Beverly Hills
Los Angeles, California - USA
20.00 PM
Mencoba untuk tidak lagi larut dalam kilas masa lalu mengenai aku yang selalu berhasil membuatnya merasa tersinggung karena memberikan tatapan muak kepadanya setiap kali dirasa dia mulai berlebihan. Tanpa aba-aba tangannya yang terukir banyak tattoo itu pun terulur mengusap lembut kedua pipiku, sehingga nafasku terasa kembali tercekat ketika bibirnya yang tipis itu beralih menjadi mencium keningku.
Seolah-olah tatapan kemarahan dari ayahku serta kutukkan sumpah serapah yang keluar dari mulut ibuku bukanlah apa-apa untukknya. Satu hal yang masih membuatku bersyukur adalah para bodyguard-nya masih sanggup menjaga pertahanan, sehingga wajahnya yang angkuh ini tidak lantas mendapat tinjuan jitu dari para bodyguard ayahku. Akan tetapi, hanya dalam hitungan detik aku merasakan tanganku ditarik paksa untuk mundur dan menjadikan posisiku berhalangan dengan Zayn karena kini para bodyguard ayahku berhasil menjadi pembatas untuk kami. "Hentikan drama kalian!"
"Masuklah Ken?!"
"Dan anda?!"
"Sebaiknya anda pergi dari sini, sebelum kesabaran saya benar-benar habis dan anda akan menyesal nantinya" mendapati tatapan isyarat darinya saat ayahku berucap demikian, seketika itu juga aku langsung menggelengkan kepala sebagai tanda permohonan agar dia jangan membantah dan mau mengikuti ucapan ayahku ini. "Tenanglah"
"Saya juga tidak berniat untuk memperpanjang drama diantara kita, karena saya memang bukanlah aktor handal"
"Saya hanya seorang pengusaha"
"Sangat berbeda dengan lelaki yang anda sandingkan untuk Kendall di masa lalu" ejeknya dengan raut wajah angkuh seraya mengedipkan sebelah mata kepadaku dan lantas di tanggapi oleh ayahku dengan mengulurkan revolver berwarna hitam miliknya tepat kearah dahi Zayn.
Sehingga, hal ini pun berhasil membuat jantungku rasanya ingin copot dan menjadikan lantai yang tengah aku pijaki menjadi berguncang sangat hebat. Tidak mampu mengucapkan kata apapun untuk menengahi keduanya dan hanya bisa menelan siliva-ku dengan susah payah, aku pun lantas melepas genggaman tanganku dari ibuku dan membawanya menjadi menekan kepalaku karena tiba-tiba saja kilas-kilas menyakitkan dimasa lalu itu kembali mengunjungiku.
"...Kendall?!..." mendengar panggilan panik dariibuku namun aku pun tetap tidak sanggup untuk mengindahkannya, membuat diadisana yang ingin mendekat kearahku segera di cekal oleh para bodyguardayahku dan membuatnya menumpat sumpah serapah kepada ayahku karena dia dipaksauntuk pergi sedangkan aku sudah lebih dahulu dipapah oleh ayahku agarmeninggalkan backyard menuju ke kamar.
Mengalihkan pemikiran atas kejadian beberapa jam lalu dengan menyesap ice lemon tea yang saat ini ada dalam genggaman tanganku, tatapan mataku pun tidak lepas untuk memperhatikan halaman belakang Mansion ini yang mana telah di penuhi banyak orang. Terlebih adanya dentuman suara musik khas malam natal, semakin membuat riuh suara tawa serta percakapan mengenai hal pribadi di bawah sana.
Sama seperti malam natal ditahun sebelum-sebelumnya, malam natal kali ini aku lebih memilih untuk kembali menikmati kemeriahan pesta ini dari balkon kamarku di Mansion ini. Sebab, satu hal yang sangat aku hindari adalah paksaan dari ibuku agar aku mau menyapa putri-putri teman kalangan sosialitanya yang di setiap acara hanya ingin membanding-bandingkan kehidupan yang mereka miliki dengan apa yang telah aku miliki.
