Newport Beach
Los Angeles, California - USA
10.00 AM
Memutuskan untuk kembali ke Mansion karena suhu udara semakin rendah, Paris yang masih terlelap dalam tidurnya pun segera aku peluk erat dalam dekapan tanganku dan meletakkannya diatas ranjang kamar begitu kami tiba di Mansion. Terdiam mengamatinya dari sisi ranjang, membuat ingatanku tertarik ke beberapa tahun lalu tepat ketika dia sedang berjuang untuk hidupnya dan aku yang tidak pernah selalu bisa menetap disisinya bahkan hingga detik ini.
I'am sorry Paris.
Tidak ingin semakin larut dalam rasa bersalah. Aku pun memilih untuk meninggalkan kamar ini, akan tetapi tatapanku justru bertabrakkan dengan iris mata berwarna hazel yang tengah mengamatiku dari ambang pintu kamar ini. Membawa langkahnya semakin dekat kearahku, membuat kami otomatis saling berhadapan dan tangannya dengan cekatan memasang sesuatu di telingaku. "Zayn, what are you doing?"
"Perfect.." ungkapnya.
"Zayn, ini-"
"Ya, itu hadiah natal dariku. Bagaimana?"
"Apa kau menyukainya?" tanyanya, berhasil membuatku seketika menegang karena tidak asing dengan bentuk anting berlian yang mana telah terpasang sempurna di telingaku ini. "Dari mana kau mendapatkannya?"
"Wetherby's"
"Kenapa? Apa kau tidak menyukainya?"
"Ken?" panggilnya seraya menangkup wajahku dengan kedua tangannya, sehingga berhasil mematahkan pemikiranku untuk kembali mengingat kilas-kilas menyakitkan di masa lalu. Terutama, mengenai kenangan akan anting berlian ini yang seharusnya memang menjadi milikku sejak lama.
"Hei, ada apa?" tanyanya.
"Kenapa kau memilih anting ini untukku?" ucapku balik bertanya seraya menatap lekat kedua iris matanya yang berwarna hazel.
"Karena hanya anting itu yang mencuri perhatian seorang Brian selama pelelangan berlangsung"
"Dan memberikan anting itu kepadamu. Aku pikir itu cukup untuk membuatnya merasa kesal nanti"
"Sungguh?"
"Tidak ada maksud yang lain?" mengangguk dengan acuh atas pertanyaan yang aku ajukkan, sekuat hati aku pun menyinggungkan senyum tipis sebelum memutus tatapan kami. "Baiklah, aku akan menyimpannya dengan baik kalau begitu" putusku.
"Kau pasti berguraukan Ken?" menggelengkan kepala atas pertanyaan darinya, seketika decihan kesalnya pun terdengar jelas di telingaku. "Oh ayolah, Ken. Tidakkah kau mau membantuku untuk membuat Brian semakin kesal?"
"Dengan menunjukkan anting ini kepada ayahku dan mengatakan bahwa kau yang telah memberikannya, begitu?" tersenyum menahan tawa seraya mengangguk membenarkan apa yang aku katakan, membuatku memilih untuk kembali melanjutkan langkah. "Of course no!"
"By the way thank's for this"
"Aku pamit. Felix sudah menungguku dibawah"
"Sebentar" pintanya yang berhasil meraih siku tanganku.
"Apa lagi?" tanyaku seraya mengamatinya, namun keningku lantas mengerut cukup dalam ketika dia menyuguhiku kotak hitam berukuran sedang. "Untukmu" katanya.
"Lagi?"
"Dengan alasan dan maksud yang berbeda tentu saja" jawabnya membuatku menatap kembali kearah matanya yang nampak memberi persetujuan agar aku segera membukanya, sehingga dengan ragu aku pun membuka kotak hitam berukuran sedang yang kini ada dalam genggamanku.
Gila!
Pikirku ketika kilatan sinar putih pada benda ini memantul tepat kedalam bola mataku, membuat tanganku lantas tergerak untuk menutup kembali kotak ini karena sekarang aku benar-benar sudah tidak ingin mendengar alasan kenapa dia memberikan benda ini kepadaku.
Dasar bajingan sombong!
