Beverly Hills
Los Angeles, California- USA
07.00 AM
Sesuai dengan apa yang telah di prediksi oleh dokter pribadiku berdasarkan dari pemeriksaan rutin yang dilakukan setiap bulannya, bahwa besarnya pengaruh obat-obatan yang masuk kedalam tubuh menjadi faktor penentu atas kondisi bayi dalam kandungan. Nyatanya tidak membuatku setuju atas sarannya untuk menggugurkan saja bayi yang tak berdosa dan justru lebih memilih untuk tetap mempertahankannya.
Aku tau bahwa setiap yang bernyawa memang pastinya akan mati. Tetapi, bagaimana jika harus dipaksa untuk mati? Ya, sudah pasti siapapun tidak akan ada yang bersedia untuk melakukan hal itu. Bahkan, itu menjadi hal yang paling mengerikan untuk siapapun yang sudah pernah mencecapi pahit dan manisnya kehidupan. Lalu, bagaimana dengan nasib bayi tidak berdosa yang sudah terlanjur bernyawa jika harus terpaksa digugurkan hanya karena suatu keadaan?
Ya, rasanya akan sangat tidak adil.
Tetapi jangan khawatir, semua adil dan tidaknya adalah atas kendaliku. Sehingga dengan lapang dada dan untuk satu kali ini saja, aku berbaik hati mau mempertahankan bayi yang tidak berdosa sebagai penebus dari segala dosa. Impas bukan? Lagi pula bukan sesuatu yang harus disesali juga, kalau nantinya satu nyawa penuh dosa harus tergantikan dengan satu nyawa tanpa dosa.
Malam ini suasana kota London sangatlah sunyi dan sepi karena datangnya badai salju yang tidak terduga meskipun tidaklah besar, tetapi sepertinya cukup untuk membuat semua orang sibuk berpikir untuk mengantisipasi dampak yang terjadi. Sama seperti situasi yang harus aku hadapi, tanpa diduga-duga malam ini aku justru dipaksa harus menanggung risiko atas pilihan yang telah aku buat 6 bulan yang lalu.
Jika biasanya seorang bayi akan menangis dengan sangat keras dan terdengar memilukan ketika baru saja dilahirkan, kali ini aku tidak mendengar suara itu. Dan jika biasanya seorang wanita hamil akan melahirkan diusia kandungan ke-40 minggu, kali ini tepat memasuki usia kandungan ke-26 minggu justru sudah harus segera melahirkan.
Tidak sanggup mendengar kabar buruk dari dokter, air mataku pun lantas mengalir semakin deras ketika melihat bayi wanita berkulit pucat dengan panjang sekitar 34 cm dan berat sekitar 800 gram sedang terlelap dalam infant incubator.
Dadaku rasanya sangat sesak ketika melihat tubuhnya yang kecil itu dipasang alat bantu napas dan siap untuk di pindahkan menuju ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit). Terlebih, dua kata yang menjadi beban pikiranku saat ini atas ucapan dokter Arvez adalah nama keluarga.
Sialan!Apakah itu harus?
Setelah satu bulan berlalu dan menyerahkan kondisi dia sepenuhnya dalam pengawasan dokter, karena aku harus kembali kerumah dan sibuk untuk menyelesaikan beberapa hal lainnya. Akan tetapi pada kenyatanya, pengalihanku selama satu bulan itu tidak juga mengusaikan pikiranku yang sibuk berperang dengan ego-ku sendiri tentang situasi ini. Mengingat sekilas keputusan bodohku dan terpaksa menjadi kembali membayangkan bagaimana kondisinya di awal-awal kelahiran, terkadang membuatku merasa menyesal untuk mempertahankan hidupnya.
Cerobohnya lagi, aku menganggap remeh hal-hal kecil dan tidak berpikir panjang atas keputusan yang aku pilih. Menanggung segala risiko seorang diri dan ya, itu cukup berhasil menjadi faktor pendukung yang membuatku kembali harus hilang akal. Sehingga, sampai detik ini aku masih membiarkannya dalam pengawasan dokter di rumah sakit dan sibuk mencari solusi yang tak kunjung aku temukan hingga saat ini.
"Sepertinya dia tau kalau sedang kedatangan tamu" menoleh kearahnya yang berucap demikian, aku pun lantas mengindahkannya dengan mengulas senyum dan kembali mengawasi infant incubator-nya dari kaca pembatas.
"Dia hanya memilikiku" tukasku.
"Tenanglah semua akan segera berlalu" ucapnya terdengar iba, membuatku berdengus remeh seraya mengangguk setuju saja.
"Jadi, bagaimana?" tanyaku masih tetap pada posisi tangan menyilang didada dan menatap satu per satu alat-alat penunjang hidup untuknya yang ada didalam sana.
"Saya tidak bisa membantu banyak ..."
"Kita tetap harus menunggu beberapa minggu lagi sampai keseluruhan hasil cek medisnya dinyatakan tidak lagi ada yang bermasalah" jelasnya berdasarkan alasan dan seperti tidak ingin menerima negosiasi apapun dariku kali ini.
"Anda bahkan tau bahwa saya tidak memiliki waktu selama itu" mendapati anggukkan darinya atas perkataanku, segera aku melepas tanganku yang menyilang didada kemudian berjalan kearahnya.
