"Bisakah kau keluar dari kamarku!"
Ini permintaan bernada malas dari si empunya kamar. Lelaki yang baru saja mengembuskan napasnya kasar karena tak bisa tidur, terus-terusan diganggu hantu berbaju putih hampir transparan yang melayang-layang di atas kasurnya.
Bobby namanya, duda muda tanpa anak pindahan dari luar negeri. Si muka datar yang menghabiskan hari-harinya bekerja sebagai pialang saham. Menghasilkan jutaan dolar setiap tahun untuk perusahaan yang menaunginya. Setelah bosan di pasar saham lima tahun lamanya, dia kembali ke tanah air. Masih ingat keinginannya saat remaja, mendirikan perusahaannya sendiri di tanah kelahiran. Bisnis jual beli berbasis online yang dulu dia prediksi akan booming, jadi kenyataan sekarang. Dia telanjur terjebak di perusahaan besar di luar sana waktu itu, tapi sekarang tak ada lagi yang bisa menahannya untuk kembali ke negara sendiri.
Enam bulan yang lalu dia kembali, dan selama itu pula usahanya untuk mendirikan perusahaan berbasis online dia bangun. Memang belum banyak produsen yang bergabung. Namun, perusahaannya telah berjalan dengan baik.
Di samping semua kegiatan yang menguras waktu dan tenaga, ada satu hal yang membuatnya kesal. Dia diganggu hantu penunggu rumah. Bobby tidak takut, tapi risi. Makin diabaikan, hantu satu itu makin menjadi-jadi ulahnya. Bobby tahu dia ada, tapi tidak mau bersinggungan dengannya.
Berbanding terbalik dengan maksud si hantu. Dia ada, dia ingin diakui, dan ingin hidup berdampingan dengan si empunya rumah.
"Kamarmu ini, kamarku juga." Si hantu melayang menjauh dari Bobby. Perlahan turun lalu duduk di sofa. "Aku menempati rumah ini lebih dari 100 tahun. Kau tak bisa mengusirku begitu saja."
"Kalau kau tak mau keluar, terserah. Hanya saja, jangan mengganggu tidurku!"
"Aku tidak mengganggu tidurmu," sangkalnya. "Cuma melakukan patroli seperti biasanya. Aku tak mau ada orang masuk tanpa izin ke rumah ini. Harusnya kau berterima kasih karena aku melakukannya untukmu."
"Aku sangat berterima kasih, tapi kalau kau mau patroli atau apalah sebutannya, jangan lakukan di kamar ini. Lakukan saja di luar sana!" Bobby menuding ke arah luar, di mana gerimis datang sejak hari mulai gelap.
Si hantu menghela napas mirip yang dilakukan Bobby tadi. Hanya saja napasnya dingin. Dia menaikkan kaki kirinya, disilangkan di atas kaki kanan. Kemudian tangannya disilangkan di dada. "Aku ini hantu, mau patroli di dalam atau di luar rumah, tetap bisa melihat kalau ada makhluk lain masuk ke rumah ini. Lagi pula di luar sedang hujan, aku tak suka basah dan kedinginan."
Makhluk yang ada di depan Bobby itu adalah hantu, apa dia juga ditakdirkan bisa basah dan merasakan dingin?
Bobby mengurut pelipisnya tepat di atas kedua alis. Matanya sedang berat, butuh diistirahatkan, tapi hantu penjaga rumah menghalanginya tidur dengan membuat lelucon yang tak bermutu.
"Hey, hantu …!"
"Ngomong-ngomong, namaku Arwen. Kau bisa panggil aku begitu."
"Hantu Arwen!"
"Cukup panggil namaku!"
Bobby menghela napas panjang dulu. "Arwen …,"
"Nah begitu lebih baik."
Arwen, si hantu yang tadinya duduk manis di sofa sudah mulai mengubah posisi. Setelah menyisir rambut dengan jari, rambut panjangnya yang bergelombang dan cantik seperti model iklan sampo, menjadi pendek. Arwen mulai bergerak. Berdiri, melangkah gemulai ke ranjang Bobby, hanya saja kaki telanjangnya tidak menapak lantai.
"Kau tahu kenapa tidak pernah ada yang betah tinggal di sini?"
"Karena mereka takut padamu?"
"Em hem," Arwen mengangguk, lalu bertanya lagi. "Tahu kenapa kau bisa betah tinggal di sini?"
"Karena aku tak takut padamu."
"Em hem," Arwen menggeleng.
Dia duduk di tepian ranjang Bobby, menimbulkan suara gerisik dari ranjang dan tumpukan bed cover yang tertekan ke bawah oleh berat badannya.
"Karena kau sama persis seperti kau yang dulu. Kali ini aku tidak akan melepaskanmu lagi, tidak mau mati penasaran untuk kedua kalinya. Makanya kuusir semua orang yang pernah tinggal di sini. Karena aku percaya kau akan datang padaku seperti dulu."
