Dipta menarik lengan Kayana saat perempuan itu baru saja keluar dari kelas. Membawanya ke koridor yang lumayan sepi untuk berbicara.
"Apa tarik-tarik?" sewot Kayana.
"Lo ada kabar dari Yurisa?" Dipta bertanya dengan sedikit lebih ekspresif. Jika biasanya terdengar kaku dan datar, sekarang nada bicara cowok itu seperti seseorang kehilangan sesutu.
Kayana menggeleng.
"Jangan bohong, Kay. Ini udah tiga minggu dan dia nggak ada kabar sama sekali." cecar Dipta. Tidak mungkin kalau sampai Yurisa tidak menghubungi Kayana. Secara, Kayana adalah teman terdekat Yurisa.
"Dipta, lo siapanya Yurisa sih sebenernya?"
"Mantan pacar, mungkin." balas Dipta agak ragu. Sampai sekarang hubungannya dengan Yurisa seperti tidak aja kejelasan. Waktu Dipta mengajak balikan, respon Yurisa malah membuat Dipta bingung.
"Lo udah telepon berapa kali?" Kayana menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menantang lelaki itu seberapa jauh ia mencari Yurisa.
Dipta tak menjawab, cowok itu lebih memilih menunjukkan ponselnya untuk menunjukkan seberapa banyak ia mengirim pesan dan menelepon gadis itu.
"Gue kangen." kata Dipta datar. Baru kali ini secara terang-terangan ia mengatakan isi hatinya kepada orang lain. "Tapi jangan bilang siapa-siapa."
"Kenapa emangnya?!"
"Gapapa."
"Sekarang gue tanya sebentar deh. Lo tahu nggak Yurisa pergi ke mana?" tanya Kayana sinis.
Dipta mengedikkan bahunya pertanda ia tidak tahu. Hal itu lantas membuat Kayana geram.
"Lo tuh niat suka Yurisa enggak, sih?!"
"Kemana dia?" bukannya menjawab tetapi Dipta malah bertanya balik.
"Gue nggak mau kasih tahu." ketus Kayana.
"Jangan-jangan lo juga nggak tahu kenapa dia bisa sampai pergi?" cecar Kayana
Ia menatap Dipta dengan garang. Seperti menantang perang pada lawan.
"Nggak." balas Dipta singkat.
"Ihh! Cowok goblok! Nggak peka! Jahat! Nyebelin!!" Kayana memukuli Dipta dengan tas gendongnya. Kesal bukan main.
"Makanya lo kasih tau gue." respon Dipta semakin membuat Kayana kesal. Tidak pernah terbayangkan jika Yurisa punya pacar seperti Dipta.
"Masalahnya ada di lo!" tukas Kayana.
"Gue?" tanya Dipta bingung.
"Lo tuh goblok nggak main-main!" sentak Kayana kasar. Jika sudah marah, semua bisa keluar dari bibir gadis itu. "Makanya kalau mau punya pacar itu satu aja, jangan serakah!"
"Cewek gue cuma satu."
"Ya terus kenapa Hana bisa sampai nempel ke lo kaya lem gitu? Cewek kalau nggak dikasih harapan ya nggak mungkin berharap lebih!"
"Terus gue harus gimana?" Dipta mengacak rambutnya frustasi. Baru kali ini Dipta dihadapkan masalah dengan perempuan yang begitu rumit. Ia terjebak di antara dua perempuan yang ah, Dipta sulit untuk menjabarkan alasan untuk melepas salah satunya.
"Ya lo maunya gimana? Dapetin dua-duanya gitu?" Kayana balik bertanya. Membuat Dipta seketika gelagapan mendengar pertanyaan Kayana tiba-tiba.
"Hati lo cuma satu, dan satu hati nggak bisa dimiliki dua hati secara bersamaan." ujar Kayana blak-blakan. Sudah bukan sindiran lagi. Gadis bermulut petasan itu menatap Dipta begitu tajam.
"Dip, kalau lo nggak bisa bahagiain Yurisa mendingan lo lepasin Yurisa aja. Dia berhak dapetin seseorang yang lebih tulus." ujar Kayana mulai melunak.
"Gue nggak tega sama Hana, tapi gue juga nggak mau kehilangan Yurisa, Kay." balas Dipta. Masih saja terdengar kaku dan datar.
"Lo ngomong kaya gitu karena lo nggak pernah tau posisi Yurisa kaya apa. Dipta, Yurisa baru pertama kali jatuh cinta dan pengalaman cinta pertamanya nggak sebaik angan-angan dia. Itu karena lo." tutur Kayana.
"Malem-malem Yurisa telepon gue sambil nangis cuma mau bilang kalau dia dijadiin bahan taruhan. Hati perempuan mana, sih, yang nggak sakit pas tau kalau dia cuma dipermainkan?"
Dipta terdiam. Membiarkan Kayana berbicara mengenai Yurisa. Karena Dipta merasa, cowok itu tidak tahu apa-apa tentang gadis itu. Pemikirannya tentang Yurisa selama ini salah besar.
"Kalau lo nggak suka Yurisa lebih baik nggak usah cari dia seolah-olah merasa kehilangan setelah dia pergi. Karena nyatanya lo nggak pernah ada perasaan apa-apa sama Yurisa. Iya, kan?"
"Gue yakin lo pasti bisa ambil keputusan terbaik." Kayana menepuk bahu Dipta kemudian melangkah pergi.
***
"Buat lo, Yan." Gilang menaruh paperbag di depan Rian yang sedang bermain gitar.
"Apa nih?" tanya Rian kepo. Perasaan Rian tidak sedang berulang tahun.
"Gatau dah, mbak gue." ujar Gilang.
"Buka gih, Mbak Cindy bukan kentang." kata Deva membuat Rian bersemangat membuka paperbag tersebut.