Peristiwa pengeroyokan itu membuatku diselimuti ketakutan dan kecemasan. Hingga aku tak berani keluar rumah. Bahkan untuk keluar kamar saja aku tak mau. Bunda sangat khawatir, melihat keadaanku.
“Fathir, Bunda khawatir kalau Tama akan diperlakukan seperti itu lagi sama teman-temannya.” Bunda membuka pembicaraan kepada Kak Fathir. Aku yang sedang makan hanya terdiam dan memandang Kak Fathir. Kak Fathir terlihat masih menikmati makanannya, tapi bisa aku lihat dia sedang memikirkan sesuatu. Entah apa yang dia pikirkan, tapi aku yakin kakakku sangat menyayangiku.
“Iya Bunda, Bunda tenang aja. Biar Fathir yang selesaikan masalah ini ya,” jawab Kak Fathir setelah makanan yang ada di mulutnya habis tertelan. Mendengar jawaban Kak Fathir, aku tersenyum. Rasa aman menyelimuti hatiku, aku yakin kakakku tak akan membiarkan peristiwa itu terjadi lagi.
“Bunda bangga padamu, kamu selalu bisa diandalkan untuk menjaga adikmu.” Bunda pun merasa tenang jika kak Fathir mulai turun tangan untuk menjagaku. Setelah ayah pergi meninggalkan kita semua, Kak Fathir menjadi pengganti ayah untuk menjaga aku dan Bunda. Kak Fathir tak pernah memikirkan diri sendiri. Bahkan Kak Fathir harus mencari beasiswa untuk kuliahnya. Bunda hanya seorang ibu dengan usaha butik kecil-kecilan, jadi Kak Fathir tak ingin membebani Bunda. Awalnya Bunda kurang setuju, menurut Bunda sudah kewajiban orang tua menyekolahkan anaknya. Tapi Kak Fathir meyakinkan Bunda kalau apa yang dilakukannya bukan bermaksud menyinggung Bunda tapi Kak Fathir melakukan ini, semata-mata ingin mandiri dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia mampu menjadi laki-laki seperti yang ayah wasiat kan sebelum pergi menghadap sang Pencipta.
Mendengar kata-kata Bunda, Kak Fathir mengalihkan fokusnya kepada Bunda. Senyumnya mengembang dan tangannya menggenggam erat tangan Bunda.
“Fathir akan selalu menjaga Bunda dan Tama. Itu janji Fathir pada ayah.” Mendengar kata-kata Kak Fathir, Bunda meneteskan air matanya dan mengangguk tanda memahami apa yang Kak Fathir bicarakan. Aku terhanyut dengan pemandangan di hadapanku, seketika mataku berkaca-kaca seolah air mata ini tak sanggup terbendung lagi. Tapi aku berusaha menahannya, agar tak terlihat oleh Bunda dan Kak Fathir.
“Adek kakak ternyata udah gede ya, jadi sekarang udah naksir cowok nih,” goda Kak Fathir yang membuat aku tak nyaman dan kesal. Seketika wajahku menjadi garang dan mulutku manyun 3 centi, itu caraku menunjukkan kekesalan ku.
***
Sudah 3 hari aku tidak masuk sekolah. Rasa takut dan cemas berlebih masih membelengguku. Hingga aku memutuskan untuk berdiam diri dulu di rumah. Awalnya Kak Fathir dan Bunda ingin membawa peristiwa ini keranah hukum. Tapi aku mencegahnya karena menurutku persoalan ini tak perlu diperpanjang lagi. Lebih baik kita memaafkan saja, bukannya Bunda yang mengajarkan Tama untuk selalu memaafkan orang yang berbuat salah pada kita, karena memaafkan adalah pekerjaan yang mulia. Begitu kira-kira jawabku waktu itu pada Bunda dan Kak Fathir.
Aku masih mengurung diri dikamar ku, hanya untuk ke kamar mandi atau makan saja aku keluar dari kamar. Entah sampai kapan aku mengurung diri, aku sendiri masih belum memutuskan karena aku masih belum cukup mengumpulkan keberanianku. Aku tenggelamkan wajahku ke dalam bantal favorit ku. Bayangan peristiwa itu memenuhi pikiran dan lamunanku.
“Tok ... Tok ... Tok ...” suara ketukkan pintu memudarkan lamunanku. Aku angkat wajahku perlahan dan mencoba menghela nafas panjang.
“Siapa?” tanyaku tanpa merubah posisi ku.
“Bibi non ...” jawab seseorang dibalik pintu kamarku. Aku masih terdiam, mencoba menguasai diri.
“Ada apa bik?” tanyaku dengan masih merebahkan badanku di tempat tidur.
“Ada yang nyariin kamu tuh dek! Buruan keluar, ganteng loh! Nanti keburu pulang!” Kali ini yang jawab Kak Fathir. Jawaban Kak Fathir membuat aku bertanya-tanya, kalau yang datang Kak Dira sepertinya enggak mungkin karena Kak Dira menurut ku enggak ganteng. Tapi siapa? Kalau teman sekelasku sepertinya enggak mungkin karena dikelasku juga enggak ada yang ganteng. Apa aku dikerjain Kak Fathir ya?