Pagi-pagi sudah apes. Itu yang sedang dirasakan Yurisa. Ban motornya tiba-tiba bocor, alhasil dia harus dorong motor kurang lebih setengah kilo biar sampai ke tukang tambal ban. Tak sampai di situ, sampai bengkel ternyata antiannya lumayan. Ada sekitar 4 motor yang sedang digarap.
Yurisa mendesah lesu. Kalau sudah seperti ini dia hanya bisa pasrah. Sampai sekolah nanti pasti terlambat.
"Pak, masih lama, ya?" tanya gadis itu.
"Iya, neng. Mending neng duduk dulu, sambil nunggu angkot. Soalnya ini udah siang. Kasihan eneng kalau nungguin motor bisa terlambat." jelas bapak-bapak tersebut.
"Ya udah, deh. Saya tunggu di sini aja."
Yurisa ingin menangis, 20 menit lagi gerbang sudah ditutup. Angkot juga belum ada yang lewat. Kalau ia duduk di sini terus ia akan membuang-buang waktu. Tapi jika berjalan kaki ke sekolah, jaraknya masih sekitar tiga kilo lagi.
"Pak, saya titip motor ya. Nanti kalau pulang saya ambil." ujar Yurisa.
"Neng mau jalan kaki? Masih jauh neng, capek nanti." kata bapak yang punya bengkel.
"Dari pada nungguin angkot nggak dateng-dateng, pak. Nanti saya malah kesiangan."
"Ya udah kalau gitu, sok atuh bapak anterin." tawar bapak itu.
"Ehh, enggak usah, pak. Bapak kan lagi banyak kerjaan." tolaknya dengan sopan. Yurisa tidak ingin merepotkan.
"Yakin neng gak papa berangkat jalan kaki?"
"Iya enggak apa-apa. Duluan ya, pak."
Selepas mengatakan itu Yurisa bergegas ke sekolah. Dengan sedikit berlari agar cepat sampai. Meskipun napasnya jadi ngos-ngosan. Sesekali gadis itu berhenti berlari karena kehabisan napas.
"Mau bareng gak?"
Suara itu mengalihkan perhatian Yurisa. Ia mengamati motor hitam yang kini sudah berhenti di dekatnya. Kenal betul dengan siapa pemilik motor itu. Yang membuat heran, tumben Dipta peduli. Biasanya cowok itu memilih cuek dengan Yurisa.
"Mau!" jawab cewek itu akhirnya. Yurisa tidak akan menuruti gengsinya, jalan ke sekolah masih jauh. Lama-lama gempor jika memaksa berlari terus.
Cewek itu lantas mendekati motor Dipta. "Tinggi banget, Dip. Cara naiknya gimana?"
"Ya tinggal naik aja." balas Dipta kesal. Sedetik kemudian cowok itu mengulurkan tangannya. Berniat membantu Yurisa untuk naik ke atas motor. "Buruan."
Dengan senang hati Yurisa menerima uluran tangan itu. Tangan kecilnya menyelinap pada telapak tangan Dipta yang besar.
"Ayo!" seru Yurisa. Tangannya sudah berpegangan erat pada tas gendong cowok itu.
Klotak!
"Ben—"
"Dipta, 10 menit lagi gerbang tutup." oceh cewek itu. Tak membiarkan Dipta mengatakan sesuatu.
Mau tak mau Dipta segera melajukan motor hitamnya. Dari pada Yurisa semakin mengoceh. Sekarang, Dipta malah merutuki keputusannya sendiri untuk berhenti tadi.
"Dipta! Naik motornya yang kenceng!" seru Yurisa. Sedangkan Dipta dibuat bingung. Biasanya cewek kalau dibonceng motor mintanya jangan ngebut-ngebut. Tapi ini malah terbalik. Lebih aneh lagi, Dipta menuruti kemauan cewek itu.
"Dipta, Dipta." panggil Yurisa.
"Kenapa? Kurang kenceng naik motornya?" tebak cowok itu.
"Enggak!" ucap Yurisa setengah berteriak.