"Akan ada yang datang ke sini," kata Arwen saat menemani Bobby sarapan. "Seseorang yang sangat tampan, sangat baik," Lebih daripada itu sejujurnya, tapi Arwen tidak bisa mendeskripsikannya lebih. Arwen bisa merasakan kehebatannya. "Sangat … pokoknya familiar."
Bobby tidak tertarik. Siapa pun yang akan datang, biarkan saja datang. Dia lebih mengagumi menu sarapannya kali ini. Beda dari hari-hari sebelumnya. Kalau kemarin-kemarin Arwen bilang mengambilnya dari restoran-restoran dan meninggalkan uang seharga makanan itu, tapi kali ini menu makanannya lebih sederhana. Seperti makanan yang dibuat istri rumah tangga biasa. Rasanya khas masakan rumahan.
"Dia sangat tampan."
Kalau Arwen mengatakan tampan, apa benar orang itu memang tampan? Tapi siapa orang yang bisa lebih tampan dari Bobby?
"Siapa?"
Arwen mengedikkan bahu. "Mungkin keluargamu."
"Aku memang punya saudara di sini, tapi saudara jauh. Mereka tidak mungkin datang sebelum memberitahuku."
"Kalau begitu siapa? Tidak mungkin dia mencariku."
Hanya orang gila yang datang mencari hantu. Kalau bukan adu nyali, pasti orang yang sedang mencari kekayaan dari setan. Dan Arwen bukan setan, hanya saudara jauhnya setan.
Atau bisa jadi kali ini radar kehantuan Arwen menurun. Kalau benar ada orang tampan yang akan datang, kemungkinan adalah pemilik rumah sebelumnya. Menurut Bobby, orang itu lumayan tampan walau tak setampan dirinya. Bisa jadi dia datang hari ini untuk mengambil barang-barang yang masih dititipkan di gudang. Tetapi mengingat Arwen pernah mengatakan kalau dia mengusir semua orang demi dirinya, tentu bukan bekas pemilik rumah yang akan datang kemari.
Bobby mengabaikan pemberitahuan kedatangan tadi. Dia memulai pembicaraan lain dengan Arwen. Tentang apa saja, termasuk kehidupan mereka berdua. Cara menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis, dan membahas cara mengantisipasi bila hubungan manusia-hantu ketahuan orang.
Dari mulut Bobby keluar sebuah pernyataan bahwa dia butuh keturunan.
"Meski kau pernah dengar hantu beranak pinak, itu tidak berlaku bagi kita. Manusia dan hantu tidak bisa punya anak."
Ada cerita yang mengatakan Jin bisa punya anak dengan manusia, tapi Arwen bukan bagian dari Jin itu. Dia cuma hantu biasa. Dari manusia yang mati dan arwahnya penasaran.
Kalau Bobby menanyakan soal keturunan, bukan pada Arwen tempatnya. Mungkin memang harus punya anak dari orang lain.
"Aku harus menikah dengan orang lain."
Dahi Arwen mengerut, alisnya saling menyatu. Baru beberapa hari mereka jadi suami istri, Bobby sudah berpikir untuk menikahi orang lain. Arwen yang menunggu berpuluh-puluh tahun ini dianggap apa? Dia tak sudi diduakan, walau pada kenyataannya dia tak mampu memberi apa pun pada Bobby.
"Jangan bicarakan pernikahan di depanku!"
"Maksudmu aku harus menikah tanpa memberitahumu?" Arwen tidak sedang bercanda soal larangan menikah, tapi Bobby tidak mau ambil pusing. "Jangan memasang tampang seperti itu. Kau sudah bilang sendiri kalau tak bisa memberiku keturunan, solusinya ya aku menikah dengan manusia betulan. Wanita yang bisa kuhamili."
"Jangan menikah! Kalau kau mau punya anak, hamili saja wanita mana pun yang kau suka, tapi jangan nikahi dia!" larang Arwen. "Aku tak mau diduakan."
"Memangnya ada wanita yang mau kuhamili tanpa kunikahi?"
"Bayar dia. Kau punya banyak uang, kan?" Arwen memukul meja pelan, menghilangkan semua bekas makanan Bobby dan menggantinya dengan secangkir kopi. "Ambil bayinya, lalu kita asuh."
"Kau mau jadi ibunya? Bagaimana kalau suatu saat dia mempertanyakan status kehantuanmu?" Bobby melihat Arwen mengubah wajahnya jadi merah, sepertinya marah, tapi Bobby tak berhenti mengatakan kenyataan. "Kau pikir dalam keadaan tertekan, anak bisa tumbuh dengan baik? Dia bisa depresi. Gila. Lalu mati bunuh diri."
"Kalau begitu tak usah punya anak," balas Arwen.
Sekarang memang dia bisa bersenang-senang dengan Arwen, tapi nanti saat dia mati, tidak mungkin bisa bersenang-senang lagi. Apalagi orang baik seperti Bobby tidak akan mati penasaran seperti Arwen. Ketika mati, dia sudah yakin akan masuk surga. Tapi kalau anak cucu saja tidak punya, mau dikemanakan harta bendanya? Bobby tidak akan tenang meski terdaftar sebagai penghuni surga. Satu-satunya jalan harus menikah dengan wanita betulan, lalu punya anak cucu.
