"Apa ini!?" Gumam pak Dedi saat membanting koran di meja makan.
"Kenapa sih Ayah? Pagi-pagi gini sudah marah-marah?" Sahut bunda tenang sambil mengoles mentega pada roti.
"Di sekolah Clara kemarin ada kasus tawuran! Beberapa orang nggak lulus ujian nasional. Sekarang ada anak cewek yang meninggal gara-gara kecelakaan di Legian. Ngapain anak gadis pergi ke daerah dugem gitu?" Ayah menyeruput kopinya untuk menenangkan dirinya. "Ayah jadi khawatir sama Clara, dia itu ngeyel terus nggak mau masuk Negri. Sebenarnya bisa pakai jalur Rapor, tapi kenapa dia milih jalur tes? Aneh sekali anak itu."
"Ayah..." Kata bunda lembut. "Sekolah itu bukan cuma sekedar belajar. Sekolah juga masalah attitude. Mereka yang tidak di luluskan itu kan para pembuli, dan bukan dari nilai ujian nasionalnya dewan guru menilai. Sekalipun nilainya bagus tapi kelakuan tidak baik mereka juga mempertimbangkan. Seharusnya sekolah seperti itu, bukan cuma belajar. Di sekolah unggulan juga nggak menjamin kok nggak ada murid bandelnya."
"Aduh Bunda." Sahut Ayah "Sekarang ini yang paling penting itu hasil, Nilai, hitam di atas putih! Mau attitude kayak sampah kek, tetap saja nilai yang dilihat. Prestige!"
Bunda hanya menggeleng. "Ya sudah, sarapan dulu."
"Pagi Ayah, pagi Bunda" Kata Clara turun dari tangga.
"Eh, Clara sayang... Sini nak sarapan dulu." Kata bunda lembut.
Hari ini Clara naik kelas menjadi kelas XI, dengan semangat ia dan mencoba tersenyum menuju meja makan. Baju sekolah putih-putih yang dikenakannya sudah tersetrika sangat rapi dan licin. Panjang roknya 10cm dibawah lutut dan baju yang oversize satu ukuran. Kacamata tebal minus tiga sudah tersemat di matanya yang indah.
Clara adalah gadis yang cantik. Kulitnya putih, matanya bulat, alis cukup tebal, dengan bibir bervolume. Tubuh kurus dan berbadan cukup tinggi. Sayangnya penampilannya yang sangat-sangat teladan, sangat jauh dari kata modis, rok naik hampir seperut, rambut kucir kuda dengan poni menutupi jidatnya.
Pak Kadek Dedi Yudistira, Ayah Clara adalah seorang pengacara hebat, di ruang makan yang besar itu Ayah sedang asik baca koran sambil menyeruput kopinya. Sedangkan Bunda Ibu Clara sedang sibuk mengaduk-aduk susu untuk Clara.
"Bacon nak?" Tawar Bunda.
"Boleh Bun, sama telurnya juga..."
Bunda hanya tersenyum, menumpuk Roti panggang dengan Bacon lalu telur dadar dan memotongnya menjadi empat, kemudian menyerahkan kepada Clara.
"Clara." Kata Ayah sambil membalik korannya.
"Iya Ayah." Sahut Clara takut-takut. Clara selalu mematuhi apa yang Ayahnya perintahkan sekalipun itu melawan hati nuraninya. Dari kecil Ayahnya selalu keras kepada semua anaknya, ia sangat percaya pendidikan adalah segalanya dan itu setingkat dibawah keagungan Tuhan.
"Kamu itu! Kenapa masih mau maksa sekolah di sekolahan itu! Ayah nggak percaya kamu gagal tes di SMA Negri. Kamu itu calon dokter! Kakak Kamu sudah lolos masuk pertambangan sama fispol di UI, Tolong Clara jangan bikin malu Ayah! Ini temanmu yang meninggal satu angkatan kan sama kamu?"
"Ellena ayah, Clara nggak begitu kenal. Adiknya kapten Basket sekolah, Willy." Kata Clara canggung. Ia memang jauh dari pergaulan teman-temannya. Meskipun juara umum, ia hanya siswa introvert yang memilih lebih fokus pada pelajaran karena tekanan dari Ayahnya.
"Yah, udalah... Percaya sama Clara, dia nggak akan gaul sama yang begituan. Jangan pagi-pagi dinasehatin yang nggak penting. Nggak apa Clara sekolah di sana sekarang. Kemarin kan dia juara umum. Bangga dong sekali-sekali sama Clara. Sekolah Clara sekarang itu bagus kok." Kata Bunda halus.
"Sebelum Kamu masuk Kedokteran Ayah belum bangga sama kamu! Apa Artinya juara umum di sekolah kayak gitu. Inget itu Clara, kamu belajar yang rajin! Kalau perlu Ayah Lesin lagi, Kenaikan kelas dua belas kamu harus masuk negri!" Kata Ayah sambil menyeruput kopinya.
"Iya Ayah, Clara akan Usaha." Sahut Clara pasrah.
"Ayah itu nggak suka sekolah itu, kemarin tawuran, ini lagi beritanya ada anak yang meninggal kecelakaan di Legian. Ngapain coba anak putri malem-malem ke tempat begituan. Hati-hati Clara pergaulan dengan orang-orang itu, bikin masa depan kamu runyam!"
"Iya Ayah..." Clara hanya memandang Bunda yang tersenyum cantik memandangnya. Pandangan itu sangat menenangkan. Hanya itu saja yang bisa Clara andalkan sebagai penghiburan di pagi yang keseringan suram.
***
"Claraaaa!!! Astaga!" Karina langsung berhambur memeluk Clara dengan semangat di lorong kelas. "Aduuuhhh... Aku kira qe pindah Ra! Aku bakal kehilangan qe!"
"Nggak lah Karina... Aku nggak mau masuk negri kemarin aku asal-asalin jawabnya biar gagal." Clara tersenyum kecut.
"Trus, gimana?" Karina memandang Clara getir "Pasti dimarah sama Ayahmu lagi ya?"
Clara hanya membalasnya dengan anggukan pelan. "Uda biasa, aku nggak ngerti kenapa mereka maksa banget ya? Aku seneng di sini."
"Iya kan ada aku Ra, Eh liat anak-anak MOS yuk!"