Dirga With Alana

Intan Rahayu Agustin
Chapter #1

Chapter 1

Anak-anak berkemeja putih dengan celana dan rok kotak-kotak yang didominasi warna biru terlihat berkerumun, mengelilingi lapangan yang biasa mereka gunakan untuk bermain basket. Bukan, bukan karena saat itu mereka tengah menonton pertandingan basket, melainkan mereka tengah menonton dua orang yang kini saling melayangkan pukulan satu sama lain. Salah satunya jatuh tersungkur, namun itu seperti dirasa tidak cukup bagi lawannya yang kini kembali menarik kerah bajunya dengan brutal dan kembali melayangkan pukulannya.

“DIRGA!”

“DIRGA!”

“DIRGA!”

Teriakan orang-orang itu hanya mengelu-elukan satu nama, Dirga. Siswa laki-laki yang masih nampak asik melayangkan pukulan-pukulan itu bahkan hingga lawannya kini sudah tidak sadarkan diri.

“BERHENTI! BERHENTI!” teriakan seorang guru laki-laki berperawakan tinggi dan sedikit berisi memecah keramaian, membuat anak laki-laki bernama Dirga itu menghentikan tangannya yang tengah melayang dan hendak memukul wajah lawannya.

Pruitttttttttttt

Suara peluit yang menggantung dileher sang guru terdengar membuat Dirga kini seutuhnya berhenti dari aktifitasnya.

“BUBAR KALIAN SEMUA!!” Teriakan murka itu kembali terdengar dari si guru laki-laki itu membuat semua murid yang berkumpul disana meninggalkan lapangan dan masuk ke kelas mereka masing-masing. Tidak semuanya, karena ada tiga orang lainnya yang kini malah berjalan mendekati Dirga dan berdiri disamping kiri dan kanannya. Iya, mereka sahabat sejati Dirga.

“DIRGA MAHARDIKA! KAMU LAGI KAMU LAGI!”

“KALIAN BERTIGA URUS DIA, KAMU IKUT SAYA!” Guru laki-laki itu menunjuk tiga orang teman Dirga untuk mengurus lawan Dirga yang sudah tak sadarkan diri sementara Dirga kini terpaksa harus mengikutinya keruang guru.

“Yah, males gue” keluhnya, ketiga temannya malah terkekeh

“DIRGA!” teriakan itu kembali terdengar membuat Dirga menghela nafas

“Iya pak, ya ampunn gasabaran banget” katanya dibuat-buat, kemudian mau tak mau dia mulai mengikuti gurunya.

Dirga Mahardika, 17 tahun, tampan, pintar, tapi sayangnya dia biang onar disekolahnya. Tidak ada yang dia takuti karena menurutnya apapun yang dilakukannya tidak akan berpengaruh pada hidupnya. Ayahnya yang kaya raya akan mengurus semuanya, bahkan saat dia tertangkap polisi karena tawuran dalan kurun waktu satu jam dia sudah bisa kembali kerumahnya dengan mudah.

Untuk urusan kenakalan dan merusuh disekolahnya tentu saja dia tidak sendiri, ada tiga sahabatnya yang selalu menemaninya. Devan Mahendra, Aldo Danuar, dan Kevin Surendra. Mereka bertiga sudah bersahabat dengan Dirga sejak kecil. Kebetulan ayah Devan adalah dokter senior dirumah sakit milik ayah Dirga, sementara Aldo adalah putra seorang pengacara di firma hukum yang juga ada dibawah grup perusahaan milik ayah Dirga, begitupun dengan Kevin yang merupakan seorang Direktur terpercaya diperusahaan milik ayah Dirga. Jadi keempatnya kenal saat orangtua mereka sering bertemu untuk urusan bisnis.

Ayah Dirga memang sudah kaya sejak kecil, iya kekayaan yang didapat secara turun temurun. Dan ini, SMA Cendrawasih, sekolah tempat Dirga -seharusnya- menuntut ilmu juga merupakan milik keluarganya, itu sebabnya dia senang berprilaku semena-mena pada siapapun yang dianggapnya menghalangi hidupnya, atau sekedar mengusik hidupnya. Contohnya seperti anak yang tadi menjadi korban kebrutalannya, Diki.