"Aku akan cari wanita yang cocok lalu menikahinya. Jangan khawatir, tidak dalam waktu dekat. Jadi, kau masih istriku sampai hari itu tiba."
"Kau mau selingkuh ceritanya?" Nada bicara Arwen terdengar amat konyol di telinga Bobby. Antara bertanya dan mengancam.
"Bukan selingkuh. Selingkuh itu diam-diam, kalau yang kukatakan barusan adalah rencana masa depan." Bobby menghentikan perkataannya untuk menyeruput kopi. Setelah meletakkan gelas, dia memulai lagi. "Aku berpisah dulu denganmu, baru …."
Bobby hanya berkedip sekali, tapi Arwen sudah menghilang.
Agaknya hantu juga bisa cemburu.
.
.
.
Sehari berlalu dengan cepat.
Bobby berdiri di depan gerbang rumah. Menunggu Kina yang mengaku nyasar dua kali ketika mencari alamatnya. Merelakan waktu kerjanya demi menyambut sepupunya yang jauh-jauh datang dari luar kota. Dan Kina datang bersama temannya, Ram.
"Bobby, aku lelah sekali. Perjalananya jauh, nyasar pula. Kau memberikan alamat yang tidak jelas, sih!" cerocos Kina.
"Biasanya kau yang tidak jelas." Kina hanya mendecih dihina sepupunya sendiri. "Kalian tak bilang mau ke sini, tahu begitu aku bisa menjemput kalian di bandara."
"Katamu kau sibuk, jadi kami kemari menyewa mobil. Mana kutahu alamatmu salah." Dalam hal ini Ram juga menyalahkan Kina. Alamat sudah salah, tapi Kina masih tak mau menelepon dan meminta alamat baru. Setelah dua kali nyasar, Kina baru memberitahukan kedatangannya pada Bobby. "Kau jadi kehilangan jam kerjamu sekarang."
"Tidak apa-apa. Ayo masuk!"
Bobby diikuti Ram dan Kina. Sebentar-sebentar Kina berhenti untuk memperhatikan halaman rumah Bobby yang luas. Penuh tanaman dan pohon-pohon. Tidak banyak bunga, tapi satu-dua di antaranya ada yang mekar
"Rumahmu besar. Kau tinggal sendirian?"
Bobby hanya menggeleng pelan.
"Ada pembantu, ya?"
Bobby menggeleng lagi.
"Untuk sekarang aku masih belum sempat mengurusi semuanya." Bobby mempersilakan keduanya masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Tunggu sebentar. Kalau kalian mau minum, ambil sendiri. Dapur sebelah sana!" tunjuknya pada ruangan dengan lorong pendek yang menghubungkan ruang tamu dan dapur. "Aku akan ke atas sebentar."
"Hei, Bob …," Kina menghentikan langkah Bobby sebelum jauh. "Aku tidur sekamar dengan Ram!"
"Aku tahu."
Bobby tahu hubungan sepupunya dengan Ram bukan sekadar teman. Pertama kalinya Kina bertemu Ram ketika mereka sekeluarga menghadiri pertemuan skala besar. Kina langsung jatuh cinta dengan pengusaha properti itu. Ketika Kina mendekati Ram, Ram mengira Kina tertarik dengan salah satu hunian yang dipasarkan oleh perusahaannya, tak tahunya Kina tertarik padanya.
Dulu sekali ketika Ram tak acuh menanggapi sinyal-sinyal cinta yang dikirim Kina, Kina tak kehabisan akal. Dia memindahkan segala usahanya ke kota tempat Ram tinggal. Merintis semuanya dari awal sekaligus merintis kisah cinta dengan Ram. Yang Bobby dengar dari orang, Kina pernah patah hati karena Ram menolak cintanya. Ram cuma mau berteman. Dan karena cinta bisa memberi kekuatan, makanya Kina berteman dengan Ram sampai sekarang.
Yang keluarga tahu malah sebaliknya. Kina mampu meraih hati Ram, kemudian mereka pacaran tanpa ada orang luar tahu hubungan mereka lebih serius dari kelihatannya. Entah versi mana yang benar, yang jelas mereka sangat akrab.
"Ram, kau haus tidak?" tanya Kina.
"Kau mau mengambilkanku minum?"
"Tidak. Kalau kau haus dan ingin ambil minum, ambilkan sekalian untukku!" Itulah Kina yang sifatnya tak disukai Ram. "Apa saja boleh, asal yang dingin."
Ram menggeleng. "Aku tidak berencana ke dapur. Kalau mau minum, ambil saja sendiri!"
Ram kembali berdiri, hendak keluar rumah. Dia mau mengambil barang-barangnya di mobil. Pasti barang milik Kina juga. Kalau bukan dia, siapa yang akan membawa barang-barang mereka masuk.
