Dean merasakan dingin ketika memasuki rumah Bobby. Ada hawa-hawa yang menurutnya beda dengan suhu udara dingin yang biasanya. Kalaupun sekarang memang musim dingin tak masalah, tapi kali ini adalah musim panas. Dalaman rumah pun seharusnya hangat. Selain itu, bau harum vanila terus menguar sejak pintu rumah dibuka sampai sekarang ketika dia duduk di sofa ruang tamu.
Saat Bobby meninggalkannya untuk mengambil berkas pekerjaan di kamar, Dean terpaksa sendirian di ruang tamu. Dia beranjak dari duduknya sekadar melihat ke sekeliling. Berjalan dari satu benda ke benda lain dan mengamatinya dengan saksama. Semuanya terlihat biasa saja kecuali satu lukisan besar yang dipajang di dinding ruangan sebelah. Lukisan itu asing. Menggambarkan bentuk hitam seperti siluet memakai mahkota. Entah lelaki atau perempuan, bentuk tubuh itu duduk di singgasana perak dengan ukiran emas, kontras dengan sosok hitam yang mendudukinya.
Tiba-tiba hawa dingin menerpa wajah Dean dan aroma vanila itu kembali menusuk hitungnya. Dean terkejut ketika mendapati bayangan hitam sama dengan yang ada di lukisan itu tertangkap oleh matanya. Bayangan hitam bergerak, melewati dinding-dingin kemudian masuk ke suatu ruang nun jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian menghilang begitu saja. Bulu kuduk Dean langsung berdiri karena waspada.
"Dean," Bobby heran melihat Dean menjengit saat dipanggilnya. "Ada apa?" Kemudian dia celingak-celinguk, melihat keadaan sekeliling untuk memastikan apa yang dilihat Dean.
"Tidak ada apa-apa. Aku tertarik dengan lukisan ini, makanya aku berjalan kemari."
Bobby mengangguk-angguk paham, kemudian mengajak Dean kembali duduk di sofa ruang tamu untuk membahas bisnis lagi.
Bisnis sudah dibicarakan, berkas pekerjaan sudah dipindahtangankan pada Dean, tapi dia seperti tak puas. Bukan tentang pekerjaan, tapi tentang rumah Bobby.
"Bob, sejak kapan kau punya lukisan itu?" tanya Dean masih mengamati lukisan tapi tak berani menunjuknya.
"Itu sudah ada sebelum aku membeli rumah ini."
"Sepertinya lukisan kuno."
Bobby membenarkan. "Lukisan itu tak bagus. Nilai seninya kurang tinggi dan sedikit menyeramkan. Sebenarnya aku berniat menjualnya dan menggantinya dengan lukisan yang lebih bagus. Tapi kalau kau tertarik, kau bisa mengambilnya. Gratis."
"Tidak perlu. Aku tidak begitu suka lukisan," tolak Dean cepat.
Dean setuju kalau lukisan itu tidak begitu bernilai, tapi lebih setuju lagi bahwa lukisan itu menyeramkan. Lukisan biasa, tapi punya kekuatan magis. Seperti kata Bobby tadi, lukisan itu ada sebelum Bobby membeli rumah ini, sedangkan tanah dan bangunan ini berdiri jauh sebelum zaman dia ada. Memang bangunannya baru, tapi perabot dan sebagian ruangan ada yang masih mempertahankan peninggalan kala itu. Kalau ternyata lukisan itu ada penunggunya, Dean bisa dihantui terus menerus kalau sampai berani membawanya pulang.
"Eh Bobby, rumahmu ini jarang dibuka gorden-gordennya, ya? Dari yang aku lihat, cuma gorden ruang tamu ini saja yang dibuka. Belum lagi udara ruangannya yang dingin. Ini kan musim panas, seharusnya kau biarkan udara hangat masuk ruangan."
Bobby mengamati jendela-jendela rumahnya. Sebagian besar gordennya memang belum dibuka, tapi bukan berarti jarang. Setiap hari dibuka, hari ini tidak dibuka mungkin karena Arwen sedang malas.
"Selama aku masuk rumahmu tadi sampai saat ini, aku terus mencium bau harum vanila. Tadi pun aku juga melihat bayangan hitam lewat, sekelebatan cepat, masuk ruangan di sudut sana!" Dean menunjuk dengan dagunya. "Jujur ya Bob, rumahmu ini angker. Bagaimana menurutmu?" tanyanya dengan suara yang pelan, seakan tak mau penghuni tak kasat mata di rumah ini mendengar pembicaraannya.
"Kau bercanda?"
Dean menggeleng.
Sambil terkekeh, Bobby menjelaskan. "Dalaman rumahku dingin karena jendela dan gorden belum dibuka oleh istriku." Kemudian dia menunjuk mangkuk-mangkuk kaca yang diletakkan di meja-meja kecil di setiap sudut. "Itu yang seperti buncis, tapi kecil dan kering, vanila. Istriku suka hal-hal merepotkan seperti itu, tapi baunya enak, kan?"
