Dipuja Setan

Ju Khoyul
Chapter #4

Dia yang segera menghilang

Cinta selalu indah meski terkadang hasil akhirnya buruk. Cinta juga selalu benar meski jalan yang ditempuhnya salah. Dan cinta selalu jadi yang utama meski tengah membuat hidup seseorang berantakan karena mengalami pahit manis, senang sedih, ... nano-nanonya kehidupan pokoknya.

 Cinta yang seperti itu tengah dirasakan Bobby akhir-akhir ini. Berawal dari duda pindahan yang digoda hantu penjaga rumah setiap malam, lalu membuat perjanjian untuk jadi suami istri dengan si hantu. Merasakan indahnya hidup berumah tangga dengan istri yang bisa segalanya, termasuk berubah wujud jadi perempuan yang berbeda-beda meski mukanya sama. Lalu ditinggalkan karena kesalahannya telah menghamili perempuan lain. Ditinggalkan istri membuat Bobby frustrasi dan hampir bunuh diri. Ah, bunuh diri tidak dihitung. Bobby tidak akan melakukannya, apa pun penyebabnya. Tapi sekarang dia kembali bisa merasakan indahnya berduaan dengan istrinya tersebut.

Bobby kedinginan meski baru saja menyelesaikan kegiatan malam bersama Arwen. Bukan karena dia menyalakan pendingin ruangan di suhu yang terlalu rendah, tapi karena Arwen terus memeluknya. Badan Arwen dingin sekali, tak bisa ditolerir oleh badan Bobby sendiri. Biasanya Arwen akan mengingatkan Bobby untuk tak berlama-lama menempel padanya, sekarang malah Arwen yang terus menempel pada Bobby. Angin apa yang membawa istrinya tiba-tiba kembali dari tugas menjagai wanita hamil itu? Minta mereka bermesraan pula.

Arwen menarik mundur dirinya sendiri hanya untuk menyuruh Bobby memakai selimut sebelum dia memeluknya lagi. “Aku tak akan pergi-pergi lagi,” katanya sambil menempatkan tubuhnya di atas selimut Bobby. Kemudian mendekat dan memeluk suaminya lagi.

“Wanita itu?”

“Tidak ada harapan.”

Perasaan Arwen tidak enak beberapa hari belakangan ini. Seperti ada hal yang akan terjadi padanya, tapi dia tidak bisa menjabarkan arti perasaan tidak enaknya itu. Bukan tentang Bobby, bukan tentang wanita yang baru saja dijagainya itu juga, tapi tentang dirinya sendiri. Jarang sekali Arwen merasakan perasaan tidak enak seperti ini. Biasanya perasaan tidak enaknya berkaitan dengan hantu dari luar yang datang dan ingin ikut tinggal di rumah ini. Terkadang ada orang pintar membaca mantra pengusiran yang bukan membuatnya takut, tapi malah membuatnya tak bisa istirahat semalaman karena berisik. Tapi yang kali ini perasaan tidak enak itu begitu kuat, seakan bisa merenggut eksistensinya di dunia ini.

Arwen ketakutan. Dia tidak mau dipanggil Tuhan lebih cepat dari yang diperkirakannya. Kalau sampai itu terjadi, mau tak mau dia harus kehilangan Bobby. Arwen tidak rela berpisah dari suaminya. Maka dari itu, dia memutuskan kembali ke rumah, menjadi hantu genit seperti pertama kali bertemu Bobby, lalu bercinta sampai Bobby puas.

“Tiba-tiba sekali ... kau bahkan berubah jadi genit lagi.”

Tepat di kata genit, Arwen menyusupkan tangannya ke balik selimut dan mengusap dada telanjang Bobby. “Kita sudah tidak bercinta berapa lama?” tanyanya, sekadar ingin Bobby mengingatkannya.

Bobby mengingat-ingat sejenak, tapi hanya beberapa minggu. Tepatnya dua minggu. Arwen tak pernah lupa untuk mendatangi Bobby dan menawarkan untuk bercinta setidaknya seminggu sekali. Jadi, tidak terlalu lama Bobby menganggur.

