Paranormal itu terlempar, jatuh dengan keras di lantai marmer rumah Bobby, kemudian memuntahkan darah putih. Untuk sesaat dia belum bisa bangkit, napasnya terengah-engah dan peluhnya bercucuran. Dia merapal mantra sambil mengumpulkan kekuatan. Tiba-tiba berdiri seakan kembali fit seperti sedia kala. Kembali melakukan ritual gaib yang diyakininya sebagai ritual pemanggilan roh. Mengelilingi ruangan, masuk ruang satu ke ruang yang lain sambil membaca mantra dan memanggil-manggil nama Arwen. Terakhir, dia masuk ke kamar Bobby dan melakukan ritual cukup lama di sana.
“Aku akan mengusirnya!” Marvin mengasumsikan bahwa matanya akan iritasi kalau terus terusan melihat adegan konyol si paranormal. “Dia membuat lawakan yang tidak lucu.”
“Tunggu sebentar, siapa tahu dia benar-benar bisa memanggil rohnya Arwen.”
“Dan sejak kapan Arwen jadi roh?”
Marvin tidak habis pikir, repot-repot tanya ke sana kemari tentang keberadaan paranormal hebat, dia pikir memang ada yang salah dengan rumah Bobby. Ada hantu yang mengganggu mereka contohnya, atau paranormal lain tengah mengirim kutukan. Yang dia dapati malah di luar pemikirannya. Bobby menggunakan paranormal itu untuk memanggil rohnya Arwen. Memangnya kapan Arwen mati? Setahu Marvin, Arwen dan Bobby bertengkar gara-gara kuntit-menguntit waktu itu. Arwen sudah pasti kabur dari rumah lagi. Tetapi, kenapa Bobby memakai jasa paranormal bukan untuk mengirim kutukan cinta, malah meminta paranormal memanggil roh?
Tampaknya Bobby agak kurang sehat akalnya.
“Aku mau Arwen kembali. Kau tahu kalau aku tak bisa hidup tanpa dia, kan?”
“Kalau kau mau Arwen kembali, cari dia dan minta maaf, bukan malah menggunakan paranormal untuk memanggil rohnya!”
Marvin menggeleng, tidak habis pikir. Dia berjalan mundur tiga langkah, kemudian menjatuhkan diri ke sofa.
Setelah paranormal itu keluar dari kamar Bobby dan membuat adegan kalah perang dengan makhluk gaib lagi, dia akan menendang orang itu dari rumah ini. Sudah temannya agak korslet otaknya, paranormal itu memanfaatkannya pula. Marvin sebagai teman, tidak akan tinggal diam.
“Jangan berdiri di situ. Duduk sini!”
Bobby menurut. Mendekat, tapi tidak duduk.
“Kau tak mengerti. Arwen memang hanya bisa dikembalikan dengan cara ini.”
Belum kapok juga Bobby. Ini kali ketiga dia mendatangkan paranormal tapi yang didapat hanya kerugian. Menurut yang dia baca di internet, gerbang gaib akan terbuka lebar tiap hari Rabu. Rabu pertama, paranormal yang dicarikan Marvin didatangkan ke rumahnya. Paranormal itu meyakini kalau rumah Bobby memang ada hantunya. Tidak tanya-tanya lagi, dia langsung melakukan ritual. Dan setelah ritual itu selesai, si paranormal meminta setengah dari bayarannya yang belum dibayarkan. Bobby bertanya mana roh istrinya. Si paranormal bilang, semua roh sudah diusirnya, roh istrinya yang tak mau kembali pada pencipta dan roh jahat yang datang dari luar rumah juga. Dia sudah melakukan ritual pengusiran tadi. Tetapi Bobby malah berang, dia minta si paranormal melakukan ritual ulang untuk memanggil roh-roh yang katanya telah diusir itu, terutama roh istrinya.