"Seingatku aku baru hidup sekali, melihat hantu sepertimu juga sekali. Dan kau makhluk yang sudah mati dan jadi hantu penasaran. Hantu tidak bisa mati lagi." Bobby mengabaikan Arwen yang merambat naik ke sisinya. Dia juga mengabaikan ketika Arwen tersenyum dan mengerling genit ke arahnya. "Kalau kau mau tahu, aku tidak tertarik dengan hantu meski kau bisa mengubah wujud jadi siapa pun. Jadi, sekali lagi kuminta kau keluar dari kamar ini, atau paling tidak jangan mengganggu saat aku tidur!"
"Kalau tak boleh mengganggumu, aku harus melakukan apa?"
"Kau juga bisa tidur."
"Hantu tak butuh tidur."
"Pura-pura saja."
Arwen menimbang saran itu sebentar. Kemudian mengiyakan. Kalau dia harus pura-pura tidur, tidur dengan Bobby akan menyenangkan. Tidak mengganggu, cuma tidur di sampingnya saja.
"Baiklah." Arwen berpura-pura menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Dia menjentikkan jarinya, membuat lampu kamar padam, lalu merebahkan tubuhnya di dekat Bobby. "Aku pura-pura tidur. Selamat malam!"
"Tidak bisakah kau pura-pura tidur di tempat lain, selain di ranjangku?"
"Oh, itu tidak bisa kupenuhi. Kau tidur saja, dan aku pura-pura tidur. Impas, kan?"
"Asal kau tidak menyentuh-nyentuhku lagi kali ini."
Bobby menyamankan tubuhnya di kasur. Menarik selimutnya sebatas dada, kemudian memejamkan mata. Dia lelah. Sering merasa diraba-raba saat tidur, tapi demi menganggap hantu itu tidak ada, dia selalu mengabaikannya, menyerah dengan kantuknya, dan tidur tanpa memedulikan apa pun. Tapi malam ini dia ingin menyuarakan ketidaknyamanannya itu.
"Jadi kau bisa merasakan sentuhanku?" tanya Arwen, mengekspresikan sorakan kegembiraan. "Sudah kuduga, kau memang datang lagi untukku. Jadi bagaimana …?"
"Kalau bisa diam malam ini, mungkin aku akan menjawabnya besok."
Yang dirasakan Arwen dalam enam bulan ini ternyata pertanda baik. Jantungnya sering berdebar-debar secara kasat mata. Kadang dia tersenyum sendiri tanpa sebab, seperti jatuh cinta.
Ah, dia tak pernah menyangka, meski sudah jadi hantu masih bisa jatuh cinta lagi. Jatuh cinta pada lelaki bermuka sama, hanya jiwanya saja yang beda.
Tentu Arwen mau diam. Dia cuma butuh berpura-pura tidur di samping Bobby. Tidak ... tidak ..., dia butuh pura-pura tidur di dada lelaki itu sampai besok pagi.
.
.
.
"Aku istrinya, ada apa menelepon suamiku pagi-pagi begini?"
Arwen tengah memegang telepon rumah. Diletakkan di dekat telinganya sambil mendengarkan suara dari seberang.
"Kembali ke situ? Kau pikir aku akan mengizinkannya kembali ke situ agar bisa kau godai setiap waktu? Mimpi saja kau! Eh, wanita sundal, tiga anakmu butuh diurus, kau malah sibuk menggoda suami orang. Kurang banyak suami orang yang telah kau rebut?"
"Letakkan teleponnya!" perintah Bobby yang sedang berjalan turun dari lantai atas. "Siapa wanita yang barusan kau sebut sundal?" tanyanya setelah Arwen melempar gagang telepon itu tepat ke tempat semula.
Arwen melesat cepat ke hadapan Bobby, mendahului lelaki itu untuk membenahi dasinya. Berperan jadi istri yang baik pagi ini. "Kau pasti tahu, wanita mana yang punya tiga anak, tapi lebih sibuk dengan lelaki baru daripada mengurusi anaknya."
Tingkah Arwen manis. Manis-manis licik. Senyumnya saja miring begitu. Sudah jelas kalau dia penuh tipu muslihat.
"Siapa?" tanya Bobby sambil menepis kedua tangan Arwen dari lehernya.
"Yang terpisahkan jarak lautan."
"Nancy?"
"Mungkin memang dia, aku lupa menanyakan namanya tadi." Tapi Arwen memang tahu. Lewat suaranya saja dia bisa tahu segalanya.
Nancy, teman Bobby saat bekerja di luar negeri. Seorang wanita murahan bergaya sosialita. Kalau menginginkan lelaki, sudah seperti anak-anak menginginkan mainan. Tidak bisa diganggu gugat. Kalau tidak bisa didapat dengan tubuhnya, dia akan mendapatkannya dengan uang. Sebagai pialang saham bergaji besar, apa yang tidak bisa dia raih? Bahkan hampir semua orang bertekuk lutut padanya. Untungnya Bobby tidak terpancing dengan trik itu.
"Kau mau sarapan sebelum berangkat?" Selesai dengan dasi, Arwen mengaitkan kedua tangannya di pundak Bobby.