"Lusa atau saya yang akan bertindak dengan cara saya sendiri" ancamku dengan penuh emosi, sehingga berhasil membuatnya tertekan kemudian menatapku tajam dan dingin.
"Satu minggu?" menggeleng guna menolak tawarannya itu, segera aku pun membuka tas dalam genggamanku dan mengambil satu lembar cek kosong yang memang sebelumnya telah aku persiapkan untuknya.
"Isilah dengan jumlah angka yang masuk akal" peringatku tanpa basa-basi seraya menyerahkan kertas ini kedalam genggamannya.
"Aku tidak ingin ada kesalahan apapun"
"Baiklah, akan saya usahakan" menyinggung senyum dan berhasil bernafas dengan lega karena perkataannya itu, segera aku pun mundur beberapa langkah dari hadapannya.
Tidak perduli dengan berapa besar biaya yang sudah aku keluarkan selama beberapa bulan ini untuk dia, yang terpenting dari semua itu adalah aku tidak perlu khawatir tentang keberadaannya dan aku bisa kembali fokus menjalani kehidupanku serta lebih melebarkan lagi bisnisku dalam bidang fashion dan design.
Esok hari pun tiba, dan sama seperti biasanya aku pun kembali datang ke rumah sakit ini untuk menjenguknya. Namun kali ini agak berbeda, karena kini aku memilih untuk melangkah masuk ke dalam ruangan NICU (Neonatal Intensive Care Unit). Berhenti tepat di hadapan infant incubator miliknya, terlihat kedua tangannya tetap mengepal erat walaupun terdapat selang infus di pergelangan tangannya.
Hidungnya yang mancung juga terlihat masih di bantu oleh alat untuk sekedar bernafas, namun hal itu tidak membuat raut wajahnya berubah kesakitan setiap kali dadanya bergerak naik dan turun.
Entah apa warna di kedua iris matanya itu, karena yang terlihat kali ini justru hanya kelopak matanya yang setia tertutup dan aku hanya bisa memandangi bulu matanya yang lentik. Hal ini pun memunculkan gejolak dalam hatiku, sehingga tanganku terulur untuk mengusap kaca infant incubator.
Demi Tuhan, saat ini aku ingin sekali mendengar suara tangisannya yang sangat keras dan kalau bisa sampai memilukan. Aku sudah tidak perduli dengan cara yang bagaimana atau tidak masalah juga kalau aku harus membayar mahal, asalkan alat-alat sialan ini bisa berhenti berbunyi dan digantikan dengan suara tangisannya saja.
Oh sial! aku benci menunggu.
Sebab, hal itu cukup mampu membuatku putus asa. Ya, tepat seperti saat ini.
"Maaf Nona, anda tidak boleh berada di ruangan ini. Ruangan ini hanya di peruntukkan untuk dokter dan juga perawat saja" tuturnya dengan tegas dan menarik pergelangan tanganku dengan kasar.
"Sebentar saja, saya mohon" tetap tidak mengindahkan permintaanku dan dirinya tetap saja menarik paksa sebelah tanganku, kini aku pun dengan pasrah mengikuti langkahnya untuk keluar dari ruangan NICU (Neonatal Intensive Care Unit) dan segera menepis tangannya yang menggenggam tanganku.
Bersabarlah, sebentar lagi baby girl.
Terlahir dari pasangan pengusaha sukses Will Brian Jenner dan Kris Hough, membuat aku dan adikku harus ikutan menyandang serta memegang sebuah tanggung jawab besar atas kebaikkan juga ketentraman nama keluarga Jenner.
Sehingga, mau tidak mau. Suka ataupun tidak suka. Kami sebagai anak harus mengikuti semua peraturan yang telah ayah dan ibuku tetapkan. Salah satu peraturannya adalah larangan keras agar kedua putrinya, yaitu aku dan adikku untuk tidak menjalin suatu hubungan apapun dengan pria dari kalangan pengusaha ataupun dari kalangan pejabat pemerintah.
Dan untuk pertama kalinya, peraturan ini diberlakukan ketika usiaku pada waktu itu 15 tahun dan adikku berusia 13 tahun. Masih teringat jelas dalam ingatanku, bahwa sepanjang hari keduanya tidak pernah lupa menyampaikan peraturan ini kepadaku dan juga adikku. Menganggap peraturan dari mereka dengan biasa saja dan sama sekali bukanlah masalah besar.
Akan tetapi, ketika kemudian kami sekeluarga dihadapkan pada satu peristiwa tragis yang membuat perusahaan keluarga terguncang. Membuat hati dan logikaku sebagai anak sulung dari keturunan keluarga Jenner, menjadi setuju dengan peraturan yang diberikan oleh kedua orangtuaku itu. Demi Tuhan, tubuhku selalu tertahan kaku di tempat jika saja kembali mengingat kilas balik mengenai kejadian beberapa tahun lalu.
Bahkan hingga saat ini, masih berdengung begitu memekak telinga seluruh suara tangisan orang-orang dalam gedung megah yang di dominasi warna silver dan hitam itu. Membuat hatiku begitu merasa geram dan takut secara bersamaan dalam ketidakmampuan, akibat perbuatan dari mereka para pengusaha yang memang berstrategi kotor.