Dirty Business

Annisa Fitrianti
Chapter #6

Chapter 6

Bel-Air Hills 

Los Angeles, California - USA 

08.00 AM 

"Kendall??"


"Kenn???"


"Kendall..?!" tersentak membuka kedua kelopak mataku dan membuang nafas dengan begitu tersenggal-senggal, seketika tatapanku teralih kearah tangannya yang dengan cekatan tengah mengelus dahiku yang kini sudah di basahi keringat dingin. 


"Kenapa?"


"Mimpi buruk lagi?" tebaknya dengan raut wajah cemas dan dapat aku lihat matanya juga nampak mulai berkaca-kaca, sehingga dengan susah payah aku lantas menelan siliva kasar-kasar seraya menjauhkan tangannya dari dahiku. 


"Aku akan kembali ke Mansion-ku.." ucapku tanpa mau menatap kearahnya, kemudian ketika baru ingin melangkah turun dan mengabaikannya di sisi ranjang berukuran queen size yang di lapisi bed cover berwarna coklat ini. Tanganku tiba-tiba ditarik dan dipaksa untuk kembali terduduk. 


"Minumlah..."


"Thank's" ucapku yang menerima gelas berisi air mineral dan juga beberapa obat di atas nakas yang kini ibuku ulurkan untukku. 


"Jangan mencoba berdalih atau pun mengacuhkan pertanyaan dariku, Ken"


"Aku tidak bermaksud begitu" terduduk pasrah di sisinya dan kemudian menghembuskan nafas kasar, tangannya dengan gerakkan cepat lantas meraih tanganku dengan menggenggamnya erat di dalam pangkuan.


"Katakan, apa sebenarnya yang menganggu tidurmu?!"


"Tidak ada..."


"Aku hanya perlu ruang sendiri Mom" jawabku yang tidak ingin menjelaskan apapun dan hal itu membuatnya berhembus nafas secara kasar. 


"Aku akan menguhubungi Rue..." 


"Tapi aku harus kembali ke Mansion-ku, karena-" terjeda, dia pun lantas berucap. "Aku belum siap menyaksikan kematian putriku, Ken" terdiam membatu, dapatku lihat raut wajahnya menjadi sendu seketika.


"Kematianku tidak akan secepat itu Mom"


"Tinggalkan dia Ken" pintanya sekali lagi dengan tersulut emosi, membuatku lantas tersikap dan menatap tajam kearah iris mata berwarna cokelat yang sama seperti warna iris mataku.


"Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang sedang kita bicarakan" elakku seraya ingin menghindar dari hadapannya, namun rasa sakit dalam dadaku justru semakin menjadi ketika dia dengan cepat menahan pergelangan tanganku dan memperlihatkan air matanya padaku.


Plak...


"Jangan pernah kau memasang topengmu ketika kau sedang berbicara denganku Kendall?!"


"Karena selama satu tahun terakhir..."


"Tidak pernah sehari pun kau lepas dari pengawasanku?!"


"Dan.. kau juga tidak perlu lagi menyembunyikan apapun dariku. Sebab, Rane telah menceritakan segalanya padaku" memilih bungkam dan memegang pipiku yang masih panas akibat dia tampar, ku biarkan dia berlalu dari sisiku dan aku pun melakukan hal yang sama. Enggan untuk menoleh kearahnya, walaupun hanya menatap punggungnya yang perlahan mulai menjauh dari hadapanku. 


Sejujurnya, ini bukan kali pertama aku mendapatkan sebuah tamparan keras dari ibuku semenjak kejadian memalukan itu terjadi. Sehingga, tidak ada alasan tepat untukku menaruh dendam ataupun rasa sakit hati kepadanya hingga saat ini. 


Sebab, ketika hampir 2 tahun aku terus saja berupaya mengacaukan hidupku sendiri dengan berbagai cara. Tepat satu malam, setelah kehidupan lebih menyakitkan harus aku lewati. Aku mencoba kembali menyakiti diriku sendiri, tepat ketika ayahku sedang berada di negera lain dan Kylie berada di kota yang lain. 


Memahami bahwa ibuku sedang dalam emosi yang sudah memuncak, maka aku pun membiarkannya berulang kali menampar wajahku hingga sudut bibir dan hidungku mengeluarkan banyak darah. Bahkan, waktu itu aku berharap aku bisa secepatnya menutup mata tanpa perduli nyawaku akan habis di tangan siapa.


Tetapi, harapan itu terasa mustahil ketika aku melihat ibuku yang merasa bersalah dan lantas menjerit begitu keras seraya menggores kedua telapak tangannya sendiri dengan pisau. Rasanya ingin sekali aku berlari ke arahnya dan melepar pisau itu dari genggamannya, namun sialnya kondisiku saat itu benar-benar tidak memungkinkan. 


Beberapa bulan setelah kejadian, ibuku berubah menjadi sangat pendiam dan selalu menjaga jarak dariku ketika kami hanya berdua saja. Hal itu pun cukup membuatku merasa seperti ada tembok besar di antara aku dan ibuku, membuat kesadaranku langsung mengambil alih karena takut kalau-kalau ibuku membenci kehadiranku dan menyalahkan dirinya sendiri nanti. 


