Dirty Business

Annisa Fitrianti
Chapter #8

Chapter 8

Bel-Air Hills 

Los Angeles, California - USA 

08.00 AM

Berjalan kearah ruang tengah dan segera terduduk di sofa berwarna cream, setelah sebelumnya melakukan kembali meditasi dengan Rue dan lebih dahulu membersihkan diri selama beberapa menit dalam kamar mandi. Tanganku pun terulur meraih ramote televisi dan menekan tombol power.


Menyandarkan punggung dan mendekap bantal sofa seraya terus mengganti satu channel ke channel yang lain, kedua telingaku pun lantas responsif mendengar suara langkah seseorang yang kini semakin mendekat.


Menatap sekilas kearahnya yang mengambil posisi terduduk disisi kananku dengan senyum yang mempatri bibirnya, membuatku memilih mengabaikan kehadirannya dan kembali fokus menatap ke arah layar televisi tanpa mau susah payah menyapa atau sekedar basa-basi menanyakan kabarnya pagi ini. 


"Aku pikir kau tidak menyukai tontonan seperti ini Ken?" mengerutkan dahiku ketika dia berhasil mengaburkan seluruh pemikiran, membuatku lantas menoleh kearahnya.


"Kenapa?"


"Kau mau mengejekku karena ternyata aku menyukai tontonan seperti anak kecil, begitu?" tanyaku dengan nada tak terima, mengingat ini sama sekali bukan urusan dia mengenai apa yang aku suka dan tidak suka. "Aku hanya bertanya Ken..."


"Lagi pula aku juga sangat tertarik dengan sifat yang dimiliki oleh si bintang berwarna merah muda itu?!" 


"Dia terlalu polos dan konyol" meninggikan sebelah alisku atas apa yang dia ucapkan, membuatku lantas menatap bergantian kearah televisi dan dirinya yang nampak begitu serius mengamati Patrick yang terlihat berusaha menangkap ubur-ubur di dalam layar televisi.


"Dia setia" jelasku menanggapi perkataannya yang kemudian membuatku sedikit menyesal karena telah mengatakan kata di akhir kalimatku sendiri. "Ah lihat?!" 


"Rupanya mendeskripsikan sifat seseorang memang akan jauh lebih mudah, dari pada mendeskripsikan sifat dalam diri sendiri ya?" balasnya yang tak mau kalah membuatku lantas menghembuskan nafas kasar. Oh gosh!


"Kau menyindirku?" tanyaku sedikit tersinggung dan lantas dia hadiahi dengan tawa. "Nope"


"Bukan begitu maksudku Ken..."


"Hanya saja, apakah hal itu cukup untuk membenarkan bahwa itu adalah sifat yang memang sesungguhnya dia miliki?" mengerti akan kemana arah pembicaraan kita saat ini, membuatku bersikukuh memfokuskan pandangan kearah layar televisi. 


"Perlu kau tau Ken..."


"Serapat apapun seseorang menutupi sifat aslinya, orang lain pasti akan tetap memiliki celah untuk melihat sifatnya itu" jelasnya, membuat hatiku sedikit tercubit namun tak membuatku lantas menoleh kearahnya. "Ya, dan kau pun perlu tau?!"


"Bahwa kau benar-benar sangat mengganggu ketenanganku pagi ini" ujarku secara sarkas. 


"Niall adalah putraku satu-satunya"


"Oh God, hentikan. Please..."


"Aku tidak ingin mendengarkan curhatanmu!" tukasku. 


"Leo dan aku membesarkannya penuh dengan cinta dan kasih, seakan hadirnya adalah nyawa bagi kami. Dan bisa saja hidup kami akan langsung selesai kalau dia tidak lagi ada diantara kami" mendengar dengan jelas apa yang baru saja dia ucapkan, membuat perasaanku lantas bergejolak didalam sana. 