Sehingga, satu-satunya cara agar aku terlihat menghargai pesta ini dan mengurungkan niat ibuku itu adalah dengan menyinggungkan senyum terbaik yang aku miliki seraya mengangkat gelas dalam genggamanku kearah para tamu undangan dibawah sana sebagai tanda sambutan selamat datang. Khususnya, kepada teman-teman dari kalangan sosialita ibuku yang nampak saling berkompetisi dalam segala hal termasuk penampilan.
"Ken?!"
"Boleh aku masuk?" pintanya yang tengah berdiri diambang pintu kamar, dengan segera aku menyetujui permintaannya dengan mengangguk dan tersenyum ramah. "Ada apa, Dad?" tanyaku.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja Dad.."
"Dan kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun tentangku" peringatku yang kini bersebelahan dengannya dan memilih menopang kedua tanganku untuk menyatu di pagar balkon yang terbuat dari kaca bening, dimana bagian sisinya dilindungi dari besi berwarna hitam.
Mengamati penampilannya dari ujung rambut hingga sebatas pinggang, bibirku pun lantas menyinggung senyum tipis ketika mendapatinya mengenakan hadiah natal pemberianku berupa tuxedo Brioni dan jam tangan Rolex tipe submariner vintage yang telah terlingkar sempurna di tangan kirinya.
Sungguh, penampilannya malam ini sangat patut untuk di kategorikan kedalam nominasi fashion award karena berhasil menunjukkan bahwa dia memang pria penuh pesona yang selalu menjadi pemegang kendali serta tidak bisa dibantah oleh siapapun termasuk aku sebagai anakknya.
Terdengar egois memang...
Akan tetapi, tetap saja dia tidak bisa bertindakberlebihan kepadaku. Sebab, akan selalu dampak buruk yang bisa membuat diakesulitan juga pada akhirnya. Contohnya seperti kejadian beberapa jam yang lalu,ketika dia ingin sepenuhnya memegang kendali sampai-sampai dia lupa bahwa caranyadalam bertindak itu sangat berpengaruh terhadapku. "Mengenai kejadian makan malam tadi..."
"Aku minta maaf Ken" ucapnya yang masih asik memandang kerumunan orang dibawah sana dan tidak tertarik untuk sebentar saja melihat kearahku. "Tidak seharusnya aku terpengaruh dengan apa yang diucapkan oleh bajingan itu dan menjadi lepas kendali" lanjutnya.
"Sudahlah Dad, lupakan saja. Aku tidak ingin kita membahas hal itu lagi" peringatku karena tidak ingin kembali membahas kejadian tidak mengenakkan beberapa jam yang lalu.
"Baiklah aku mengerti..."
"Tapi Ken, ada beberapa hal penting yang ingin aku ceritakan padamu" mengangguk paham seraya melangkah kearah meja kayu, berhasil membuat tatapannya menjadi mengikutiku yang kini telah terduduk. "Silakan.."
"Bicara saja, Dad. Aku akan mendengarkan" menyesap ice lemon tea dalam genggamanku yang sudah tinggal sedikit setelah lebih dahulu berucap demikian, lantas diindahkan oleh ayahku dengan anggukkan kepala seraya ikut terduduk bersamaku di kursi kayu yang berada dekat balkon ini. "Mengenai keluarga Malik..."
"Aku akan menceritakan sedikit mengenai latar belakang keluarga mereka kepadamu" ucapnya seraya menggenggam sebelah tanganku, setelah aku lebih dahulu meletakkan gelas ice lemon tea milikku di atas meja kayu ini. "Karena mungkin dengan begitu kau akan berpikir beratus-ratus kali hanya untuk sekedar berhubungan dengannya" yakinnya.
"Kenapa kau begitu yakin kalau aku akan lantastidak berhubungan dengannya lagi setelah mendengar cerita darimu?" tanyaku serayamenarik tangunku dari genggamannya.
"Mereka itu licik dan aku jamin kau akan kembali merasa kecewa jika kau masih saja mengabaikan peringatan dariku ini!"
"Jadi, kau menceritakan latar belakang keluarga mereka sebagai sebuah peringatan untukku?"
"Ya!" katanya.