Dean mendengus sebentar. "Tapi bayangan tadi?"
Bobby menghentikan pertanyaan Dean, kemudian menoleh ke arah yang tadi ditunjuknya. "Arwen!" teriaknya ke arah itu. "Arwen itu istriku," terangnya pada Dean.
Dari dapur, tempat yang dimasuki bayangan hitam tadi keluar sosok cantik berbaju tidur warna hitam hampir transparan. Rambut panjangnya digelung asal, kemudian diikat di belakang kepalanya.
"Apa?" tanya Arwen dengan suara dibuat kesal.
"Kau belum mandi? Kau bilang mau mengajakku keluar?"
"Tidak jadi. Kita di rumah saja, aku capek."
Bobby beralih sebentar pada Dean. "Itu istriku. Sebenarnya kita baru bangun lima belas menit sebelum kau datang tadi. Bahkan kita cuma minum cokelat panas, kemudian kembali ke kamar. Semalam kita begadang nonton film." Bobby kembali melihat Arwen. "Wen, ini temanku, Dean. Dia bergabung di perusahaan kita sejak tiga bulan lalu."
"Hai, Arwen!" sapa Dean ragu. Untungnya sudah tidak takut lagi setelah yang dilihatnya tadi tidak seperti perkiraannya.
"Aku malas buat sarapan, tapi aku mau membuat minuman. Kalian mau minum apa?"
"Kopi." Bobby beralih ke Dean. "Kau mau apa, Dean?"
"Tidak usah. Aku harus segera pulang, ada janji dengan teman."
Bobby menahan Dean agar berada di rumahnya sedikit lebih lama, tapi Dean tak mau. Sebenarnya juga tidak benar kalau ada janji dengan teman, tapi karena tadi sempat mengatakan yang tidak-tidak tentang rumah Bobby, dia jadi tak enak hati. Setelah berjanji lain kali akan datang lagi, dia pamit pulang.
.
.
.
Arwen terpaksa muncul mendadak untuk memeriksa ponsel Bobby saat ponsel pintar itu terus berdering. Bukan merasa risi dengan deringan terus menerus itu, bukan juga karena dia mau berbaik hati mengangkatkan telepon ketika Bobby masih berada di kamar mandi, tapi Arwen merasakan ketidaksukaan yang amat besar dari peneleponnya.
Sekali mendekat Arwen langsung tahu siapa peneleponnya. Puri, jelas itu nama seorang wanita.
Arwen meniupnya dari jauh, telepon tersambung dengan loudspeaker on.
"Bob, kata Marvin, kau akan hadir ke pestanya. Itu benar, kan?"
"Pesta apa?" Arwen tidak menekan pita suaranya, mengeluarkan suara dengan nada sadis.
“Eh, ini siapa? Bukankah ini nomor Bobby, kenapa suaranya jadi perempuan?"
"Tidak boleh istri mengangkat telepon suaminya?"
“Sejak kapan Bobby punya istri?"
Terakhir kali dia mendengar kabar Bobby, tidak disebutkan kalau teman Marvin itu menikah. Puri yang kala itu masih ingusan sangat menyukai Bobby. Dia patah hati setelah melihat lelaki idamannya menikah. Dia memutuskan pulang ke kampung halaman, lalu tinggal dengan kakek-neneknya.
Lalu rasa suka itu bersemi kembali ketika mendengar perceraian Bobby. Puri sampai berencana kembali ke luar negeri, tapi batal karena Bobby mengabakan akan pulang. Setelah beberapa bulan Bobby tinggal di sini, Puri masih belum bisa menemuinya. Rencananya dia akan menarik perhatian Bobby di pesta yang diadakan Marvin nanti. Tadinya sudah senang, tapi sekarang sedih lagi mendengar Bobby menikah.
Malam pesta nanti Puri akan menggunakan cara agak licik untuk menggaet Bobby. Karena selama ini Bobby hanya tertarik dengan wanita usia matang, jadi mau tak mau Puri yang usianya terpaut hampir 10 tahun harus bertindak. Tapi sekarang, rencana tinggal rencana karena Bobby sudah menikah. Bagaimanapun juga Puri tidak akan merebut suami orang, kan?
Puri menghela napas panjang. Membuang kesedihan yang bertumpuk-tumpuk di hatinya. "Marvin tidak bilang kalau Bobby sudah menikah." Lalu suaranya melemah.
"Memangnya siapa kau sampai harus tahu pernikahan Bobby?"
"Aku … Puri …,"
"Kau anak ingusan yang dulu menyukai Bobby?" Arwen memang tahu siapa Puri walau dia tidak pernah tinggal di luar negeri. "Mau berencana merebutnya dariku?" Dia hantu. Hantu yang sakti mandraguna tanpa ada tandingannya. "Aku tahu kau punya rencana busuk. Sampai kau melaksanakan rencana itu, siap-siap juga untuk menerima balasan dariku!" ancamnya.