“Memangnya kenapa kau tanyakan soal itu?”

“Aku mau kita sering bercinta setelah ini. 2-3 kali dalam seminggu,” pintanya, penuh perhitungan. Kalau tiap hari, nanti Bobby tak cukup tenaga untuk bekerja dan melakukan hal-hal lain. Lagi pula Arwen hanya mau bersama Bobby, tidak terpaku pada urusan ranjang saja. Tapi karena hanya alasan itulah yang paling bisa diterima Bobby, Arwen terpaksa bilang begitu. “Aku mau kau puas denganku.”

“Aku tidak pernah merasa tidak puas denganmu.” Bobby menyusupkan tangannya juga ke dalam selimut. Mencari tangan Arwen di dadanya dan menggosoknya bersama-sama. “Tapi tumben sekali kau berubah pikiran dengan cepat. Tadinya kekeh ingin menjaga wanita itu sampai anaknya lahir.”

Bobby menutup matanya. Merasakan elusan dari tangan Arwen yang menenangkan. Dingin, tapi lembut.

“Dia tidak akan melahirkan.”

Lalu Bobby membuka matanya lagi.

“Wanita itu keguguran.” Dia berbohong. Berlagak menggenggam tangan Bobby, meremasnya kuat. Tetapi seerat apa pun dia melakukannya, dia masih tidak bisa membuat Bobby kesakitan. “Aku lengah sedikit, dia sudah kehilangan bayinya.” Dia mendesahkan napasnya panjang, pertanda sedang kesal. Kekesalannya itu membuat Bobby yang akan mempertanyakan soal hilangnya calon anaknya pun tertunda. “Tidak apa-apa kan dia keguguran?”

Bobby menggeleng. “Aku belum butuh bayi itu untuk saat ini,” katanya, lemah, lemas .... Soalnya tangan Arwen yang piawai membuat candu. Mengalahkan pemijat profesional. Bobby sampai tak bisa berkata-kata. 

Sementara Bobby memejamkan mata, mendesah, menyebut nama Arwen sambil terbaring pasrah, berpikir kegiatan malam mereka akan berlanjut, Arwen sedang memikirkan bagaimana cara termudah membuat wanita itu kehilangan bayinya? Tentu saja Arwen berbohong soal keguguran itu. Dialah yang merencanakan untuk menghilangkan calon anak Bobby dari muka bumi ini. Toh, kehamilan wanita itu masih muda, mudah dihilangkan.

Masalahnya, Arwen dalam mood yang buruk. Perasaan tak enaknya mempengaruhi semua hal termasuk rencananya membesarkan anak Bobby. Daripada Bobby punya anak sementara dia tak bisa jadi ibunya karena lebih dulu dipanggil Tuhan, lebih baik Bobby tak punya anak. Digugurkan dengan cara dijatuhkan, ditabrak, atau dibunuh bersama ibunya saja enaknya?

Membunuh ibunya, berarti membunuh anaknya juga. Tapi ... kalau wanita itu jadi hantu, lalu mencari Bobby untuk meminta tanggung jawab, bagaimana? Bobby pasti akan menikahi hantu wanita hamil itu seperti yang Bobby lakukan padanya sekarang?

Arwen tak rela ada hantu lain yang dinikahi Bobby. 

“Arwen ....”

“Hah?”

“Kenapa memukulku?”

Tangannya berhenti otomatis saat mendengar pertanyaan itu. Arwen tidak sadar telah memukul Bobby ketika membayangkan membunuh wanita itu.

Bobby sudah berharap lebih, tapi malah dapat pukulan dari tangan dingin Arwen.

“Tidak sengaja.”

Bobby bertanya lagi, “Memangnya kau sedang memikirkan apa sampai memukulku segala?”

“Tidak ada.”

“Serius?”

Arwen mengangguk. 

Mata Bobby menyipit. Sudah jelas bahwa Arwen berbohong.