Sehingga, aku ulurkan tanganku menekan tombol pada remote untuk meninggikan volume televisi dan tidak menghiraukan keberadaannya disisiku seolah aku sedang sendirian di ruangan ini. Tetapi, dengan lancangnya dia justru merebut remote yang masih ada dalam genggamanku dan menekan tombol menggecilkan volume televisi. 


Hal ini pun berhasil membuatku seketika menoleh kearahnya yang mana saat ini dia juga sedang menatap kearahku. Saling bertukar pandang dengannya dalam diam, membuatku hatiku menumpat kesal dan segera membuang pandangan kearah lain sebelum dia melihat sesuatu dalam diriku. "Baiklah, kalau begitu silahkan menikmati ruangan ini sepuasmu" 


"Duduklah" pintanya yang berhasil mencekal tanganku.


"Tid-" belum sempat aku memprotes, dia lebih dahulu menarik tanganku sehingga aku kembali terduduk dan dia kembali berbicara. 


"Niall adalah tipe orang yang jarang sekali mengeluh?!" 


"Persis sepertimu Ken.."


"Selalu suka memendam perasaannya sendiri" 


"Dan hal itu pun berlaku hingga dia mulai tumbuh menjadi remaja. Tapi parahnya, pada saat itu aku dan Leo tidak bisa selalu berada sisinya karena urusan pekerjaan"


"Cukup Kate, aku tidak ingin mendengarkan cerita pribadi mengenai keluargamu!" keluhku. 


"Kau harus mendengarkannya Ken?!"


"Well, setidaknya kau tidak akan merasa tersingkirkan atau pun merasa menjadi orang asing ketika nanti Gemma lebih tau tentang Niall..." tergelak atas perkataannya, satu alisku pun lantas meninggi karena kata diakhir kalimatnya. "Kenapa harus Gemma?" 


"Gemma adalah satu-satunya wanita yang berhubungan intens dengan Niall selain dirimu Ken"


"Dan bukan hal yang tidak mungkin untuk mereka bertukar cerita perihal urusan pribadi satu sama lain"


"Hahaha, Come on Kate.."


"Jangan berkata seolah-olah aku adalah kekasih yang harus cemburu akan kedekatan diantara mereka berdua" peringatku seraya memandangnya tajam, hingga terdengar helaan nafas darinya. "Ya, mungkin hal itu memang mustahil terjadi..." 


"Tapi, sebagai sahabat dan juga pasien pertamanya?!"


"Apa kau benar-benar tidak ingin mengetahui alasan mengapa Niall memilih menjadi seorang dokter psikolog?"


"Karena itu keahliannya dan akulah buktinya" tuturku yang lantas dia setujui dengan anggukkan kepala. "Itu benar. Tapi ada alasan paling mendasar, mengapa pada akhirnya dia memutuskan untuk menjadi seorang dokter psikolog Ken"


"Ingin sepertimu mungkin?"


"Aku dokter psikiater, bukan psikolog"


"Sama saja?!" ucapku yang segera dia bantah dengan menggelengkan kepala, kemudian menatapku begitu sungguh-sungguh dan berhasil membuatku salah tingkah. "Tugas kami berbeda..."


"Dia tidak bisa memberikan resep obat, sedangkan aku bisa" 


"Ya, dan itulah alasannya kenapa aku lebih suka jika Niall yang menanganiku dari pada dirimu" ucapku yang kemudian berhasil menimbulkan seringaian tawa dibibirnya. 


"Anakku memang pandai memberikan kedamaian di hati seseorang tapi sayang dia tidak pandai memberikan kedamaian di otak seseorang, bukan begitu?" tanyanya begitu percaya diri, sedangkan aku yang paham tentang apa yang dia maksud lantas mengendikkan kedua bahu seta memutar bola mata malas. 


"Niall adalah anak yang berbeda dari anak lainnya"


"Maksudmu?" tanyaku agak kebingungan. 