Berasal dari keluarga ternama yang mengelola perusahaan produksi berlian terbesar di New York, tentu saja aku tidaklah tabu dengan benda sempurna yang saat ini dia berikan untukku. Sebab, benda ini memiliki daya tarik yang cukup setara dengan harga yang ditawarkan oleh Wetherby's dalam salah satu situs lelang eksklusif yang hanya bisa di akses oleh orang-orang kalangan atas saja.
Termasuk aku yang juga ikut bergabung dalam situs lelang tersebut, untuk membeli beberapa lukisan atau pun hasil karya seni lainnya dari sana ketika aku sedang dalam mood yang tidak baik atau memang karena aku menginginkan sesuatu yang sedang aku cari saja.
Dari kabar terakhir yang aku dapatkan. CEO (Chief executive officer) yang mengelola pelelangan tersebut, Valdoft Aress Ellred Wetherby mengatakan bahwa berlian seukuran telur yang dikenal sebagai 'berlian perdamaian' dengan karat 706 itu telah berhasil dilelang kepada salah seorang pembisnis asal Italia seharga 7,8 juta dolar tepatnya beberapa hari yang lalu pada saat acara pelelangan eksklusif di New York.
Dari yang aku ketahui memang acara pelelangan eksklusif tersebut bertujuan untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan taman nasional di negara Afrika. Akan tetapi, siapa sangka bahwa seseorang yang membeli batu berlian mentah itu ternyata Zayn Javvad Malik. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, batu berlian mentah berwarna putih yang sudah diburu oleh kalangan elite sejak beberapa tahun lalu ini dia perkenankan untukku.
Astaga !
"Aku tidak bisa menerima ini" tolakku dengan sungguh-sungguh, berbeda dengannya yang justru asik menggengam ponsel dan jari-jari tangannya sibuk mengetikkan sesuatu di layar tersebut.
"Zayn!" panggilku meninggikan suara.
"Tidak perlu berteriak seperti itu Ken. Nanti Paris bisa terbangun" peringatnya, membuatku lantas mendesah tidak suka. "Tapi, Zayn-"
"Sudahlah, terima saja" selanya.
"Lagi pula aku membeli berlian itu memang murni karena ingin memberikannya kepadamu" jelasnya seraya menyimpan ponselnya kedalam saku.
"Tetap saja aku tidak bisa menerimanya Zayn"
"Tapi kau terlihat menginginkannya Ken"
No! I don't want it.
"Berhentilah selalu menebak-nebak tentangku Zayn"
"Jangan terlalu percaya diri"
"Selamanya pasti kau tidak akan pernah mengerti dengan apa yang aku inginkan dan apa yang tidak aku inginkan" peringatku yang terulur menyerahkan kembali kotak hitam berukuran sedang ini di tangannya. "Kenapa?" tanyanya.
Karena aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang aku inginkan dan apa yang tidak aku inginkan Zayn!
"Simpanlah..."
"Aku tidak ingin membuat semua kandidat yang menjadi calon istrimu iri padaku nantinya" ungkapku. "Jangan berbicara tentang omong kosong?!"
"Kenapa yang aku maksud bukanlah tentang berlian ini Ken"
"Aku tidak mengerti..." alibiku.
"Alasan?!"
"Maksudmu?" singgungku.
"Apakah sekarang kau mulai menginginkan agar aku mengerti dengan apa saja yang kau inginkan dan apa yang tidak kau inginkan? Begitukah Ken?" menghembus nafas kasar seraya meggelengkan kepala, dia dengan hati-hati kemudian menggenggam kedua tanganku agar bertumpuh dengan tangannya yang masih memegang kotak berisi berlian itu. "Dengar Ken..."
"Aku sangat benci ketika mendengar penolakkan darimu setiap kali aku memberikan sesuatu. Dan jika kau bertanya kenapa? karena itu sama saja dengan kau menghancurkan harapanku untukmu" ungkapnya berhasil membuat otak dan hatiku saling berdebat satu sama lain, seolah berlomba untuk meneriakiku.
Bodoh!
Memang apa yang kau harapkan dariku Zayn?
Ucapan terimakasih?
Atau
Hancurnya benteng pertahananku?