Kali kedua di hari Rabu juga. Marvin sebenarnya sudah tidak mau mencarikan paranormal lagi mengingat yang pertama hanya menipu Bobby, tapi Bobby kekeh mau dicarikan paranormal. Yang lebih hebat dan lebih mengerti soal pemanggilan roh. Lalu paranormal kedua didatangkan. Paranormal itu lebih tenang, hanya berjalan mengitari rumah, memasuki ruang-ruang, dan terakhir melakukan dialog dengan sesuatu yang kasat mata. Selesai semua itu, si paranormal mengatakan kalau roh istrinya Bobby sudah tidak bisa dipanggil lagi. Sekarang sudah tahap penghitungan amal baik dan buruk. Kalau amal baiknya lebih banyak, dia akan reinkarnasi. Kalau sebaliknya, dia akan dibakar di neraka. Paranormal itu mengaku tidak sanggup memanggil roh istrinya Bobby kalau sudah di tahap itu. Dia hanya menyarankan Bobby agar banyak berdoa supaya istrinya tidak masuk neraka.
Dan karena Marvin cemas di Rabu ketiga ini Bobby masih menyuruhnya mendatangkan paranormal, dia menemani Bobby melihat ritual yang dilakukan. Ternyata bukan paranormalnya yang bermasalah, Bobby saja yang salah menggunakan jasa paranormal itu. Maka dari itu, lelaki itu sampai ditipu.
Nyatanya orang sepintar Bobby bisa jadi bodoh kala ditinggal pergi istrinya.
“Memangnya kau percaya dengan paranormal itu?”
Bobby menggeleng. “Kau yang mencarikan.”
“Aku memang yang mencarinya, bukan berarti aku percaya paranormal. Kau juga yang memaksa.” Marvin geram. Menempeleng Bobby juga tak ada gunanya. Temannya sedang linglung, harap maklum. “Kalau dia bertingkah seperti itu, sudah pasti pembohong. Orang itu bayarannya mahal. Sekali datang sama dengan sebulan gaji sekretarisku. Kau sudah membayar DP-nya pula. Begini saja, aku akan mengusirnya sebelum dia mengambil uangmu lebih banyak lagi. Masalah Arwen, aku akan membantumu mencarinya.”
Bobby menggeleng lagi. Marvin tidak mengerti dan tidak akan mengerti. Memang Bobby tidak percaya ritual apa pun, tapi demi mendatangkan Arwen, dia harus berusaha meski dengan cara yang tidak dia percaya sekalipun.
“Biarkan dia mencoba!”
“Mencoba apa?” Marvin melotot. “Tunggu di sini, aku akan mengurusnya!”
Marvin tidak peduli larangan Bobby. Dia harus mengusir paranormal gadungan itu sekarang juga.
***
“Bagaimana kabarmu? Kau masih ingat aku, kan?”
Itu pertanyaan yang dilontarkan orang-orang yang menemuinya dalam sebulan terakhir. Sebenarnya ada apa dengan semua ini? Dia hanya merasa tidur dengan mimpi indah, karena terlalu indah sampai enggan untuk bangun. Ketika mimpi itu berakhir, dia membuka mata, semua orang yang melihatnya menangis terharu. Lalu pertanyaan ‘apa kabar?’ dan ‘kau masih ingat aku?’ dijatuhkan secara bertubi-tubi oleh satu persatu orang yang mendatanginya. Sekali lagi, dia hanya tidur cukup lama sampai-sampai melewatkan beberapa bulan perjalanan bumi, bukan berarti dia lupa ingatan.
“Aku tidak baik. Bosan setengah mati karena setiap orang yang menemuiku menanyakan hal sama,” jawabnya malas. “Kau sepupu kurang ajar yang telah merebut kekasihku, tapi akhirnya ditinggalkan juga olehnya, kan?”
Sepupunya tertawa kecil.
“Aku tidak akan merebutnya kalau tahu dia juga akan meninggalkanku demi wanita lain.” Sepupunya memutuskan duduk di kursi rotan cantik berseberangan dengan meja. Tidak melakukan apa-apa kecuali memandangi perempuan kurus di kursi sebelahnya. “Bagaimana kau bisa tidak lupa ingatan setelah mengalami kecelakaan maut. Kepalamu terbentur, tulangmu banyak yang patah, dan kau koma hampir setahun.”
“Kau mengharapkan aku lupa ingatan?”
Sepupu itu mengangguk. “Ingatan soal aku merebut kekasihmu lalu aku ditinggalkan juga yang terpenting untuk kau lupakan.” Dia terkekeh lagi. “Tapi baguslah kau bisa kembali. Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Dia menggeleng.