.
.
.
Ram melihat sekelebat bayangan di sebelah rumah. Di sela tanaman-tanaman yang rimbun. Dia tak jadi menghampiri mobil sewaannya. Langsung mengikuti kelebatan itu untuk mengobati rasa penasarannya.
Menikung ke sebelah kiri rumah, awalnya mau langsung menemui siapa pun yang dilihatnya, tapi diurungkannya ketika melihat wanita berkulit kecokelatan mondar-mandir dari gudang ke deretan tanaman untuk menebar pupuk. Ketika perempuan itu pergi ke gudang lalu keluar lagi, Ram memilih menyembunyikan badannya di antara pohon dan lekukan tembok luar rumah. Dia mengamati wanita yang sedang berkutat dengan tanaman-tanaman itu dari celah pohon. Mengintip sambil terus memandang ke arah wajah cantik yang ada di depannya.
Wajah itu, sepertinya tidak asing. Ram mungkin pernah melihatnya, tapi di mana? Entah di sebuah lukisan warisan keluarga, di foto hitam putih zaman dulu, atau memang dia pernah bertemu sebelumnya. Ram benar-benar tidak ingat.
"Keluar saja, aku sudah melihatmu dari tadi."
Ram keluar dari persembunyiannya. Tersenyum kikuk sambil berjalan menghampiri.
Mengintip tapi ketahuan. Malunya setengah mati.
"Tadinya aku tidak ingin mengintip, tapi kau asyik dengan pekerjaanmu." Ram terdengar tidak sedang berbohong, makanya Arwen maklum. "Kau sangat menyukai tanaman?"
"Tidak juga. Cuma bagian ini saja!" tunjuknya pada sederet tanaman di depannya.
Ram tidak tahu nama tanaman itu, tapi pernah melihatnya. Tanaman itu hanya tumbuh di dataran tinggi. Kabarnya tidak bisa diambil dan dipindahkan ke lain tempat. Kalaupun bisa tumbuh di tempat lain, selalu ada penjaga kasat mata yang menyertainya. Bisa dibilang hanya makhluk-makhluk gaib yang bisa merawatnya. Orang-orang dari dataran tinggi memercayai ceritanya, hingga sampai sekarang tidak memberi nama pada tanaman aneh itu.
Tetapi, Ram tidak percaya cerita itu. Nyatanya, wanita yang ada di depannya tengah memupuk dan menyiraminya. Pasti, tanaman itu punya nama.
"Yang rimbun itu?"
"Suka juga. Hanya saja tak ada yang membantuku memotongnya."
"Aku akan tinggal di sini beberapa hari, nanti akan kuluangkan waktu untuk memotongnya. Itu pun kalau kau tidak keberatan kubantu. Ngomong-ngomong, aku Ram, dari kota sebelah. Kau?" Ram mengulurkan tangannya.
"Arwen." Dia tak ingin membalas uluran tangan itu. Karena Ram tak memindahkan tangannya, mau tak mau Arwen melepas sarung tangan, kemudian menjabat uluran tangan itu. "Aku tinggal di sini."
Tangan Arwen dingin padahal baru saja terbalut sarung tangan. Kulit pucatnya bahkan tidak mampu menyembunyikan warna hijau nadinya.
"Di sini?"
Ram menunjuk gudang tempat Arwen barusan keluar masuk. Dalam hati, Ram kasihan, masa orang secantik Arwen tinggal di gudang? Apa jangan-jangan Arwen pembantu di rumah ini? Atau bagian rumah dan gudang berbeda pemilik? Bobby pemilik rumah dan Arwen pemilik gudang. Ah, mau siapa pun dan bagaimanapun keadaan Arwen, yang penting dia dan Bobby tidak ada hubungan.
"Kau nyaman berada di sini?"
Kalau tidak nyaman, Ram siap memberinya tempat baru yang lebih layak.
Tapi …,
"Setaaan!"
Teriakan keras itu membuat tautan tangan Arwen dan Ram terlepas. Sedangkan yang berteriak, Kina, berlari menghampiri keduanya.
"Heh setan wanita, seenaknya menggoda kekasih orang. Apa maksudmu berlama-lama salaman dengan kekasihku?"
Kalau Arwen sendirian, tidak sedang waspada dengan kedatangan Ram, dia akan mengubah wajahnya jadi sejelek-jeleknya hantu. Dia ingin menakuti Kina agar wanita itu lari terkencing-kencing dari rumahnya. Namun, karena tahu wanita itu punya hubungan dengan Bobby, Arwen tak melakukannya.
Arwen dan Ram menghela napas panjang bersamaan.
"Dia kekasihmu?" tanya Arwen. Tak begitu peduli dengan keberadaan Kina.
Ram tidak menjawab, dia hanya tersenyum kemudian memilih mendekati Kina untuk menjelaskan bahwa tidak terjadi apa-apa antara dia dan Arwen. Sampai Bobby datang dengan berlari cepat, meloncati deretan tanaman kesayangan Arwen, dan berhenti di hadapan ketiganya.