"Dia tidak pernah pergi keluar rumah di akhir pekan atau pun sekedar bersenang-senang di sebuah club malam untuk mabuk dan pulang hingga pagi dini hari" jelasnya yang justru semakin memperdalam kerutan di dahiku, pasalnya bukan sesuatu yang salahkan kalau seorang anak tidak memilih menjadi brengsek. Itu pilihannya, sangat wajar dan tentu hal itu bisa terjadi kepada siapapun. 


"Harusnya kau bersyukur karena memiliki anak yang tidak suka membuat masalah" seperti tertampar atas ucapanku sendiri, tidak membuat dirinya lantas terkejut dan malah menghadiahiku senyum tipis dengan pandangan kosong di kedua matanya. "Tadinya aku juga berpikir hal yang sama denganmu Ken. Tetapi, saat itu aku terlalu khawatir..."


"Kau berlebihan?!" 


"Bukankah itu hal yang wajar bagi mereka yang memiliki sifat introvert?" tebakku, membuatnya menghembuskan nafas kasar dan menggelengkan kepala seraya menggenggam tanganku erat. "Benar, tapi tentu saja ada sebabnya kenapa dia sampai begitu"


"Ok, lalu apa yang membuatnya begitu?"


"Setelah mencari tau lebih dalam, akhirnya aku mendapatkan infromasi bahwa Niall ternyata korban bullying di sekolahnya" 


"What?!" ucapku begitu terkejut ketika mendapatkan fakta baru mengenai Niall yang bersumber langsung dari ibunya. 


"Kau bercandakan?" 


"Tidak pernah sedikit pun terlintas dalam pikiranku untuk menjadikan anakku sendiri sebagai bahan candaan Ken?!" katanya. "Sorry Kate, aku tidak bermaksud"


"It's ok.." 


"Apa dia mengalami trau-" 


"Tidak" selanya seolah sudah bisa menebak apa yang ingin aku tanyakan. "Dia terlalu kuat dan aku bersyukur hal itu tidak menimpa dirinya" lanjutnya dan berhasil membuatku kehilangan kata-kata.


"Dan itulah kenapa dia lebih cenderung menjadi introvert serta lebih tertarik untuk mendengarkan keluhan dari para pasien, dari pada menjadi sepertiku yang senang memberikan harapan walaupun kecil kemungkinannya untuk pulih kepada para pasien" jelasnya dengan raut wajah sendu, namun tatapan matanya sudah tidak lagi sekosong sebelumnya. Seperti, sedikit memancarkan harapan. "Niall selalu ingin melihat orang-orang didekatnya bahagia"


"Well, itu adalah alasan yang cukup mulia.." pujiku.


"Ya kau benar, itu memang terdengar membanggakan walaupun dia sendiri masih suka memendam perasaannya" 


"Itu sudah menjadi bagian dari sifatnya Kate?!"


"Dan kau tidak bisa merubahnya" tekanku seolah sedang membela diri sendiri. "Masih bisa dirubah Ken?!"


"Karena pada dasarnya sifat seseorang itu juga bisa terbentuk dari berbagai aspek"


"Dan dari sifat Introvert yang dimiliki oleh Niall. Teman-temannya lah yang dengan sengaja membentuk sifat itu didalam diri anakku" jawabnya dengan nada bergetar, membuatku kemudian segera menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir di kedua pipinya. 


"Hidup terkadang memang tidak adil.." tuturnya, yang kemudian aku lanjutkan. "Maka biasakanlah dirimu. Benarkan?" di setujui dengan mengangguk dan tersenyum, membuatku lantas menggenggam tangannya. "It's ok.."


"Terkadang menerima sesuatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan memang tidaklah mudah"


"Tapi Kate... jangan lupa juga bahwa banyak orang diluar sana yang justru meninginkan kehidupan sepertimu yang kau bilang tidak adil ini" peringatku, sehingga aku merasa seperti kembali menampar diri sendiri. "Kau benar.."


"Tapi, lupa bersyukur sepertinya memang sudah menjadi bagian dari sifat manusia bukan?" tanyanya yang menatapku lekat seraya membalas genggaman tanganku, sedangkan aku lantas mengangguk pasrah dan tersenyum tipis. "Satu tahun hanya berkomunikasi melalui virtual chat, rasanya ada banyak hal yang berubah darimu Ken?!"