Karena jika pilihanmu adalah yang kedua, maka jangan berharap aku tidak akan menolak apapun yang selalu kau berikan atau pun kau tawarkan untukku. Sekalipun itu adalah membawaku pergi dari jurang terdalam yang telah mengunci diriku seutuhnya.
Bahkan, mustahil sekali jika kau bisa sampai melihat dimana jurang itu berada sekalipun.
Terlalu gelap
Dingin
Dan
Sulit tergapai.
"Maka berhentilah berharap sesuatu apapun dariku" jawabku yang tiba-tiba saja kembali teringat akan saran dari Kylie untuk segera memperjelas hubungan diantara kami, aku dan Zayn agar nantinya aku bisa terbebas dari pengawasan kedua orangtuaku.
Sial!
Kenapa sekarang aku merasa seperti sedang mengikuti saran dari Kylie. Padahal jelas-jelas aku melakukan ini memang murni tidak ingin kalau sampai Zayn melibatkan perasaannya dalam kedekatan yang terjalin diantara kami.
"Ok.."
"As you wish Ken"
"Dan anggap saja batu berlian itu adalah hadiah yang terakhir dariku. Tapi, kalau kau masih tidak mau menerimanya juga maka kau bisa menyimpannya atau membuangnya jika kau mau. Terserah padamu.." meninggikan sebelah alisku atas keputusan yang baru saja dia ucapkan, pada akhirnya aku pun terpaksa menerima kotak berlian yang dia ulurkan sebelum dia kemudian berjalan kearah sisi ranjang Paris.
Tok.. tok.. tok..
"Zayn, Nona?!"
"Maaf menganggu..."
"Ada apa Felix?" tanyaku.
"Nyonya Kris sudah berangkat menuju bandara dan sepertinya kita juga harus berangkat dengan segera" peringat Felix dari ambang pintu kamar, membuatku mengangguk setuju. "Baiklah, lima menit lagi aku akan menyusulmu turun"
Setuju dengan apa yang aku katakan, Felix pun lantas meninggalkanku untuk turun lebih dulu. Sedangkan aku yang masih terdiri di dekat pintu kamar memilih untuk berjalan kearahnya yang terduduk di sisi ranjang Paris. "Zayn, aku tidak bermaksud untuk tidak menghargai apa yang telah kau berikan untukku. Hanya saja..."
"Jangan memperlakukanku seperti kau sedang memperlakukan kekasihmu Zayn. Aku tidak ingin jika salah satu diantara kita terjebak dalam hubungan aneh ini nantinya"
"Lagi pula, peranku disini hanya sebagai ibu untuk Paris dan peranmu disini hanya menjadi ayah yang baik untuk Paris. Selalu ingatlah bahwa kita hanya sedang bermain peran. Tidak lebih.." berdecih kasar atas apa yang baru saja aku ucapkan, membuatku dengan cepat mengecup sebelah pipinya sebelum kembali terjadi perdebatan panjang diantara kami.
"Maaf membuatmu marah.."
"See you there" ucapku seraya menyinggunginya senyum dan memegang erat kotak hitam ini dalam genggaman, kemudian pergi melangkah meninggalkan kamar ini dengan lebih dulu menutup pintu dan sebelum benar-benar menuruni anak tangga.
Terus berjalan lurus seraya mengikuti kemana arah jalan para bodyguard mengawal kami keluar dari hotel yang sudah penuh dengan hadangan para paparazzi, seketika tubuhku tersentak kaget karena tiba-tiba saja seseorang mencoba untuk menarik lengan sebelah kananku. Beruntung tangan yang ingin mencoba menarik lenganku segera dicengkram oleh tangan kekar milik Felix, sehingga aku dengan sigap membentengi diri kearah bodyguard-ku yang lainnya.
"Are you ok Ken?"
"I'am fine Mom"
"Felix, biarkan bodyguard-ku yang mengurusnya. Kau tetaplah menjaga Kendall" perintah ibuku ketika Felix berhasil menguci pergerakkan orang yang mencoba untuk mencakar tanganku dan lantas dia indahkan dengan memberikan orang tersebut kepada salah satu bodyguard ibuku.
"Terimakasih Felix" ucapku.
"Sudah menjadi tugas saya Nona"