“Sekarang apa lagi Dirga?!” gurunya kembali menghentakkan penggaris besar yang dipegangnya membuat pria itu mendengus pelan

“Ini baru hari pertama dan kamu malah bikin masalah hah?!” pria itu kembali menggebrak meja, bahkan papan nama bertuliskan ‘Pa Ahmad’ yang ada dimejanya ikut bergerak karena terlalu keras pria itu menggebrak meja, tapi Dirga, pria itu malah terlihat terkekeh

“Bapak pagi-pagi udah marah-marah ih! Tar darah tinggi, mati, saya bisa kangen omelan bapak” katanya santai, menyinggung kematian seolah bukan masalah besar.

“KAMU NYUMPAHIN SAYA MATI?!” pria itu kembali menaikan nada bicaranya, tapi Dirga malah mendengus

“Bapak gahaus pagi-pagi gini udah teriak-teriak?”

“Kalo gahaus, saya haus pa. Saya kan udah olahraga pagi tadi” katanya santai

“DIRGA! Saya ini bukan lagi bercanda ya!” katanya, entah bagaimana lagi caranya untuk menghadapi murid perusuh dihadapannya ini

“Sekarang jelaskan, kenapa kamu mukul, siapa itu tadi?” tanyanya saat dia bahkan tidak tau siapa yang menjadi korban murid dihadapannya

“Diki” sahutnya santai

“Iya, kenapa kamu mukul dia?” tanya Pa Ahmad, Dirga menghela nafasnya

“Jadi gini pa, tadi itu saya kan kesiangan. Terus saya mau parkir motor, eh ditempat parkir motornya udah ada motor, mana motornya butut banget lagi pa, kalo bagus mungkin saya terima, tapi ini butut banget pa, aduhhh emosi saya langsung naik. Saya tanya sama anak-anak, katanya itu motor dia, saya suruh pindahin eh dianya gamau, yaudah saya ajak olahraga biar dia mau mindahin motornya, tapi sekarang dia belum mindahin motornya eh dianya malah udah terkapar, terus motor saya parkir dimana dong pa?!” katanya panjang lebar, Pa Ahmad sampai menganga mendengar cerita omong kosong muridnya, begitupun dengan beberapa guru yang juga ada disana dan mendengarkan cerita Dirga mereka hanya bisa menghela nafas dan menggelengkan kepalanya, entah bagaimana lagi. Apa benar dia menghajar temannya hanya karena area parkir? Pria itu sudah kehabisan kata-kata, benar-benar tidak mengerti harus bagaimana cara memberitahu anak muridnya itu.

“Dirga! Jadi kamu-”

Tok tok tok

Suara ketukan pintu diruangan itu menghentikan ucapan pa Ahmad, membuat dia otomatis berteriak menyuruh orang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Tak lama seorang siswi perempuan terlihat menampakkan kepalanya membuat Pa Ahmad mengernyit, begitupun dengan Dirga yang kini menatap anak perempuan yang berdiri diambang pintu.

Seragam kemeja putih, dasi berwarna biru seperti membentuk pita hadiah, dengan rok bermotif dan warna yang didominasi warna biru persis seperti yang dipakai Dirga dan murid lainnya, rambutnya yang sedikit melebihi pundaknya berwarna kecoklatan dengan poni yang hampir menyentuh matanya, kulit putih pucat, dengan wajahnya yang berbentuk telur, mata yang indah, hidung yang kecil meski tidak terlalu mancung, dan bibirnya yang mungil berwarna merah muda pucat. Melihatnya sekilas saja langsung membuat Dirga termenung menatap gadis itu yang kini menatapnya. Pria itu tersenyum, bukan senyum bersahabat melainkan seringaian dengan maksud yang entah apa.

“Siapa kamu?” tanya pa Ahmad memecah keheningan, gadis itu mengedipkan matanya dengan lugu, membuat Dirga kembali tertegun melihatnya.