"Sama sekali tidak ada yang berubah dariku Kate" tepisku tanpa ragu, sebab aku bisa menebak akan kemana arah pembicaraan kami selanjutnya. "Secara fisik jelas sekali kau sangat berubah Ken"


"Semakin kurus?" tebakku.


"Itu benar?!"


"By the way, kau masih menggunakan resep obat dariku atau-"


"Mom tidak akan membiarkanku mencari dokter lain" selaku. 


"Dia terlalu percaya padamu dan juga Niall"


"Dan apakah kau tidak percaya pada kami?"


"Entahlah..."


"Kenapa? Apa kau ragu?" tanyanya dengan raut wajah yang sulit untuk aku artikan, namun aku bisa menangkap dari sorot matanya yang sedang mengamatiku baik-baik. "Mungkin..."


"Sebab, selama ini nyatanya apa yang telah kalian berikan tidak terlalu banyak memberikan efek untukku"


"Dan semakin kesini aku merasa durasinyanya sangatlah cepat dan mimpi buruk itu terus saja berulang. Sehingga, mengharuskanku untuk terjaga dalam beberapa malam"


"Kalau begitu datanglah untuk berkunjung pada awal tahun di minggu pertama nanti Ken..."


"Sebelum aku kembali ke New York dan kau yang nantinya akan semakin kesulitan menjalankan aktifitasmu" sarannya. 


"Akan aku usahakan" jawabku yang tidak memberikan kepastian, hingga menimbulkan kerutan di dahinya. "Oh come on..."


"Awal tahun nanti pasti para paparazzi akan begitu gencar mencari berita tentang kehidupanku saat ini. Dan aku tidak ingin mereka mengkaitkan berita tentang produk baru di butikku musim depan dengan pertemuan kita" 


"Kau tentu mengerti maksudku-kan Kate?" tanyaku setelah memberikan penjelasan singkat yang kemudian dia setujui dengan mengangguk. "Tidak ingin mencampur urusan pribadi dengan bisnis?!"


"Aku mengerti Ken..." 


"Tapi tetap kabari aku kalau kau bisa ya?" mendengar peringatan darinya, membuatku lantas mengangguk seraya tersenyum padanya dan mulai mengakui bahwa dia tidak semenyebalkan yang aku pikir. "By the way, Kate..."


"Next time ingatkan aku untuk menyingkirkan televisi ini jika kita sedang bercerita" melihatnya mengangguk mengerti dan mengendikkan bahu asal, membuatku mengerti bahwa aku rasa ini cukup untuk memulai awal yang baik. "Kapan pun, terserah padamu" putusnya. 




Bangkit dari keterdudukan seraya berlalu dari sisinya menuju ke arah dapur kotor, langkahku pun berhenti tepat di hadapan lemari pendingin dan meraih paper bag berwarna putih yang sejak semalam aku sembunyikan. Mulai mengeluarkan kotak dari dalam paper bag, membuatku lantas menyinggung senyum karena mendapatkan satu kotak hitam berukuran kecil sebagai christmas hamper atau mungkin permintaan maaf dari Harry semalam.


Membaca kotak berwarna hitam yang bertuliskan Longmorn, sialnya berhasil membuat kedua mataku membulat sempurna dan segera mengedarkan pandangan ke sekeliling karena aku tidak ingin seseorang sampai melihat kotak berisikan minuman berakohol jenis whisky dengan kadar 48%. 


Dengan tergesa aku pun memasuki kotak ini kembali kedalam paper bag. Namun, tiba-tiba saja deheman seseorang dari arah belakang punggung membuatku segera menggeser paper bag ini dan berbalik badan menghadap ke arah sumber suara.


"Kita perlu bicara Ken" menelan siliva secara kasar dan bingung harus menyetujui ucapannya atau menghindarinya, segera aku pun membuang nafas kemudian memilih untuk mengikuti instingku saja kali ini. "Aku lelah Mom...


