Dirgalara

Chris Aridita
Chapter #1

1

Menghadapi kematian dengan santai. Duduk di atas motor CBR tahun 1970 modifikasi Deus Ex Machina, Dirga yang dengan cueknya menyulut rokok Malboro Light. Jaket Army hijau belel melekat pada badan tegap, di depan Jalan Serma gang 12, dipandangnya aspal hitam yang sepi itu sambil menghisap nikmat batang putih yang sarat akan tembakau. Tak lama kemudian smartphone berdering, dengan santai Dirga mengambilnya dari kantong celana seragam putih abu-abunya.

"Yo."

"Bro, aku Willy sama Tommy udah deket gudang ni, aku lihat ada sembilan orang, aku eksekusi sekarang. Tolong jagain kalo ada orang luar yang masuk."

"Santai Tan, aku di sini cuma berdelapan, nggak tau nanti anak-anak ikut juga kayaknya. Aku kenal kok sama orang luarnya, paling anak-anak SMA sebelah."

"Uda siap, kalau mereka melanggar perjanjian?"

"Beres, tapi kita usahain diplomasi dulu, sebisa mungkin sih tangan kosong."

"Good."

"Have fun, Ethan!" Kemudian telepon pun ditutup.

"Qe1 kok bisa sih santai banget Dir?" kata Wigun yang duduk di trotoar di samping Sudi.

"Santai aja lah! Kenapa? Mati-matilah."

"Jingg! Nggak mau aku tawuran gini," kata Sudi yang sudah agak gugup.

"Santai Sud, kakak kelas yang udah nge-bully itu emang pantes kita giniin. Qe nggak kasian sama anak kelas sepuluh kemarin yang dibuang bajunya? Qe nggak kasian sama temen-temen kita yang pernah dipalak?"

"Tapi kenapa mereka nggak dateng ya?"

"Nyantai aja ... ntar juga dateng, Aku uda panggil backup kok!" 

Tak lama kemudian suara motor datang dari jalan sebelah, suaranya meraung-raung tidak keruan. Anak-anak SMA lain datang. Lalu Dirga mematikan rokoknya dan menyimpan sampah rokok itu di saku jaketnya karena di sekitar sana tidak ada tong sampah. Dirga berjalan pelan ke tengah jalan mencegat rombongan itu. Gayanya santai, dan kedua tangannya masuk kantong, ditatapnya kira-kira 40 orang yang siap berperang dengan tatapan menantang.

"Minggir qe! Bangsat!"

"Turun dulu bro, kita bicara," kata Dirga santai seolah ia bisa menghadapi sendiri kerumunan itu.

Seorang berbadan hitam tinggi besar pemimpin gerombolan yang bernama Dwitarna, turun dari motor dan menghampiri Dirga. "Minggir Dir! Qe ngapain ikut gabung sama anak-anak ini?"

"Karena mereka benar bro! Qe ngapain belain pem-bully? Hari gini masih mengagung-agungkan senioritas." Dirga mengambil Malboro Light lalu menyodorkannya ke Dwitarna, "Biar santai ..." kata Dirga pelan.

Dwitarna mengambil satu batang rokok itu, lalu dirga menyulut api dari koreknya dan menghidupkan rokok Dwitarna. "Yossie itu temenku Dir! Sekarang dia ada masalah. Aku nggak bisa lah biarin dia."

"Ini masalah intern sekolah bro. Qe dari sekolah luar sebaiknya nggak ikut campur. Sebisa mungkin biarin lah kami selesaikan sendiri. Qe pulang aja bro, kasian juga temen-temen. Percaya sama aku bro, tolong, ini masalah intern."

"Dari SMP qe benernya baik Dir, oke lah ... aku nanti jelasin ke Yossie." Setelah Dwitarna berbicara ia langsung naik ke motornya dan menyuruh gengnya pulang. Namun, suara motor yang bersahut-sahutan kembali datang. Mereka adalah Geng Yossie anak XII yang datang sebagai bentuk solidaritas dalam menekan adik-adik kelas yang sudah mulai keterlaluan.

"Dwi! Ke mana qe?" kata Dipa.

"Balik bro, ini urusan kalian."

"Kleng!2 ngapain qe dengerin Dirga Brekele tu?"

"Ais, cicing!3 Kami balik," kata Dwitarna. Kemudian Dwitarna dan gengnya langsung mengambil motor dan pergi dari jalan itu.

Lihat selengkapnya