“Saya Alana, pak. Saya murid pindahan” katanya dengan suara pelan, Dirga menganggukan kepalanya sembari mengingat nama gadis itu ‘Alana’ dia akan menyimpannya dalam otaknya

“Oh Alana? Kamu pindahan dari SMA Trisakti ya?” seorang guru perempuan yang Dirga tahu bernama Nani, menghampiri gadis itu kemudian mengajaknya untuk ke arah mejanya. Dirga masih mengikuti kemana gadis itu berjalan pergi mengabaikan pa Ahmad yang kini kembali mengoceh.

“Dirga! Kamu dengar tidak saya-”

“Pa, itu anak barunya gabisa dimasukin ke kelas saya aja?” tanyanya pada pa Ahmad, pria tua itu kini menatap Alana yang masih berbicara dengan rekan gurunya.

“Kenapa harus ke kelas kamu?” tanya pa Ahmad membuat muridnya itu berdecak

“Itu cantik gitu pa, kalo masuk kelas lain nanti saya keduluan sama orang!” katanya membuat pa Ahmad mengangguk-anggukan kepalanya, detik berikutnya dia menggeleng

“Heh! Kamu itu sedang saya marahi, jangan mengalihkan pembicaraan!” katanya membuat Dirga memutar mata malas. Dia tidak sepenuhnya mendengarkan ucapan pa Ahmad yang masih sibuk mengoceh, kini pandangannya tertuju pada Alana si anak baru, yang tengah ditanya beberapa hal oleh bu Nani.

“Kalo dalam hitungan kelima dia ngelirik, dia harus jadi pacar gue” gumam Dirga, entah mendapat kepercayaan diri dari mana. Tapi dia kini mulai menghitung dengan pelan.

“Satu”

“Dua”

“Tiga”

“Em-”

Belum selesai dengan hitungan keempat, bibirnya kini tersenyum dengan mengembang, gadis itu menatapnya meski dengan ragu menatap kearah Dirga. Entah apa yang ada difikirannya sekarang, mungkin berfikir apa yang dilakukan pria itu hingga mendapat ceramah panjang lebar dari guru didepannya. Tidak lama, karena gadis itu malah merasa aneh dengan tatapan Dirga.

“Dirga! Diam disini, saya angkat telpon dulu!” suara pa Ahmad membuat Dirga hanya menganggukan kepalanya, diam-diam dia berjalan mendekat kearah Alana yang ditinggalkan bu Nani, mungkin untuk mengurus datanya, entahlah dia tidak peduli. Yang dia pedulikan sekarang adalah Alana si anak baru harus menjadi kekasihnya.

Tuk tuk

Dirga mengetuk meja dimana Alana duduk dikursi dihadapannya, entah bagaimana tapi pria itu kini sudah berdiri disampingnya memandangnya dengan senyum lebar membuat Alana lagi-lagi hanya bisa menatapnya datar.

“Hai” sapanya dengan senyum yang dia yakini, semua siswi disekolah ini akan menjerit saat melihatnya. Namun Alana malah memandangnya datar.

“Gue anak-” pria itu menggelengkan kepalanya saat dia hendak menyombongkan dirinya sebagai anak pemilik sekolah.

“Gue Dirga, XI IPS-3, kalo ada masalah atau butuh apa-apa tinggal bilang sama gue” katanya, tak ada ekspresi apapun selain datar yang ditunjukan gadis itu.

Tak lama gadis itu membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari sana kemudian menyerahkannya pada Dirga membuat pria itu mengernyit. Sebuah plester obat.

“Pelipis kanan lo berdarah” katanya datar, tidak sadar efek yang diberikan setelah mengatakan itu pada Dirga, membuat pria itu melebarkan senyumnya.

“Dirga? Kenapa disini?” tanya bu Nani yang baru saja kembali membuat pria itu hanya menunjukan senyum lebarnya.