"Nanti saja ya kita bicaranya?!" putusku begerak risau namun tetap berusaha menampilkan raut wajah tenang.


Bodoh?! 


Makiku dalam hati, ketika kemudian dia menggeser posisi tubuhku kesisi lain dan berhasil menemukan keberadaan benda yang memang sedari tadi sedang berusaha aku sembunyikan darinya. Sehingga, tanpa berlama-lama dia mengeluarkan isi dalam paper bag berwarna putih dan menyinggungkan seringaian angkuh ketika membaca tulisan yang terpampang di kotak berwarna hitam itu. 


"See?! Aku rasa sudah jelas bahwa kita benar-benar harus berbicara sekarang?!"


"Oh tidak, tidak.." 


"Lebih tepatnya adalah kau yang perlu menjelaskan tentang minuman ini dan banyak hal lainnya kepadaku"


"Ya, itu pun kalau kau memang tidak ingin Brian sampai mengetahui kalau kau menyimpan minuman ini dan sebuah rahasia lainnya" ucapnya setelah memasukkan kembali kotak itu ke dalam paper bag, membuatku lantas memutar bola mata jengah seraya terpaksa mengangguk setuju kemudian dengan berat hati mulai mengekori ke arah ruang kerja pribadi milik Ayah dan Ibuku.


Melewati lorong galery dengan penerangan lampu yang tidak terlalu terang dan di setiap dinding sisi kanan serta kiri terdapat lukisan yang biasanya didapat dari pelelangan, termasuk satu buah lukisanku pertamaku dengan ukuran 24 x 36 vertikal yang menggambarkan sesosok wanita dengan lima cahaya.


Dimana, lima cahaya itu berada di beberapa tempat berbeda dan hanya ada satu cahaya yang memiliki warna berbeda. Ya, warna itu adalah warna hijau yang terletak tepat di bagian dada dan melambangkan tanda kedamaian serta keseimbangan sekaligus penyembuhan.


Lukisan dengan judul 'lumiére dans les ténèbres'[1] itu sebenarnya adalah salah satu curahan hatiku ketika berusia 15 tahun dan aku menyembunyikan lukisan itu di suatu tempat untuk waktu yang sangat lama, hingga kemudian ayahku berhasil menemukannya tepat ketika kami sekeluarga memutuskan untuk pindah ke Los Angeles dan menempati Mansion ini.


"Caranya saat menatap lukisan itu sangat berbeda ketika kau memutuskan untuk meneruskan study-mu di Parsons School of Design, dengan kau yang memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama kami di Mansion ini"


"Bahkan, akhir-akhir ini dia lebih sering menghabiskan waktunya disini hanya untuk memandangi lukisanmu itu dari pada berkutat di ruang kerjanya" tertohok begitu dalam atas apa yang ibuku ucapkan, membuatku lantas tersenyum masam kemudian. 


"Kau bisa melelangnya kalau kau mau Mom?!" usulku dengan pembawaan santai tanpa ada nada yang bisa memancing perdebatan diantara kami.


"Membuatnya menjadi marah besar dan pada akhirnya liburan kita bersama keluarga Horan batal?"


"Oh thanks, Ken. That's really bad idea?!" tidak perduli atas sarkasme yang dia ucapkan, dengan santai aku melipat kedua tangan di dada seraya mengendikkan bahu begitu asal. "Kalau begitu jangan menceritakan kesedihannya padaku"


"Sebab, itu sama sekali tidak bisa merubah keputusanku untuk tidak lagi tinggal bersama kalian" tekanku yang memutar balikkan keadaan dan dia balas dengan helaan nafas kemudian. "Yaampun Ken, kau adalah anakku?!"


