DIRA (Janji Yang Tak Terucap)

Sartika Chaidir
Chapter #1

PERTEMUAN TAK TERDUGA

Sudah hampir 30 menit aku berdiri disini, menunggu bus yang akan membawaku ke sekolah. Namun bus yang aku tunggu tak kunjung datang. Aku tak henti-henti memandangi jam yang melingkar ditanganku, rasa cemas membelenggu diriku. Beberapa detik aku tertunduk lesu, sesaat aku melihat bayangan roda dihadapanku. Dengan cepat ku tengadah kan wajahku, tampak seorang cowok dengan sepeda motornya. Entah siapa dia, aku tak mengenalnya dan baru kali ini melihatnya. Tapi baju seragam itu sama dengan ku.

“Mau bareng?” Dia memulai percakapan, menawarkan bantuan kepada ku. Tapi aku masih terdiam dan terpaku. Dia tidak tampan, mungkin bisa dibilang biasa saja. Tapi wajahnya sangat karismatik dan membuat aku terpesona.

“Hai ... Kita satu tujuan.” Dia berbicara dengan satu tangannya menunjuk bagian bajunya yang tertuliskan SMU yang sama dengan ku. Namun aku masih terdiam.

“Ayo kita udah terlambat!” Kata-katanya kali ini seperti menyihir ku dan tanpa berkata apa pun, aku menaiki motornya.

Dia melajukan motornya dengan kecepatan yang lumayan memacu adrenalin dan tanpa ada permintaan darinya, aku melingkarkan tanganku di perutnya. Ku tenggelamkan wajahku di punggungnya. Rasa takut membuat aku mengabaikan siapa dia. Dalam hitungan menit laju motor terhenti, namun aku tetap mematung.

“Hai ... Udah sampai,” katanya pada ku dengan menepuk lembut tanganku. Aku yang tersadar, cepat-cepat melepaskan tanganku. Dengan rasa malu dan detak jantung yang tak berirama, aku bergegas turun dari motornya.

“Terima kasih.” Hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir ku. Dan dia hanya mengangguk, lalu melajukan motornya menuju area parkir. Sedangkan aku, aku masih terdiam dan mematung. Seoalah pesonanya telah menyihirku.

“Hai ... Masuk yuk! Udah telat kita!" katanya. Membuat aku tersadar. Tanpa banyak kata aku melangkahkan kakiku beriringan dengan langkah kakinya. Kami terpisah diujung koridor, dengan cepat ku langkahkan kakiku menuju kelas. Sedangkan dia, entahlah dia mau ke mana. Aku terlalu terpesona oleh parasnya yang biasa saja tapi sangat karismatik, aku seolah tersihir oleh kebaikan dan senyumnya yang manis. Membuat aku lupa menanyakan namanya.

Di depan pintu kelas aku terdiam, rasa takut menyelimuti hatiku.

"Mati aku! Kenapa bisa lupa kalau jam pertama Pak Anwar?" gerutuku sambil mencoba mengumpulkan keberanian. Pak Anwar guru Matematika yang super killer, tak ada toleransi bagi siswa yang terlambat. Perlahan aku menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya.

“Tok ... Tok ... Tok ....” Aku mencoba mengetuk pintu kelas, setelah mengumpulkan keberanian yang hanya terkumpul 25 persen saja.

“Masuk ...!" kata Pak Anwar dari dalam kelas, terdengar berat dan sedikit menegangkan. Aku beranikan diri membuka pintu kelas.

“Randita Tamara Putri!" Pak Anwar menyebutkan namaku dengan lengkap dan seketika semua mata menatap ku, tak terkecuali sahabat ku Rahma. Aku merasa seperti terdakwa, jantung ku berdetak sangat cepat.

“Baru datang?" tanya Pak Anwar yang hanya bisa ku jawab dengan senyuman penuh kepasrahan, seakan siap menerima hukumannya. Hukuman Pak Anwar sebenarnya tidak sadis dan tidak ekstrim, tapi bagi aku yang kemampuan matematikanya pas-pasan jadi terlihat menakutkan.

“Masuk! Kebetulan bapak baru selesai menulis soal. Silahkan ...," katanya sambil memberikan spidol kepadaku.

“Mati aku,” gumamku sambil melangkah perlahan mendekati Pak Anwar, aku raih spidol yang diberikan oleh Pak Anwar.

“Kalian harus berterima kasih sama Tama, ya kan Tama?" celoteh Pak Anwar sambil melangkah menuju meja guru, dengan tatapan serius beliau memandang ku. Beberapa menit aku masih memandangi deretan angka itu. Aku menarik nafas panjang, selintas aku teringat senyuman itu. Membuat senyumku mengembang beberapa kali di bibirku.

“Ehem ... Tama!" suara Pak Anwar mengejutkan ku, membuat spidol ditanganku terjatuh.

“Eh jatuh Pak....!” Keluarlah kata-kata ajaib itu dan tanpa dikomando kelas ku riyuh dengan suara tawa.

“Eh jatuh Pak! Siapa yang jatuh? Kamu lagi jatuh cinta! Saya minta kamu mengerjakan soal itu, kok malah dipandangi angka-angkanya sambil senyum-senyum!” seru Pak Anwar kepada ku sambil melangkah mendekati ku. Suara tawa di kelasku semakin riyuh. Dengan teliti Pak Anwar memandangi soal yang dibuatnya.

“Enggak ada apa-apa. Enggak ada yang aneh,” gumam Pak Anwar sambil masih meneliti deretan angka di papan tulis. Dan dengan gerakan cepat Pak Anwar menatap ku.

“Ada yang aneh Tama?”

“Tidak Pak,” Jawabku dengan suara terbata karena terkejut.

“Lalu kenapa kamu pandangi sambil senyum-senyum gitu?" tanya Pak Anwar yang membuatku bingung menjawabnya.

“Matilah aku,” gumamku lagi dan kali ini terdengar oleh Pak Anwar.

“Mati kenapa Tama? Ya udah kalau gitu kamu jadi asisten bapak saja!" Pak Anwar berkata sambil mengambil spidol yang ada dilantai, belum sempat aku mengambilnya saat tadi terlepas dari tanganku. Dan dua jam mata pelajaran Pak Anwar aku harus dengan suka rela menjadi asisten gratis. Tugas ku mematung di samping papan tulis dan menunggu komando Pak Anwar untuk menghapus tulisan angka-angka indah beliau.

Sesaat pandangan ku tersita oleh pemandangan di luar jendela. Aku melihatnya lagi, dia berjalan dengan santai bersama kedua temannya.

“Tama ...!" Lagi-lagi fokus ku hilang karenanya. Aku tersentak kaget mendengar teriakkan Pak Anwar di hadapan ku, badanku terhuyung dan hampir jatuh. Melihat pemandangan ini, teman-teman ku seperti disuguhi film komedi. Tawa mereka memecahkan suasana tegang yang selalu hadir setiap pelajaran Pak Anwar.

“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” tanya Pak Anwar kepada ku dengan nada yang masih tinggi dan aku lagi-lagi menjawab dengan senyuman.

Lihat selengkapnya