Dipta kalang kabut. Sudah beberapa hari ini ia tidak bisa menemukan Yurisa. Padahal Dipta sudah berangkat pagi-pagi dan pulang paling sore. Taman, perpustakaan, kantin dan tempat-tempat yang sering Yurisa kunjungi juga tidak ada. Ponsel Yurisa tidak aktif, bahkan pesan yang ia kirimkan tiga hari lalu hanya gadis itu baca.
Berkali-kali Dipta mencuri pandang ke kelas Yurisa, tetapi perempuan itu tidak ada. Yurisa seolah menghilang ditelan bumi.
Saat jam istirahat pula, Dipta juga tidak melihat Yurisa di kantin.
"Muka lo kusut amat. Minum dulu gih, biar nggak kering." komentar Malik. Ia sampai jengah melihat Dipta yang uring-urungan tidak jelas.
"Galau boleh, tapi nggak usah alay!" seru Rian.
"Siapa yang alay?" tanya Dipta.
"Ya kali aja gitu, terus buat story dimana-mana. Yurisa, aku minta maaf. Yurisa, angkat telepon." ujar Rian menye-menye yang sukses membuat Dipta memicingkan matanya.
"Lo pikir gue Gilang. Sekalinya galau buat story puisi sepuluh bait." ujar Dipta.
Gilang yang mendengar namanya disebut kemudian mendengus sebal. "Gue diem aja juga kena."
"Lo emang sasaran empuk, Lang." sahut Deva membuat Gilang memutar bola matanya malas.
"Serah lo pada. Orang ganteng mah nerima aja." ujar Gilang.
"Ganteng dilihat dari pucuk monas pake sedotan es teh." sahut Rian.
"Ya mending kalau sedotan es teh. Coba kalau sedotan milkuat. Seganteng apa coba si Gilang." tutur Malik semakin menyudutkan Gilang.
"Cuk! Mau kalian apa dah? Gue jelek lo katain dekil. Gue ganteng lo katain perawatan nyolong masker mbak gue." Gilang tidak terima. Lebih tepatnya merasa serba salah.
"Yang waktu itu lo nggak kira-kira. Masa dalam waktu semalem lo bisa ngalahin putihnya Deva." bela Rian.
Di antara mereka berlima, memang Deva yang kulitnya paling putih. Sekalipun dijemur Bu Wanda seharian di lapangan, kulitnya tetap tidak berubah.
"Ngomong-ngomong gue curiga Si Deva suntik putih." celetuk Gilang.
"Gue yang dicurigai cuma bisa ngangguk aja. Soalnya umur nggak ada yang tahu." Deva berujar dengan kalem.
Gilang mengumpat, membuat teman-temannya tertawa.
"Gue cabut." ujar Dipta yang langsung mengalihkan perhatian teman-temannya.
"Mau kemana Dip?! Woy!" seru Rian.
"Kelas!" jawab Dipta sayup-sayup.
Dipta tidak langsung ke kelas. Cowok itu menyempatkan diri menuju taman. Masih dengan tujuan yang sama, mencari Yurisa. Dipta harus menjelaskan kepada perempuan itu.
Nihil, taman terlilihat sepi karena bel akan segera berbunyi.
Selanjutnya, Dipta berencana pergi ke perpustakaan lagi. Karena, jika Yurisa tidak ada di kantin dan taman, dia pasti di perpustakaan. Saat melewati kelas IPA 2 bertepatan dengan Ezra keluar kelas untuk membuang sampah jajanan.
Tahu arah lirikan mata Dipta membuat Ezra menghela napas. "Mau lo lirik sampai nanti sore juga nggak bakalan ada."
Dipta menaikkan sebelah alisnya meminta penjelasan.
"Dua hari Yurisa nggak dateng ke sekolah. Sakit katanya." ujar Ezra. "Sakit hati mungkin." lanjut Ezra.