Dengan berat hati, aku pun berusaha dengan keras untuk kembali menjadi diriku yang dahulu belum pernah mengenal rasa sakit. Dan ketika merasa telah berhasil menunjukkan bahwa aku sudah baik-baik saja di hadapannya maupun keluargaku saat itu, lantas barulah kemudian aku memilih keputusan untuk tinggal jauh dari mereka.


Entah kenapa, mereka justru selalu mengutarakan bahwa aku egois. Padahal, mereka adalah alasan utama kenapa aku bersikap egois. Berharap mereka dapat mengerti sedikit saja diriku, rasanya pun percuma kalau nyatanya apa yang mereka lakukan justru selalu mempunyai dampak yang cukup besar untuk diriku.


Sungguh, bukan sebuah makian yang ingin aku dengar dari mereka ketika aku mengambil keputusan untuk diriku serta masa depanku. Ataupun amarah yang meledak-ledak, ketika aku menentang keinginan mereka yang tidak sama dengan keinginanku. Aku hanya ingin mereka mendengar suaraku, hanya itu. 


Apakah itu salah? Apa tidak bisa? Apa tidak boleh? Seegois itukah keinginanku? Hingga setiap kali mereka berbicara denganku harus dengan cara yang meledak-ledak, penuh amarah dan dengan intonasi yang tinggi?


Ketahuilah, bahwa aku juga hanya manusia biasa yang terkadang bisa melakukan kesalahan apapun. Jadi, jangan pernah memperlakukanku seperti seorang penjahat yang harus terpenjara dalam sebuah kata-kata ataupun umpatan-umpatan. Sesungguhnya, aku hanya berusaha mencari kebebasan dan kesenangan ku di luar sana agar bisa merangkul batin untuk memulih. Walaupun aku paham bahwa semuanya tidak akan semudah yang aku bayangkan.


Tetapi, ketika seorang psikolog dan psikiater bahkan sudah tidak bisa berbuat banyak atas apa yang menimpa diriku. Rasanya hal itu cukup mampu menghancurkan keseluruhan harapan-harapanku untuk bisa menjalani kehidupan dengan normal, sehingga aku pikir menjadi egois adalah pilihan yang paling tepat.


Tetapi maaf bila dengan cara ini yang mana harus sebentar 'Melarikan diri', bisa membuat aku terlihat begitu egois dan tidak memperdulikan diri sendiri. Sebab, aku hanya lelah.


"Jangan membuat mereka bisa menebak apa yang telah terjadi"


"Kami menunggumu untuk sarapan bersama..."


"Bersiaplah segera.." tidak merespon apa yang baru saja ibuku ucapkan dari ambang pintu kamar, beberapa detik selanjutnya air mataku pun tumpah bersamaan dengan suara pintu yang di tutup.


Ting...


From : Zayn


'Selamat pagi, Ken. Maaf telah membuatmu dalam masalah besar. Tapi aku berjanji akan segera membereskannya setelah aku kembali dari New York. Salam untuk ibumu'


To: Zayn.


'Kau tak perlu membereskan apapun?!' 


From : Zayn


'Kita liat saja nanti..' 


-------------------------------------------------------------------------------------------


Entah permainan apa yang ingin Zayn mainkan, dengan kesal aku memilih menutup pesan darinya seraya melempar ponsel dengan sembarang kemudian barulah aku menghapus air mata di kedua pipi seraya memijat pelipis sejenak sebelum mengambil langkah menuju ke dalam kamar mandi.


Beberapa menit di rasa sudah cukup untuk membersihkan tubuh di dalam bath up dengan menggunakan sabun Molton brown beraroma rhubarb, rose dan musk. 


Segera aku pun menarik bath robe yang ada kemudian berlalu memasuki walk in closet pribadiku di Mansion ini dan berdiri di hadapan cermin besar, mataku seketika membulat sempurna dan membuatku jadi memutar tubuh memunggungi ke arah cermin karena mendapati sesuatu yang berwarna biru keungu-unguan terjejak di sekitaran punggungku.


Hatiku pun mencelos ketika membayangkan apa yang ku dapati semalam, yang kemudian juga di iringi dengan suara meringisku ketika dengan sengaja tanganku sedikit menekan bagian punggung. Tidak ingin lebam ditubuhku membekas lebih lama, segera aku pun mengoleskan obat krim yang mengandung arnica ke sekitar bekas lebam. 


Sialan!


Masih memandangi memar yang tepampang nyata dan lantas menutup kembali bath robe mandi yang melekat di tubuhku, lalu mulai memilih baju olahraga yang akan ku kenakan untuk hari ini. Tak lupa bagiku untuk selalu menggunakan sarung tangan.




Terlepas dari segala ke sibukanku di dalam walk in closet, perlahan langkahku pun tergerak untuk keluar kamar dan menuruni satu persatu anak tangga yang ada di Mansion utama ini guna menghampiri mereka semua di ruang makan.


"Good morning.." ucapku datar yang kemudian membuat beberapa dari mereka menjadi menatapku dengan melempar senyum menyambut kehadiranku diantara mereka. 


"Morning, Ken.. " sahut adikku yang tetap sibuk memotong kentang di piringnya. "Bagaimana tidurmu?" 


"Not bad"


"Menginaplah lebih lama Ken" 


Lihat selengkapnya