“Alana, ayo ibu antar ke kelas” katanya membuat gadis itu mengangguk dan mulai mengikuti guru barunya. Meninggalkan Dirga yang masih tersenyum lebar. Samar-samar Dirga mendengar bu Nani kembali berujar “Alana, kalau disini rambut gaboleh diwarnain. Kamu harus cat lagi rambut kamu jadi hitam” dan Dirga melihat gadis itu hanya mengangguk, padahal menurut Dirga gadis itu nampak cantik dengan rambut kecoklatannya. Kemudian dia hanya bisa menatap punggung gadis itu yang hampir sampai diambang pintu, dia kembali tersenyum miring dan bergumam pelan “Alana”

*****

XI IPA-2 SMA Cendrawasih mendadak gempar dan banyak didatangi oleh murid laki-laki dari kelas lain. Bukan, bukan karena Dirga kembali membuat keributan disana, tapi karena adanya seorang murid pindahan yang diyakini cantik. Jika tidak disuruh bubar oleh guru yang tengah mengajar disana mungkin tempat itu masih akan penuh, beberapa murid laki-laki sengaja keluar kelas dengan alasan ingin ketoilet padahal ingin melewati kelas itu hanya untuk melihat apakah anak baru dikelas itu benar-benar cantik atau tidak. Dan akhirnya mereka akan kembali kekelas dengan melebarkan senyumnya karena anak baru yang mereka lihat memang sangat cantik.

Bel istirahat pertama berbunyi, membuat semua anak berhamburan keluar kelas, kali ini bukan untuk memenuhi kelas XI IPA-2 melainkan berlarian untuk memenuhi tiga kantin yang ada disekolah ini. Sebenarnya ada empat kantin, tapi satu kantin itu dikhususkan untuk guru, dan murid memiliki tiga kantin yang bisa mereka datangi.

“Alana, ayo ke kantin” Safira Serafina, teman sebangkunya mengajak gadis itu membuat Alana tersenyum dan mengangguk.

“Fira, lo ikut ekskul apa?” tanya gadis itu membuat Safira tersenyum

“Sanggar, disana kita diajarin banyak hal. Ya kaya sanggar seni. Ada akting, nyanyi, nari, musik juga. Lo mau gabung?” Alana terdiam, dia juga begitu mencintai musik, menyanyi dan tari.

“Emang bisa? Gue kan anak baru, kelas dua lagi” gadis disampingnya tersenyum

“Bisa ko, tenang aja. Lo udah kelas tiga juga bisa, cuman kalo udah kelas tiga gaakan lama. Karena lo masih kelas dua ya lumayan ada satu setengah tahunlah” katanya membuat gadis itu tersenyum dan mengangguk

“Kalo gitu, nanti pulang sekolah ikut gue ketempat sanggar, oke?” Alana tersenyum dan mengangguk kemudian keduanya berjalan menuju kantin, tanpa mereka sadari kini ada beberapa anak laki-laki berjalan mengikuti mereka.

Sesampainya di kantin, mereka mengedarkan pandangannya. Tempat itu sudah sangat penuh, nyaris tidak ada meja tersisa. Hanya satu meja yang kemudian diisi oleh orang lain membuat Safira mendengus.

“Kita pesen dulu ajalah, kalo gadapet kursi kita makan ditaman gimana?” Alana hanya tersenyum dan mengangguk membuat Safira terkekeh

“Lo lucu banget sih, ngangguk ngangguk terus. Nurut banget” kata Safira tertawa, Alana ikut tertawa

“Ya terus? Kan emang tempatnya penuh, masa kita harus ngusir orang?” katanya kemudian memesan minuman mereka, ucapannya membuat Safira terkekeh, mendengar kata ‘Mengusir’ hal itu bisa saja dilakukan oleh-

“MINGGIR! Ini meja gue!” Safira menggeleng, benar kata ‘Mengusir’ bisa saja dilakukan oleh pria itu, Dirga. Yang kini tengah tersenyum lebar dan melambaikan tangan padanya membuat dia memutar matanya

“Bu, Milo kita udah belum?” tanyanya pada penjual minuman dingin disana

“Ini neng udah ko” katanya kemudian menyerahkan kantong kresek putih itu pada Safira.

