Pagi ini aku merasa lebih baik dan trauma ku dengan peristiwa itu sudah berangsur-angsur menghilang. Tapi aku masih belum bersemangat untuk kembali ke sekolah. Ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantuiku. Semenjak Kak Hakim menyatakan perasaannya kepada ku, aku merasa ada yang beda di hari-hariku. Hampir setiap hari Kak Hakim ke rumahku, Kak Hakim menemaniku disaat aku merasa takut. Kak Hakim selalu memberikan energi keberanian kepada ku. Kak Hakim begitu baik dan tulus kepada ku, tapi ada rasa gelisah direlung hatiku. Aku tak tahu pasti apa penyebabnya, tapi hampir satu minggu ini aku tak berjumpa dengan Kak Dira dan itu membuat hatiku tak tenang. Kata Rahma, Kak Dira beberapa kali datang ke kelasku dan menanyakan aku pada Rahma. Tapi kenapa Kak Dira tak sekalipun menjenguk ku ke rumah? padahal Kak Dira tahu pasti rumah ku. Apa Kak Dira memang hanya menganggap ku adik? Tapi apa salahnya dia menjenguk ku sebagai kakak? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu memenuhi pikiran ku. Aku selalu memikirkanmu Kak Dira, walaupun disisiku selalu ada Kak Hakim namun hati dan pikiranku selalu padamu Kak. Memang Kak Hakim sudah menyatakan perasaannya tapi aku masih ragu menerima kehadirannya. Entah karena aku takut atau karena aku tak ingin kehilangan Kak Dira.
“Anak Bunda kenapa ini?” pertanyaan bunda menyadarkanku dari lamunan yang tak berujung.
“Enggak kenapa-kenapa Bun,” jawabku dengan sedikit gugup. Aku merubah posisi duduk ku, aku rapatkan duduk ku di samping Bunda. Aku peluk erat Bunda, seakan-akan aku ingin mentransfer semua kegelisahan ku pada Bunda.
“Kak Hakim ya?” Bunda mencoba menebak kegelisahan ku, aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Bunda mengusap-usap rambut ku dengan lembut dan aku semakin memeluk bunda.
“Lalu siapa?” Bunda masih mencoba mencari tahu. Namun aku masih ragu untuk memulai menceritakan kegelisahan ku. Aku masih terdiam dalam dekapan bunda.
“Yang antar kamu pulang waktu kamu dikeroyok ya? Sapa namanya?” Lagi-lagi Bunda mencoba menyelidiki. Dan kali ini aku menganggukkan kepalaku, aku lepaskan pelukanku pada bunda. Aku tatap wajah bunda.
“Kak Dira, Bun,” jawabku lirih.
“O ... Namanya Dira.” Bunda mencoba mengulang nama yang telah aku sebutkan.
“Kenapa dengan Dira?” lanjut Bunda. Mendengar pertanyaan Bunda, aku menarik nafas panjang. Mencoba mengumpulkan energi untuk memulai menceritakan kegelisahan ku.
“Kenapa Kak Dira enggak pernah jenguk aku ya Bun?” Aku mulai menceritakan apa yang membuat aku tak tenang.
“Sapa bilang dia enggak jenguk kamu. Dia beberapa kali jenguk kamu. Cuma sama Kak Fathir diminta untuk nanti aja jenguk kamunya. Karena Kak Fathir khawatir kalau adik Kak Fathir yang satu ini masih trauma dengan peristiwa pengeroyokan itu.” Mendengar penjelasan Bunda, jantung ku berdetak tanpa irama. Rasanya aku tak percaya, ternyata dugaanku pada kak Dira salah.
“Kemarin dia juga datang, Bunda udah ajak dia masuk. Tapi dia izin pulang aja waktu liat kamu sama Hakim di taman belakang. Bunda juga lupa sampaiin ke kamu,” lanjut Bunda, dan penjelasan bunda kali ini membuat aku sesak nafas. Ada rasa bersalah menyelimuti hatiku, tanpa sadar air mataku membasahi pipi.
“Maafin bunda ya Tam, bunda benar-benar lupa cerita ke kamu.” Bunda merasa bersalah dengan ku, mungkin karena bunda melihat aku menangis. Maafin aku kak Dira, hanya itu yang terlintas dalam benakku.