Yang dirasakannya campur aduk. Apa yang dilewatkannya beberapa bulan ini tidak jadi soal, tapi apa yang diimpikannya selama masa tidurnya itu yang jadi soal. Dia bahagia dalam tidurnya hanya dengan mengalami mimpi. Seperti sungguhan. Apa yang tidak diinginkannya tapi malah didapatkannya. Ngomong-ngomong, dia tidak bisa menjelaskan bahkan pada dirinya sendiri soal mimpi itu. Mimpi menginginkan seorang lelaki untuk menikahi dan menghidupinya, padahal dia sendiri pernah berpikir untuk tidak menikah sama sekali setelah ditinggalkan kekasihnya. Setelah dapat mimpi itu, dia baru sadar bahwa tidak semua laki-laki memiliki perilaku yang sama.
Dia mendengus kesal.
Mimpi itu, mimpi yang hampir dipercayainya sebagai sesuatu yang nyata, membuatnya ingin tidur kembali. Tiap dia tidur, dia tak mau membuka mata saat pagi hari, tapi tubuh dan pikirannya tak mau diajak berkompromi. Bahkan dia terbangun dengan sendirinya sebelum sinar matahari menerobos celah gorden kamarnya.
“Kau merasa buruk, ya?” tanya sepupunya lagi. “Aku tahu kau melewatkan banyak hal, sudah begitu masih dalam tahap pemulihan juga, tapi kau harus tetap optimis untuk sehat seperti sedia kala. Dokter sudah mengatakan akan baik-baik saja setelah menjalani beberapa terapi, dan keluarga besar mendukung penuh. Aku yakin satu dua bulan kau bisa mengencani lelaki-lelaki tampan seperti dulu,” tambahnya. Meletakkan tangannya di pundak sepupu dan menepuk pelan. “Eh, sekarang aku mengencani lelaki dari fakultasmu. Marlon. Yang mendapat predikat Mister kampus tahun kemarin. Kau masih ingat dia?”
Tanpa berpikir dia mengangguk. Dia memang ingat. Ingat segalanya dengan baik. Dulu dia dijuluki gadis berotak super, makanya dia bisa melompat-lompat kelas sesukanya. Kalau dia tidak berhenti sekolah selama dua tahun tanpa alasan jelas, dia sudah menyelesaikan kuliahnya. Tahun lalu dia dipaksa untuk sekolah lagi oleh orang tuanya, tapi dia kecelakaan parah. Dia melewatkan beberapa bulan dengan tidur di rumah sakit. Setelah bangun dari koma, rasanya otaknya jadi makin super.
“Kau akan mulai kuliah lagi tahun ini, kan? Umurmu masih 19, beberapa bulan lagi baru 20 tahun. Usia normal untuk masuk kuliah.” Dia menepuk pundak sepupunya lagi. “Saat kau masuk, aku sudah jadi seniormu!” katanya sambil tertawa-tawa.
“Meski kau akan jadi seniorku, aku akan lulus lebih cepat daripada kau!” Dia menunjuk pelipisnya sendiri. “Kau pikir beberapa bulan ini aku koma untuk apa? Untuk meningkatkan kemampuan otakku, tentu saja. Kau akan melihat kemampuan baruku nanti!” katanya congkak.
“Dasar sombong!”
.
.
.
“Wen, sejak kapan kau bisa berjalan normal?”
Heran. Tiga hari yang lalu kakaknya datang menjenguk Arwen, dan hari ini gilirannya. Kakaknya bilang Arwen masih duduk di kursi roda. Sesekali berjalan menggunakan tongkatnya. Hari ini Arwen tiba-tiba berdiri, kemudian berjalan ke halaman dengan entengnya. Seperti tidak pernah mengalami sakit sama sekali.
“Kau pernah melihatku berjalan tidak normal?” tanyanya balik.
Sambil mengikuti, dia mencoba menyamai langkah Arwen. Berjaga-jaga kalau sepupunya itu ambruk. Namun, berjalan cukup jauh pun Arwen terlihat seperti orang pada umumnya.
“Kedua kakimu kan patah.” Tidak yakin sebenarnya, soalnya dia hanya mendengarnya dari saudara-saudara yang lain, belum melihat sendiri hasil foto rontgen tulang kaki Arwen. “Kakak juga bilang kalau tiga hari yang lalu kau masih menggunakan kursi roda. Berdiri saja masih kesusahan.”
