DIRA (Janji Yang Tak Terucap)

Sartika Chaidir
Chapter #5

PERSETERUAN

Pagi ini sangat cerah, matahari bersinar dengan gagahnya. Membuat kamarku begitu terang dan hangat. Namun suasana pagi ini bertolak belakang dengan suasana hati ku. Hatiku belum bisa tenang sebelum aku berjumpa dengan Kak Dira dan menjelaskan semuanya. Ingin rasanya aku segera sampai disekolah, namun aku harus sabar menunggu Kak Fathir. Bunda tidak mengizinkan aku berangkat sekolah sendiri, jadi aku akan selalu diantar Kak Fathir. 

Selama di perjalanan aku hanya terdiam, pikiranku terus tertuju pada Kak Dira. Aku tak ingin kesalahpahaman ini berlarut-larut. Tapi bagaimana dengan Kak Hakim? Apakah dia bisa menerima keputusan ku? Maafin aku Kak Hakim, mungkin ini yang terbaik untuk kita. Aku tersadar dari lamunan ketika Kak Fathir menepuk bahuku. 

“Udah sampai Tam,” kata Kak Fathir mengingatkan ku. 

“Masuk gih! Kabarin Kak Fathir kalau kamu udah mau pulang!” lanjut Kak Fathir dengan senyum yang membuat ku tenang. Aku hanya menjawab dengan anggukan, namun aku tak bergegas turun dari mobil Kak Fathir. Aku masih mematung, ada keraguan yang tiba-tiba menyelinap dihatiku. Dan semua itu terbaca oleh Kak Fathir. Dengan penuh kelembutan Kak Fathir mengusap-usap kepala ku. 

“Kamu pasti bisa Tam!” Kak Fathir berusaha memberikan semangat kepada ku. Aku tatap kakakku dengan tatapan sendu dan lagi-lagi kak Fathir berusaha memberikan kekuatan kepadaku. 

“Kakak yakin kamu bisa menyelesaikan masalah ini.” Dan kata-kata Kak Fathir kali ini membuat hatiku lebih tenang. Aku mengangguk dengan mantap dan meraih tangan Kak Fathir serta ku cium tangannya, tanda aku menghormati kakakku. Dengan mantap aku keluar dari mobil Kak Fathir dan sebelum aku meninggalkan Kak Fathir, aku sunggingkan senyum terbaikku sebagai tanda aku tak lagi ragu. Kak Fathir membalas senyumanku dengan senyuman dan acungan dua jempol. 

Sebelum aku melangkah masuk, aku mencoba menenangkan hati ku. Aku tarik nafas dalam-dalam dan sesaat memejamkan mataku. Ketika hatiku sudah benar-benar yakin, dengan langkah pasti aku melangkah masuk ke dalam gedung sekolah. 

Beribu mata semua menatap ku dengan tatapan menghakimi dan bisik-bisik yang tak jelas namun sangat mengganggu ku itu sempat mampir ditelingaku. Aku berusaha mengabaikan mereka, saat ini aku hanya ingin berjumpa dengan Kak Dira. 

Selintas aku melihat sosok Kak Dira, dia berjalan menuju lapangan basket yang terletak di belakang ruang OSIS. Langkahnya sangat cepat dan terlihat dari raut wajahnya tampak kemarahan sedang membelenggunya. Aku bergegas mengikutinya, ada rasa penasaran menyelimuti hatiku. Ada apa dengan Kak Dira dan bila keadaan memungkinkan aku akan menjelaskan semuanya, pikir ku.

Seketika langkahku terhenti ketika aku melihat sosok Kak Hakim telah berada dipinggir lapangan. Kak Dira terus melangkah mendekati Kak Hakim. Dan aku mencoba mencari tempat terdekat dari tempat mereka berjumpa. Rasa ingin tahuku membuat aku mencuri dengar percakapan mereka. Dalam hati, aku berdoa semoga mereka kali ini tak lagi berkelahi. 

“Apa yang mau lu omongin?” Kak Dira memulai percakapan dengan nada ketus. Kak Hakim yang sejak tadi sudah menunggu Kak Dira seketika mendekati Kak Dira. Jantung ku berdegup sangat kencang. Perasaan takut menyelimuti hatiku. 

“Kali ini gue cuma mau ingetin! Jangan pernah lu rebut Tama dari gue! Jangan jadiin Tama bahan eksperimen cinta lu kaya Kaila! Kali ini gue enggak akan diam aja kaya dulu! Gue enggak akan pernah lepasin Tama, paham!” Kata-kata Kak Hakim yang sangat lantang itu terdengar jelas ditelingaku dan membuat aku semakin bingung. Siapa Kaila? Apa maksud Kak Hakim berkata bahwa aku bahan eksperimen cinta Kak Dira? Pertanyaan itu muncul seketika di kepala ku. Namun aku tetap berusaha fokus mendengarkan percakapan mereka. 

“Apa maksud lu? Kaila bukan bahan eksperimen cinta gue! Berkali-kali gue jelasin. Gue enggak pernah rebut Kaila dari lu! Gue sama Kaila cuma temenan. Kaila cuma cinta sama lu Kim!" Kali ini Kak Dira berkata dengan nada sedikit lunak. Mendengar penjelasan Kak Dira, sekarang aku tahu kalau hubungan mereka memang sudah tak harmonis sebelum kehadiran aku. Ada sedikit rasa tenang dihatiku, namun rasa sakit tiba-tiba menyelinap dihatiku. Entah apa penyebabnya? Apa rasa cemburu sedang hinggap dihatiku? Nama Kaila terus memenuhi kepalaku. 

“Bohong!” teriak Kak Hakim yang membuat aku tersadar dari pertanyaan tentang Kaila. 

“Denger Kim! Terserah lu mau percaya atau enggak. Tapi kali ini gue harus kasih tau yang sebenarnya sama lu.” Kak Dira menjeda penjelasannya. Sedangkan Kak Hakim terduduk dengan menutupi wajahnya menggunakan kedua tangannya. Kak Dira pun duduk di samping Kak Hakim. 

“Saat itu Kaila sedang terpuruk Kim. Dia divonis sakit kanker otak dan dia bingung harus cerita ke siapa.” Lagi-lagi Kak Dira menjeda kata-katanya dan Kak Hakim masih tetap terdiam. 

Lihat selengkapnya