan. Mencoba untuk memaklumi Yurisa yang masih begitu polos tentang cinta. Semasa hidup, Yurisa hanya tahu belajar, bejalar dan belajar. Mungkin bisa dikatakan, Yurisa lebih baik patah hati dari pada nilainya turun.
"Terus, cara dia nembak lo kemarin gimana? Romantis nggak?" tanya Kayana penasaran.
Yurisa berpikir sejenak. Mengingat-ingat kejadian kemarin siang di lapangan upacara. Kalau dikatakan romantias, tetapi sebenarnya kemarin itu Dipta mengklaim Yurisa. Bukan seperti orang menyatakan cinta. Biasanya, kan, si cowok tanya, terus si cewek baru jawab. Tapi Yurisa rasa kemarin itu tidak.
Lalu, jika dikatakan tidak romantis, Dipta, kan, memberinya bunga mawar merah. Bukankah biasanya kalau cowok menyatakan cinta pakai bunga juga? Yurisa jadi semakin bingung sekarang.