Arwen melipat tangannya di dada sambil memandang sepupunya, heran. “Kakiku tidak patah. Kau tahu keadaanku sebenarnya atau tidak, sih?”
Yang sebenarnya patah adalah tulang rusuk, tulang selangka, dan beberapa lainnya retak. Bagian anggota gerak sama sekali tidak mengalami masalah. Itu pun sudah dibenahi lewat beberapa operasi di awal dia masuk rumah sakit dulu.
“Aku bisa kembali berjalan normal sehari setelah kakakmu datang.”
Ditemani sepupunya, Arwen berjalan mengitari halaman. Melewati kolam ikan kecil yang di dalamnya ada ikan emas peliharaan ayahnya. Kemudian melewati bunga tujuh warna milik ibunya. Bunga itu didapat dari saudara di luar negeri. Lalu mereka berhenti di bawah pohon yang ditumbuhi tanaman rambat di batangnya. Arwen mendongak ke pohon itu.
“Pohon ini mengingatkanku sesuatu.”
“Iya, aku juga!” Arwen langsung menoleh padanya. “Di masa kecil, kita main ayunan di sini. Sayang batangnya patah, jadi ayunannya tak bisa dipasang lagi.” Dia mendecakkan lidah, kesal. “Saat itu aku yang sedang main dan kau yang mendorong, untung batangnya tak menimpa kita.”
Tapi bukan itu yang diingat Arwen. Dia ingat pohon besar yang tumbuh di samping kamarnya. Kamar dalam mimpi.
“Eh, kau pernah bermimpi indah?” tanya Arwen tiba-tiba. Sepupunya mengangguk. “Kalau bermimpi indah sampai tak ingin bangun lagi?”
Sepupunya kaget. Jangan-jangan itu yang dialami Arwen selama masa komanya.
“Kau memimpikan sesuatu saat tidur panjangmu itu?”
Arwen mengangguk. “Dan aku tidak ingin terbangun. Bahkan sampai sekarang aku mencoba untuk tidur lagi.” Perkataannya terlalu mengkhawatirkan, sepupunya sampai memasang tampang ketakutan kalau-kalau Arwen berusaha mengakhiri hidupnya. “Jangan khawatir, aku tidak akan bunuh diri!” katanya segera untuk menenangkan sepupunya. “Aku hanya ingin bermimpi lagi.”
“Seindah apa mimpimu sampai kau ingin memimpikan hal sama?”
“Tidak begitu indah, bahkan sebenarnya menjijikkan,” terang Arwen. “Aku menjadi hantu genit penunggu rumah. Bisa berubah jadi apa pun. Punya kekuatan untuk melakukan segala hal.” Arwen berjalan sedikit lagi. Berhenti, lalu duduk di bangku besi di balik pohon besar itu. Setelah sepupunya menyusul duduk, dia melanjutkan ceritanya. “Aku jatuh cinta dengan pemilik rumah yang baru. Membuat kesepakatan dengannya untuk hidup sebagai suami istri dan merencanakan untuk punya anak,” tambahnya. “Aku juga rutin bercinta dengannya!” jelasnya secara gamblang.
Sepupunya tertawa kecil. “Yang menjijikkan sekaligus kau rindukan adalah bagian bercinta itu, kan?” Dan dia terkekeh lagi. “Wajar kalau kau ingin bermimpi lagi. Tapi cuma dalam mimpi, percintaanmu tidak nyata. Sekarang kau sudah bangun, bisa bercinta secara nyata. Hanya butuh mencari pasangan saja.”
Memang iya. Menjijikkan tapi Arwen suka, apalagi kegiatan percintaan mereka yang terakhir. Tapi ... yang dirindukan Arwen bukan hanya bagian itu. Semuanya. Apa pun yang berhubungan dengan pasangannya. Walau begitu sepupunya benar, itu tidak nyata.
“Aku tidak tahu ini menjijikkan atau tidak. Aku menyukai pasanganku yang ada dalam mimpi.”
“Kudengar kalau bisa mengingat wajah orang yang kau suka dalam mimpi dengan begitu jelas, kemungkinan orang itu memang ada di dunia nyata.”
“Benarkah?”
Sepupunya angkat bahu. Tidak begitu yakin.