Jihan duduk termenung di ruang makan. Di depannya ada kue ulang tahun dengan satu lilin di atasnya. Ia sengaja membuat sendiri karena ini momen yang spesial.
Jihan kembali membuka ponselnya yang tergeletak di meja. Jam 23.46 menit. Kurang seperempat jam lagi. Pesan yang ia kirim untuk Yurisa satu jam lalu juga belum mendapatkan balasan. Mungkin Yurisa sudah tidur.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Haris sembari menghidupkan lampu. Niatnya ingin mengambil minum selepas lembur di ruang kerjanya, tetapi ia malah menemukan istrinya di sini.
Jihan menoleh. "Merayakan ulang tahun putriku." balasnya.
"Sudah larut, lebih baik besok." tutur Haris.
"Sekarang atau besok tetap sama aja. Yurisa nggak ada di sini." kata Jihan dengan pandangan kosong lurus ke depan. Merindukan semua tentang Yurisa. Senyum ceria Yurisa, ocehan Yurisa, tingkah Yurisa yang seperti anak kecil, suara Yurisa saat merayunya.
"Yurisa baik-baik aja."
"Iya, aku yang nggak baik-baik aja."
Haris menghampiri Jihan lalu duduk di kursi depan wanita itu.
"Aku rasa kamu memang membedakan Yurisa, mas."
"Maksud kamu apa?" tanya Haris penuh perhatian.
"Aku nggak tahu apa yang membuat kamu begitu otoriter dengan Yurisa. Apa mungkin karena wajah Yuki begitu mirip dengan Yurisa? Sehingga bayang-bayang Yuki selalu hadir. Iya aku tahu kalau Yuki udah merebut hati kamu tanpa sisa. Tapi coba lihat Yurisa, dia nggak salah apa-apa." ujar Jihan panjang lebar.
"Jangan bawa-bawa Yuki. Dia udah nggak ada di sini. Lagi pula aku juga sudah berusaha adil kepada Hana dan Yurisa."
"Kalau kamu adil kemana kamu 17 tahun ini. Kamu selalu melewatkan hari ulang tahun Yurisa karena itu bertepatan dengan kematian Yuki." kata Jihan dengan tenang.
Haris terdiam. Merasa tertohok dengan penuturan Jihan. Yang dikatakan istrinya itu benar. Ia selalu menghindar dari acara ulang tahun Yurisa karena itu mengingatkannya dengan kenangan buruk tentang Yuki.
"Kalau kamu adil kamu nggak akan bentak-bentak Yurisa kemarin. Kamu nggak akan pernah bilang kalau dia nggak bisa banggain kita. Kita tahu Yurisa tapi kita sama-sama nggak pernah benar-benar ngerti Yurisa. Dia perempuan, hatinya tidak sekeras kamu."
Sekali lagi Haris terbungkam. Ia baru berpikir sekarang. Selama ini ia hanya memikirkan masa depan Yurisa. Ia ingin Yurisa belajar lebih giat agar nantinya ia tidak kesulitan kedepannya. Melarang Yurisa ini itu sementara ia membiarkan Hana melakukan hal yang ia inginkan selagi tidak menghambat bejalar.
Haris tiba-tiba teringat ketika Yurisa pernah mengikuti kelas menari dan berakhir ia memarahi putrinya itu. Karena Haris menganggap, Yurisa tidak bisa mengimbangi waktu belajar dengan waktu menarinya.
"Aku udah kenal kamu lama. Bahkan sebelum kamu kenal Yuki. Dulu kamu nggak kaya gini." jeda sejenak. Jihan menghirup napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Semenjak aku terima lamaran kamu, saat itu juga aku jadi ibu mereka. Bohong kalau aku bilang aku baik-baik aja lihat sikap kamu ke Yurisa."
"Aku cuma nggak mau Yurisa salah jalan." bela Haris.
"Iya tapi enggak begitu juga caranya. Dia sudah besar, dia pasti tahu mana yang baik dan mana yang enggak. Kita sebagai orang tua nggak perlu mengekang dia melakukan ini itu."
"Luka fisik mungkin bisa sembuh dan menghilang seiring berjalannya waktu, tetapi luka di hati nggak akan hilang dimakan waktu."
Haris memijit pelipisnya pelan. Ingatannya tertarik ke belakang. Seperti kaset rusak yang terus terputar berulang-ulang. Seketika, ia merasa gagal menjadi seorang ayah untuk Yurisa. Apalagi mengingat perkataan Yurisa sebelum gadis itu berangkat ke Jepang.
"Menyesal sekarang nggak ada gunanya." tutur Jihan lembut.
Haris menghela napas panjang. "Lalu aku harus bagaimana?"
"Perbaiki mulai sekarang. Dia bisa kok banggain kita dengan caranya sendiri. Kemarin aku nemu surat di kamar Yurisa." ucap Jihan.
"Surat apa?"
"Dari PTN." ucap Jihan.
"Yurisa nggak bilang."
"Yurisa nggak akan pernah bilang sama kita."
Haris tidak merespon. Sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sementara Jihan mulai menghidupkan lilin tersebut.
"Mau tiup bareng?" tanya Jihan yang dibalas anggukan oleh Haris.