“Aku tidak bermaksud begitu," sangkal Puri. Tadinya iya, tapi sekarang sudah tidak lagi. Dia tidak berani merusak rumah tangga orang. "Aku tidak …."
Saat itu Bobby keluar dari kamar mandi. Mendapati istrinya tengah bicara di telepon, telepon miliknya, Bobby penasaran siapa yang diajaknya bicara. Arwen tidak suka ikut campur urusan Bobby, kecuali kalau urusan itu nantinya mengancam hubungan mereka. Dan sekarang Arwen tengah mengangkat teleponnya, berarti sesuatu atau seseorang yang diajaknya bicara memiliki kans ke arah sana.
Arwen adalah hantu pencemburu. Bobby hafal soal itu.
"Siapa yang akan merusak rumah tangga kita?" celetuknya sambil berjalan ke gantungan, tempat baju yang akan digunakannya, disiapkan oleh Arwen. "Perlu kau ingat bahwa siapa pun yang berniat merebutku darimu tidak akan pernah berhasil." Dia meraih baju itu, memakainya mulai dari celana jins-nya, kemudian kaos Hallo New York yang dibawanya dari luar negeri. "Aku tidak akan tertarik dengan siapa pun selama aku masih punya kau!"
Arwen nyengir lebar, bangga.
"Sepertinya kau dengar Bobby barusan bilang apa!" Dia bicara pada Puri di telepon. "Bobby tak akan tertarik dengan siapa pun selama masih ada aku. Dan aku bisa bertahan sampai berabad-abad lamanya!" tambahnya. Sayangnya Bobby tidak mungkin bisa bertahan walau hanya seabad. Jarang sekali ada manusia yang bisa hidup lebih dari seratus tahun.
"Kau bicara dengan siapa?"
"Mantan penggemarmu." Arwen mengambil lalu memberikan ponsel itu pada Bobby. "Tadinya dia berniat merebutmu, tapi setelah tahu kau menikah denganku, sepertinya niatnya luntur."
Arwen tertawa pelan. Sukses berperan jadi hantu jahat kali ini.
Eh, tapi dia selalu jahat kalau menyangkut Bobby.
“Bob, aku tidak bermaksud merebutmu dari istrimu. Sumpah!" Puri bicara setelah Bobby mengambil alih telepon. "Aku kan hanya ingin tahu kau datang ke pesta Marvin atau tidak."
Loudspeaker-nya sudah dimatikan oleh Bobby. Telepon itu dipegang langsung dan ditempelkan di telinga Bobby, tapi Arwen, si telinga tajam, tentu dengar kalimat apa saja yang dilontarkan Puri untuk membela diri.
"Kau berencana memabukkan suamiku, gadis ingusan. Kau pikir aku tak bisa membaca isi pikiranmu meski tak berada di dekatmu?" celetuk Arwen. Cukup keras untuk ditangkap pendengaran Puri di ujung telepon. "Kau hanya perlu tahu siapa aku sebenarnya untuk memupuskan rasa sukamu pada suamiku!"
"Arwen …!" tegur Bobby.
Bobby takut Arwen menakuti Puri seperti dia menakuti semua orang yang menurutnya mengganggu. Lagi pula tak baik juga kalau sampai ada orang tahu Bobby berhubungan dengan hantu. Apalagi kalau sampai ada pertanyaan 'apa enaknya menikah dengan hantu?'
Sebelum bertemu Arwen, hantu adalah sesuatu yang tak pernah dianggap ada oleh Bobby. Walau kata orang yang pernah melihat hantu, hantu sangat menakutkan, Bobby tidak pernah takut. Namun, entah kenapa yang awalnya tidak takut, Bobby takut pada Arwen. Takut hantu satu itu menakuti orang-orang terdekatnya. Takut Arwen mencelakai orang-orang yang tak tahu apa-apa. Takut juga kalau Arwen menyakiti orang lain hanya karena cemburu terhadapnya.
Maka dari itu, Bobby main aman. Sebelum menemukan wanita yang tepat untuk dititipi benihnya, mengandung, dan melahirkan anaknya, dia mau setia pada Arwen. Toh, Arwen tidak ada matinya. Mau apa-apa tinggal petik jari dan semuanya ada. Rumah tidak pernah kotor, makanan siap tepat waktu, dan ranjang selalu hangat. Eh, bagian ini agak ambigu. Ranjangnya selalu hangat, tapi pasangan tidurnya tetap dingin. Meski begitu, tetap saja Bobby suka makhluk seperti Arwen.
Lalu apa enaknya menikah dengan hantu?
Tidak ada enaknya, mengingat hantu itu makhluk yang menakutkan. Namun, menurut Bobby menikahi hantu itu serba enak, terutama di bagian ranjang hangat, pasangan yang bisa berubah-ubah bentuk, dan tidak pernah lelah. Agak tidak masuk akal memang, tapi itulah yang dirasakan Bobby.
"Itu sebelum aku tahu kau menikah, Bob!" dalihnya.