“Ok ok, aku sedang memikirkanmu. Memikirkan kita berdua,” terangnya supaya Bobby tidak terlalu curiga. “Kehilangan calon anak agak membuatku kesal.” Masih berbohong sih.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya.

Diracun saja. Hanya butuh satu pil untuk menggugurkan janin itu. Kalau beruntung, wanita itu akan selamat. Kalau tidak, ya ... mati sekalian pun Arwen tidak peduli.

Kemudian bibirnya yang sejak tadi cemberut langsung mengembangkan senyum. “Tapi tidak apa-apa. Kita masih punya kesempatan di kemudian hari.”

Bobby mengangguk, ikut senang kalau Arwen senang. 

***

Marvin melambaikan tangannya ketika Bobby baru memasuki pintu restoran. Bobby menghampiri meja Marvin, kemudian duduk di salah satu kursi di depan temannya itu.

“Kau sudah pesan makanan?”

“Belum. Aku juga baru datang.” Dia mengangkat tangan, memberi kode pada pelayan resto. Setelah pelayan datang dan mengulurkan buku menu, mereka sama-sama memesan makan siang. “Ngomong-ngomong tumben sekali kau mengajakku makan siang. Dalam rangka apa?” tanyanya setelah proses pesan selesai dan pelayan meninggalkan mereka.

“Tidak ada. Hanya ingin membuktikan sesuatu.”

Marvin menunjuk mukanya sendiri. “Membuktikan sesuatu tentang aku?”

Bobby balas menggeleng. “Tentang sesuatu yang akhir-akhir ini membuatku sedikit tidak nyaman.”

Dalam seminggu ini Bobby merasa dibuntuti. Awalnya dia curiga kalau orang yang membuntutinya itu adalah suruhan lawan bisnis. Maklum saja, akhir-akhir ini banyak bisnis online bermunculan. Bisnis Bobby sendiri juga baru, tapi berkembang cukup pesat karena memiliki strategi yang bagus, pendanaan yang lancar, dan partner-partner yang hebat. Fitur yang ditawarkan pun jauh lebih banyak dari yang lain, maka dari itu bisnisnya berjalan baik. Mungkin karena hal itu lawan bisnisnya ingin mencuri satu dua hal darinya, dengan mengirimkan mata-mata contohnya.

Namun kecurigaan Bobby tidak berlangsung lama. Ketika beberapa kali dia mengelabuhi si penguntit tapi tetap ketahuan keberadaannya, Bobby lebih curiga ke arah lain. Siapa orang yang bisa meloncati pagar tinggi, berlari dengan sangat cepat, serta bisa menembus tembok? Tentu saja tidak ada manusia yang bisa, kecuali hantu. Satu-satunya hantu yang dia kenal adalah istrinya sendiri. Dan karena Arwen menyangkal telah menguntit Bobby dengan dalih macam-macam ketika ditanya, Bobby mau membuktikan kalau dugaannya benar.

“Aku dikuntit.”

“Hah?” Marvin mengerutkan keningnya? “Segera lapor polisi. Kalau sampai penguntit itu menyerangmu saat tak ada orang yang bisa membantu, bisa celaka kau!”

“Tidak akan. Aku curiga Arwen yang menguntitku.”

Kerutan di dahi Marvin muncul lebih banyak lagi.

“Sekarang masalah apa lagi? Jangan-jangan penyakit posesifnya kambuh lagi?” Dia sampai tak habis pikir. Dalam hubungan Bobby dan Arwen, yang pantas jadi posesif adalah Bobby. Secara, Arwen cantik maksimal, badannya bagus, dan terlihat seperti wanita ningrat. Sedangkan Bobby hanya lelaki biasa. Lelaki sepertinya bisa dijumpai di mana pun. “Sekarang siapa yang dicurigainya punya hubungan denganmu?”