"Apa kau bisa menjamin bahwa kalau aku menjauhi keluarga itu, aku tidak akan kembali merasa kecewa nantinya Dad?" tanyaku seraya menatapnya lekat dan ternyata justru dia sanggupi dengan menganggukkan kepala. "Itu Pasti. Selama aku hidup, aku akan memastikan bahwa hal itu tidak akan pernah kau rasakan lagi Ken"
Jujur saja, aku sebenarnya sangat tidak mau tau dan tidak perduli juga tentang bagaimana sebenarnya latar belakang keluarga Malik. Tetapi pada kenyataannya, aku juga tidak bisa memungkiri rasa penasaranku akan apa yang ayahku ketahui tentang latar belakang keluarga itu.
Menjadi anak yang paling dekat dengannya, tentu saja aku tidaklah buta atas sifat-sifat yang dia miliki. Terlalu banyak strategi bisnis yang dia gunakan untuk mengalahkan para pesaingnya, nyatanya juga dia terapkan untuk mengalahkan prinsip anak-anaknya. Terdengar egois memang. Namun itulah dia, ayahku.
"Baiklah, aku akan memenuhi peraturan keluarga untuk tidak lagi berhubungan dengan para pengusaha ataupun pejabat pemerintah setelah ini. Tetapi dengan satu syarat" jawabku meminta sebuah persyaratan darinya.
"Syarat?" tanyanya yang membuatku mengangguk guna membenarkan.
"Baiklah, katakan.." lanjutnya.
"Jangan paksa aku untuk menghadiri acaranya besok lusa di London" pintaku yang ternyata dia jawab dengan menggelengkan kepala. "Sorry, untuk yang satu itu aku tidak bisa..." ungkapnya.
"Syarat darimu itu terlalu beresiko Ken"
"Kau tau benarkan, bahwa hanya acara itulah satu-satunya alasan yang membuat mereka merasa lemah dan kau tetap kuat sampai detik ini?" tanyanya terdengar terbebani, sehingga dengan penuh sesal aku mengakui permintaanku yang kelewatan. "Ya aku tau..."
"Dan maaf karena telah meminta hal yang tidak mungkin bisa kau sanggupi itu?!" kataku seraya berusaha menyinggungkan senyum baik-baik saja.
Sehingga dia tidak perlu khawatir atau pun menyadari bahwa aku menerima kembali kekecewaan yang sebelumnya sempat dia janjikan bahwa tidak akan pernah aku rasakan lagi, yang justru tanpa sengaja sebenarnya dia torehkan. "Don't say sorry, Ken"
"Ada baiknya kau mendengarkan saja cerita dariku mengenai latar belakang keluarga Malik. Dan selebihnya terserah bagaimana baiknya menurutmu" ucapnya yang kemudian aku setujui dan mempersilakannya untuk menceritakan segala yang ingin dia ceritakan.
"Beberapa tahun yang lalu..."
"Apa kau masih ingat mengenai peristiwa tragisyang terjadi di kantor pusat kita di New York??" tanyanya dengan ekspresi wajahyang aku lihat sedang menahan amarah serta adanya kilat rasa sakit yang begituterpancar dari kedua bola matanya. "Iya, tentu saja?!"
"Setiap detail kejadiannya bahkan masih lekat teringat di dalam kepalaku. Kenapa memangnya Dad?" tanyaku to the point, karena masih belum bisa mencerna apa hubungan antara cerita latar belakang keluarga itu dengan peristiwa besar yang beberapa tahun lalu terjadi diperusahaan milik ayahku.
"Ayah Zayn, Simon Malik adalah dalang dari peristiwa tragis yang terjadi beberapa tahun lalu di kantor pusat kita"
"Dan dia jugalah salah satu dari banyaknya para pengusaha yang selalu menggunakan strategi kotor demi bisa mendapatkan kesukesan dalam bisnisnya" jelasnya yang sontak membuatku seperti mendapatkan tamparan keras.
Sebab, aku seperti sedang ditarik paksa ke masa lalu dan harus kembali merasakan bagaimana mencekamnya suasana kantor pada saat itu akibat serangan tembakkan dari orang-orang berperawakan latin yang lengkap dengan senjata laras panjang dikedua tangan mereka.
Dengan aku yang pada saat itu berusia 15 tahun, aku sudah cukup mampu merekam semua potongan kejadian demi kejadian yang pada saat itu terjadi dan beruntungnya pada saat itu ayahku dan aku berhasil keluar dari gedung perusahaan milik ayahku itu.