“Ini uangnya” Safira bergegas menarik tangan Alana

“Kita beli makannya di kantin lain Al, disini kurang enak” Alana yang belum sempat menjawab hanya mengikuti langkah Safira dan hendak pergi dari sana, tapi langkahnya terhenti saat Alana menghentikan langkahnya.

“Al, ay-o” Safira menghembuskan nafas berat saat melihat Dirga kini menahan tangan Alana yang lain.

“Mau kemana sih Fir? Makan di meja gue yuk, kosong ko” katanya membuat Alana menatap Safira seolah meminta persetujuan, gadis itu menggeleng pada Alana tapi tangan Dirga lebih cepat, dia melepaskan cengkraman Safira ditangan Alana, kemudian menggenggam tangan Alana dan membawanya kemejanya meninggalkan Safira yang kini menghembuskan nafasnya.

Hal itu sontak menjadi perhatian semua orang yang ada disana, ada yang menatap tidak percaya sekaligus iri, ini kali pertama Dirga mau mengajak seorang gadis untuk duduk semeja dengannya dan teman-temannya dikantin. Safira juga pernah, beberapa kali, tapi itu terasa wajar karena gadis itu adalah saudara sepupunya.

“Duduk disini” kata Dirga mempersilahkan Alana dengan lembut, teman-temannya saling beradu tatap tidak mengerti, dan juga siapa gadis itu?

“Fir, dia anak baru itu ya?” tanya Kevin pada Safira yang juga terpaksa mengikuti Dirga dan Alana. Gadis itu mengangguk pasrah.

“Terus kenapa tadi mau pergi? Kan Alana belum makan” kata Dirga, Safira memutar mata malas. Satu-satunya alasan gadis itu hendak membawa Alana pergi jelas untuk menyelamatkannya dari Dirga.

Setelah mendengar cerita Alana tentang pertemuannya dengan Dirga di ruang guru, gadis itu merasa perlu menyelamatkan Alana dari Dirga. Dia melihat Alana terlalu lugu dan polos, dia tidak ingin gadis lugu itu terjebak dengan Dirga. Jika Dirga mengajak seseorang bicara lebih dulu alasannya hanya dua, pertama dia membuat masalah pada Dirga atau kedua Dirga yang ingin membuat masalah dengan orang itu. Dan Safira tidak menginginkan keduanya terjadi.

“Mau pesen apa?” tanya Dirga pada Alana, teman-temannya juga Safira melihat pria itu dengan tatapan heran. Itu nada rendah Dirga, nada normal yang sangat amat jarang dikeluarkan pria itu.

“Fir, lo mau pesen apa?” pertanyaan Alana membuat Safira menatap teman barunya itu

“Siomay, gue mau siomay” katanya asal menyebut, tapi itu membuat Alana mengangguk

“Gue juga kalo gitu” Dirga tersenyum lebar melihat gadis itu yang mengangguk polos dihadapannya.

“Kita pesennya dimana?” tanyanya lagi pada Fira, Safira menunjuk satu stand pedagang Siomay.

“Ayo” gadis itu berdiri namun Dirga menahannya.

“Biar Aldo aja yang pesennya” katanya membuat temannya yang merasa namanya disebut hampir tersedak es teh yang tengah diminumnya.

“Do, pesenin siomay nya tiga. Gue juga mendadak pengen siomay” katanya kemudian duduk disamping Alana, Safira benar-benar memutar otaknya melihat kelakuan sepupunya yang sangat tidak biasa ini. ‘Ada angin apa si Dirga baik gini?’ Itu adalah satu-satunya kalimat yang terus berputar diotaknya sekarang. Aldo mendengus, tapi kemudian pria itu pergi untuk memesan siomay sesuai perintah Dirga.

“Nama lo siapa? Gue Devan” Devan mengulurkan tangannya membuat Alana menatap pria itu.

Plak

“Aw!” Devan mengelus tangannya yang dipukul cukup keras oleh Dirga, pria itu melotot pada sahabatnya yang kini menatapnya bingung, apa salahnya? Bukankah dia hanya ingin mengajak teman barunya berkenalan?

Lihat selengkapnya