Bobby angkat bahu. “Aku sendiri tidak tahu.” Dia mengembuskan napas lelah. Seharian menghindar dari penguntit, tapi sama sekali tak berhasil. Mencoba menangkap penguntit itu seorang diri pun tak berhasil. “Kalau sudah bawaan dari lahir, posesifnya itu mana bisa sembuh?” Bobby ingin Marvin melakukan sesuatu, apa pun itu yang membuktikan kalau si penguntit adalah Arwen. Bobby juga mau Marvin membantunya, bagaimana agar Arwen percaya padanya tanpa ada embel-embel penguntitan segala.

Yang namanya dikuntit itu tidak enak. Kesannya dia jadi tidak dapat dipercaya. Tentu saja masalah cinta, Bobby sudah mengatakan kalau dia mencintai Arwen. Tidak akan selingkuh juga sudah dijanjikannya beruang kali, Arwen masih belum percaya. Memang dia tipe pria yang mudah selingkuh, tapi dia juga selalu menepati janji. Kalaupun Bobby sedang tertarik pada seseorang, tidak akan mendekati orang itu. Paling langsung pulang dan melampiaskannya pada Arwen. Harusnya penguntitan itu tidaklah perlu dilakukan. Kecuali ....

“Apa dia ada di sekitar sini sekarang?”

“Aku rasa begitu.”

Marvin celingak-celinguk ke sekeliling, tapi tak mendapati wanita berbadan model dengan dada besar berada di sekitar mereka. Kalaupun menyamar menjadi orang lain, dia tetap bisa membedakan mana Arwen meski berada di antara ribuan orang sekalipun. Menurut Marvin, ciri fisik Arwen itu khas, tidak ada orang yang bisa menyamainya. Tidak menemukan Arwen di dalam restoran ini, berarti Arwen memang tidak ada di sini.

“Mencari sampai juling pun kau tak akan bisa menemukannya.” Karena di mata temannya itu, Arwen adalah wanita dengan properti ‘wah’ yang tak bisa disembunyikan oleh pakaian apa pun. Tetapi Bobby tahu persis siapa pasangannya itu. Dia bisa berada di sini tanpa perlu menampakkan diri. “Dia bisa menyamar dengan sangat baik. Properti mata-matanya sudah menyamai properti mata-mata sungguhan.”

“Ya ampun Bobby, dia tak akan bisa menyembunyikannya ...,” Kalimat ambigunya itu diterangkan dengan membuat dua gundukan di dadanya sendiri.

“Kau suka memelototi dada istriku?” tuduh Bobby.

“Maaf, aku khilaf!” kata Marvin sambil tertawa senang.

“Jangan datang ke rumahku lagi!”

“Ah, kau ini. Bicara dengan Arwen tidak lengkap kalau tidak melihat ke arah situ.” Marvin tersenyum kemudian. “Lagi pula cuma melihat dari jauh, tidak bisa memilikinya.” Bobby masih mau protes, tapi dengan lihainya Marvin mengalihkan pembicaraan. “Tidak usah membahas soal dadanya Arwen. Aku janji tidak akan memperhatikannya lagi!“ Janjinya sungguhan, hanya saja dia sering lupa. Jadi, harap maklum kalau perbuatannya sering terulang. “Aku punya cara jitu untuk membuat Arwen keluar dari persembunyiannya.”

“Tidak usah diterangkan!” cegah Bobby saat Marvin akan menjelaskan rencananya. Karena Arwen punya telinga yang maha dahsyat, takut rencana itu didengarnya. “Lakukan saja seperti yang kau pikirkan.”

Saat makanan datang, Marvin menelepon seseorang. Awalnya hanya menanyakan kabar dan keberadaan saat ini. Ketika didapati mereka berada di jarak yang tidak jauh, Marvin mengundang orang itu untuk makan siang bersama.

***

Mereka sedang menyeruput minuman masing-masing ketika seorang wanita tak kalah seksi dari Arwen, hanya beda ukuran dada, berdiri di depan meja. Marvin menyambutnya dengan sangat gembira. Melakukan prosesi temu kangen dengan teman lama secara ringan. Sekadar pelukan dan ciuman di pipi .

Lihat selengkapnya