Walaupun pada akhirnya, rekaman kejadian akan peristiwa itu tidak bisa aku hilangkan dalam otakku sampai detik ini. Sehingga, aku selalu saja merasa ketakutan ketika harus membahas peristiwa lama ini yang jelas membuatku kembali terbayang akan ceceran darah segar serta seluruh suara rintihan tangisan orang-orang atau lebih tepatnya mereka para pegawai perusahaan ayahku yang terluka dan ketakutan dalam gedung megah yang di dominasi warna silver dan hitam itu.
"Bagaimana kau mengetahui bahwa dia adalah dalang dari peristiwa tragis itu?" tanyaku.
"Aku akan menceritakan lebih dahulu awal perkenalanku dengan Simon, bagaimana?"
"Sure, go ahead..." kataku, membuatnya tersenyum dan mengusap pucuk kepalaku asal. "Thank's" jawabnya.
"Pada waktu itu perkenalan kami bermula karena dia adalah tetangga baru di depan rumahku. Kami sama-sama terlahir sebagai anak tunggal di keluarga yang cukup berada, kemudian kami pun semakin sering bermain bersama dan bersekolah di tempat yang sama hingga sampai pada tingkat akhir"
"Pada saat itu dia terpaksa harus menetap bersama ayah kandungnya di Italia dan melanjutkan kuliahnya di sana karena ibunya telah wafat dan ayah tirinya kalah dalam perebutan hak asuh atas Simon" jelasnya dengan raut wajah yang sulit diartikan, sehingga aku tidak berani beraksi apapun saat mendengar ceritanya yang masih belum seberapa ini. "Beberapa tahun berlalu..."
"Dimana pada saat itu aku telah berkeluarga dan berhasil mencapai puncak kesuksesan untuk memimpin perusahaan Jenner&Co, membuatku semakin menjadi ambisius untuk melebarkan sayapku di dalam dunia bisnis"
"Sehingga, aku pun berminat untuk bergabung dalam organisasi 'cerchi rispettabili' [1]"
"Dan seperti apa itu organisasi cerchi rispettabili, Dad?" tanyakubegitu penasaran, karena organisasi itu tidak pernah aku dengar sebelumnya di mediamanapun termasuk majalah-majalah bisnis.
"Organisasi cerchi rispettabili itu merupakan kumpulan dari para pembisnis dengan pemasukkan lebih dari ratusan juta dolar dan siap bersaing di pasar konvensional dunia dalam skala besar" lanjutnya begitu transparent menceritakan hal pribadinya kepadaku untuk pertama kali dan berhasil menimbulkan beberapa pertanyaan dalam otakku.
"Apa semua para pengusaha yang memiliki pemasukkan ratusan juta dolar adalah bagian dari organisasi cerchi rispettabili, Dad?" menyinggung senyum tipis kearahku seraya menatapku begitu lekat, sangat terlihat jelas bahwa dia ragu untuk memberikan menjawabnya. "Tingkatan rasa penasaranmu yang terlalu tinggi ini, benar-benar membuatku takut Ken?!"
"Dan kenapa kau harus takut?"
"Karena sekarang aku merasa salah telah mengatakan mengenai organisasai itu kepadamu?!" jawabnya membuatku mengerutkan kening karena kebingungan. "Apa maksudmu?"
"Belum saatnya kau mengetahui lebih banyak Ken"
"Itu bukan jawaban yang ingin aku dengar, Dad" keluhku yang tidak bisa menunggu lebih lama penjelasan darinya. "Bersabarlah, Ken"
"Kelak ketika kau telah siap untuk melanjutkan perusahaan keluarga kita, aku akan menjelaskan segalanya kepadamu" terkejut sekaligus menegang dalam diam atas ucapannya, sekuat hati aku pun berusaha menepis kenyataan bahwa kelak aku akan memimpin perusahaan keluarga. "Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya ketika aku telah resmi memimpin perusahaan keluarga?"
"Setiap anggota dari organisasi itu pasti akan dengan senang hati menunjukkan diri mereka kepadamu dan jangan pernah terlintas dalam pikiranmu untuk menghindar dari mereka"
"Memangnya kenapa?"