"Di darahmu juga mengalir darahku" 


"Dan sikap keras kepalamu itu adalah turunan dariku"


"Jadi, tentu saja?! Aku tidak akan keberatan kalau harus melawan sikap keras kepalamu itu. Sebab, aku hanya ingin segalanya yang terbaik untukmu" terangnya masih dengan nada rendah, namun raut wajahnya kali ini benar-benar serius dan tatapannya juga begitu sulit untuk di artikan. "Terserah..."


"Yang jelas aku tidak perduli dengan apa yang kau inginkan untukku Mom?!"


"Jadi, berhentilah berpikir seolah apa yang kau inginkan adalah hal paling baik untukku" pintaku dengan nada penuh penekanan yang justru dia tanggapi dengan menyinggungkan senyum tipis. 


"Dengar... sejujurnya bukan masalah besar kalau pun kau memang tidak ingin lagi tinggal bersama kami disini Ken?!" 


"Karena kami pun juga telah terbiasa tanpa kehadiranmu"


"Itu bagus..." 


"Lalu apa masalahnya?" tanyaku yang mendapati dengusan nafas lelah darinya. "Masalahnya adalah kau telah banyak berbohong Kendall. Dan aku tidak bisa jika harus terus menerus menyembunyikan segalanya dari Brian"


"Apa yang kau inginkan sebenarnya Mom?" tanyaku bermaksud memberinya penawaran, karena aku tidak ingin menerima ancaman darinya terus menerus dengan menjadikan ayahku sebagai alasannya.


"Kesembuhanmu! Hanya itu yang aku inginkan" 


"Tapi-"


"Tidak ada tapi Ken?!" selanya seraya memberikan tatapan peringatan, sedangakan aku hanya bisa menghirup udara banyak-banyak dan pasrah berjalan kearahnya yang kini sudah berbalik menghadap kearah pintu kaca dan tengah menempelkan ibu jarinya ke alat yang terlekat pada dinding. "Duduklah, karena aku perlu mendengar banyak penjelasan darimu..."


Di dominasi dengan warna cokelat dan beraroma citrus yang berpadu padan dengan unsur kursi dan meja kayu dalam ruangan ini, membuatku memutar ingatan dan mulai menyadari bahwa tata letak benda-benda di dalam sini telah berubah dari terakhir kali aku tinggal di Mansion ini.


"Lihatlah hasil dari perbuatanmu..." meraih majalah yang dia lempar ke meja yang ada tepat di hadapanku, yang mana saat ini aku sudah terduduk di sofa. Seketika, tubuhku pun menegang karena mendapati wajahnya yang menjadi cover majalah dalam genggamanku ini. 




I would date a model, but I would rather marry a business women - Z


"Bajingan itu sepertinya sengaja sekali memberikan pernyataan seperti itu?!" 


"Apakah kau ikut andil atas semua omong kosong ini Ken?"


"Jangan menuduhku!" tepisku yang keberatan. 


"Lantas, tidakkah kau jijik dengan pernyataannya yang terlalu percaya diri itu? Seolah olah dia begitu ingin memperjelas kepadaku tentang bagaimana kalian kedepannya?"


"Sudahlah, abaikan saja Mom" balasku seraya meletakkan kembali majalah tersebut diatas meja. 


"Anggap saja statement yang dia berikan itu memang untuk menarik perhatian model lain yang ingin berkencan dengannya" tepisku yang tidak ingin lagi membahas perihalnya, tetapi sekali lagi ibuku dengan segala egonya kembali menguji kesabaranku. "Dan kau menunggu sampai dia menyertakan namamu disana lebih dulu, begitu?"


"Come on, aku sedang tidak ingin kita kembali berdebat Mom


"Aku pun demikian Ken"


"Yasudah selesai kalau begitu?!"


"Tentu?! Asalkan kita menyelesaikannya saat ini juga"


"Maksudnya?"


"Aku ingin kau melakukan sesuatu Kendall, agar masalah ini benar-benar selesai" meninggikan satu alisku karena ucapannya, segera aku pun menggeleng cepat sebagai tanda penolakkan. "Kami tidak membuat masalah apapun Mom?!"


Lihat selengkapnya