"Aku makan di kantor." Dan Bobby menyingkirkan kedua tangan itu lagi. "Berhenti berlaku seperti seorang istri. Aku tidak menikahi hantu sepertimu!"
Arwen pura-pura sedih. Memasang wajah murung dan nelangsa. "Tapi aku sudah memasak sarapan untukmu. Makanlah walau sedikit!" Arwen menggiring Bobby ke dapur, baru sampai di pintunya, Arwen meringis kecil. Tidak ada apa pun di atas meja. "Aku benar-benar sudah memasak."
Tangannya diangkat ke udara, lalu ditepukkan.
Dua kali menepukkan tangan, makanan muncul secara ajaib di atas meja. "Pagi ini menunya nasi goreng." Arwen hanya ditanggapi dengan tatapan malas oleh Bobby. Dia sangat tidak percaya pada hantu. "Kenapa?"
"Aku tidak makan makanan buatan hantu."
Bobby berpaling badan. Dia berjalan menjauh dari dapur, menjauh dari Arwen. Sayangnya saat perjalanannya menuju pintu keluar sudah dekat, Arwen muncul di depannya. Tersenyum semanis yang dia bisa untuk mengambil hati Bobby. Si hantu menyejajarkan langkah, menggandeng lengan kiri Bobby dan berjalan bersamaan ke pintu keluar.
"Kau mau ikut keluar?"
"Mengantarmu sampai depan. Jangan katakan kau percaya hantu takut dengan sinar matahari. Sudah bukan zamannya."
"Jadi, sebenarnya kau bisa keluar dari rumah ini kapan pun?"
Arwen mengangguk, sebentar kemudian merengut. "Kau tidak sedang berpikir untuk mengusirku dari sini, kan? Oh, Bobby. Aku kebosanan menunggumu di sini berpuluh-puluh tahun. Setelah bertemu, kau malah berencana menyingkirkanku. Itu jahat!"
Arwen menggelendot sambil menyandarkan kepala di bahu Bobby.
"Bahkan kita belum bercinta," ucapnya lirih.
"Haaah!" Napas yang dikeluarkan Bobby sangat keras dan panjang. "Memangnya itu yang kau baca dari pikiranku?"
Arwen menggeleng.
Bobby memang tak terlihat ingin menyingkirkannya dari sini, Arwen kan hanya bercanda.
"Tadinya memang aku tidak berpikir untuk menyingkirkanmu dari sini, tapi setelah kau membicarakan soal bercinta, aku baru memikirkannya."
"Apa maksudmu?"
"Aku tak akan menikah dengan hantu, tidak akan bercinta dengan hantu, apa lagi kalau hantunya berwujud sepertimu. Kalau sampai kau berani memikirkan untuk bisa bercinta denganku, aku akan panggil orang pintar untuk menyingkirkanmu dari sini."
Seketika Arwen melepaskan diri dari Bobby.
"Kau memang jahat!" katanya dengan muka dibuat ketakutan. Sebentar kemudian muka ketakutan itu berubah jadi ceria lagi. "Tapi aku suka orang yang jahat."
Arwen berlari kecil, masih tak menapak lantai, mengubah diri jadi wanita cantik berambut panjang bergelombang dulu sebelum membuka pintu depan. Dia menarik kerah jas Bobby, menghadapkan muka Bobby ke mukanya sendiri, kemudian menjatuhkan ciuman di atas bibir tebal lelaki itu.
Pagi ini cerah, secerah suasana hati si hantu cantik.
Pujaan hatinya telah kembali setelah puluhan tahun menghilang. Ya, walau Bobby bukan orang yang sama dengan masa lalunya, setidaknya dia punya muka yang sama. Bobby yang sekarang lebih menantang dari yang dulu. Bobby yang sekarang lebih berani dari yang dulu. Bobby yang sekarang lebih jahat dari yang dulu. Apa lagi jahatnya beda, dan Arwen suka.
"Aku mau kau pulang lebih cepat. Akan ada candle light dinner untuk kita berdua malam ini."
"Ada candle light dinner juga di kantor. Dengan semua karyawanku. Lebih ramai daripada hanya berdua. Dengan hantu pula. Aku sama sekali tidak tertarik!"
"Kalau begitu, aku akan hangatkan ranjang sebelum kau pulang."
"Sayangnya aku tidak pulang malam ini."
Arwen manyun. "Kau menang kali ini, tapi tidak lain kali." Sekali lagi, Arwen menjatuhkan ciuman di bibir Bobby dengan cepat sampai Bobby tidak punya kesempatan untuk menghindar. "Ya sudah, berangkat kerja sana. Hati-hati di jalan!"
Arwen mendorong Bobby keluar pintu. Dia kembali ke dalam rumah, menutup pintu dengan kibasan telapak tangannya. Timbul suara gebrakan keras dari pintu, tapi Arwen tak peduli. Segera mengubah diri ke wujudnya semula, wanita muda berambut pendek. Dan tidak meninggalkan pintu sampai suara mobil Bobby menghilang dari pelataran rumah.
"Sudah ditakdirkan bersama, tapi masih jual mahal!" celetuknya, kemudian melayang, menghilang.