Royal Albert Hall
Kensington Gore, London - Britania Raya
13.00 PM
Keluar dari toilet, telingaku lantas disambut oleh suara-suara tawa disertai tautan tepuk tangan yang begitu meriah dan juga terasa bergema hingga memenuhi seluruh isi ruangan gedung ini. Langkahku yang kemudian terhenti, membawa pikiran dan hatiku dipenuhi tentangnya sekaligus menginginkan keberadaannya untuk bisa mendampingiku ditengah-tengah keramaian ini lagi seperti dulu.
Mustahil memang berharap Louis bisa hadir di acara yang sesungguhnya diselenggarakan untuk memperingati 2 tahun akan ketidaannya lagi di dunia ini. Terlebih, dahulu hubungan kami berdua berakhir dengan tidak baik dan jujur saja karena hal itu membuatku kemudian benci pada diriku sendiri hingga detik ini. Sebab, saat itu diriku tidak mampu untuk menahan perasaanku terhadapnya.
Gila!
Memang!
Sebagian orang bahkan menganggapku demikian semenjak Louis membatalkan prosesi pernikahan kami secara sepihak, hingga kemudian dia berakhir pergi dari hidupku perlahan dan untuk selama-lamanya dengan kesalahan yang selalu aku perbuat. Sehingga satu-satunya cara menutupi semua itu dari hadapan semua orang adalah dengan menghindari publik, sebab menghilang dari dunia ini rasanya terlalu sulit karena aku selalu kembali lagi ketika sudah berusaha untuk mengakhiri.
Ting...
From: Mom
'Get out and come back to the hotel now!'
From: Mom
'Don't go back inside'
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada apa? Kenapa tiba-tiba dia menyuruhku untuk pergi dari acara ini tanpa dirinya?
Dor...dor.. dor..dor..
Terkejut dan seketika menjatuhkan ponsel serta clutch bag dari genggamanku karena mendengar suara tembakan ke udara, tidak banyak yang bisa aku lakukan selain diam terpaku. Di dominasi oleh suara kepanikan orang-orang serta ada beberapa dari mereka berlarian mencari perlindungan, memberi efek cukup berpengaruh terhadap diriku.
"...Tenang semua"
"...Diam di tempat kalian masing-masing dan jangan ada satu orang pun dari kalian yang bergerak!"
"...Ruangan ini sudah di blokir oleh anggota kami"
"...Tidak akan ada akses untuk jalan keluar"
"...Berdasarkan laporan yang telah kami terima, pada siang hari ini dikota London akan ada transaksi ilegal berupa narkotika yang dilakukan oleh beberapa pengusaha nakal dan kami curigai mereka memanfaatkan keberlangsungan acara besar untuk melakukan aksi tersebut"
"...Saya, pimpinan dalam satuan tugas cabang keamanan nasional FBI. Meminta semua orang disini untuk bekerjasama dan koperatif"
Begitu mengetahui siapa mereka sebenarnya, kakiku pun lantas lemas dan kepalaku seketika terasa berputar hebat. Merasa dejavu sekaligus ketakutan, siapa sangka diambang tatapanku yang mulai meremang justru aku menemukan keberadaannya di ujung kiri sana.
Namun, harapanku atasdirinya justru hanyalah angan ketika dia dengan sukarela menenangkan wanita itudalam pelukannya padahal sudah ada pria beriris mata berwarna hijaudisebelahnya. Dan siapapun yang melihat mereka, pasti akan dengan senang hati berkatabahwa mereka itu tengah terlibat cinta segitiga.
Lebih tertarik memikirkan diriku sendiri, besamaan dengan itu aku pun berusaha memasukkan kembali barang-barangku kedalam clutch bag. Akan tetapi, sialnya botol obatku terbawa oleh langkah kaki mereka yang panik mencari perlindungan.
Brengsek!
Jangan sekarang!
Mengabaikan botol obatku disana dan lebih memilih bersandar didekat pilar besar, usapan tanganku di dada nyatanya tidak cukup berpengaruh untuk mengurangi rasa sesak dan juga mual yang tiba-tiba menyerang perutku.
Jika biasanya aku meluapkan kesakitanku dengan berteriak, kali ini aku seperti tidak punya keberanian untuk melakukan hal demikian ketika mengingat dimana aku berada sekarang. Hal ini pun membuat bayangan akan sosoknya, kian nyata dalam pandanganku saat ini seolah begitu menuntut untuk diingat kembali.
Tidak!
Aku tidak ingin mengingatmu lagi!
Pergi!
Jangan menggangguku!
Banjir akan air mata dan terus menekan erat kepalaku dengan kedua tangan, tidak membuat sosoknya pergi dari pikiranku dan justru semakin menarikku masuk kedalam jurang gelap yang sekali lagi akan membuatku kembali menyakiti diriku sendiri hingga ke dasar.
Flashback on
Besarnya amarah yang menguasai hati dan pikiran, nyatanya mampu membuat keputusan yang telah aku buat terasa seperti sebuah penyesalan. Sebab, jika tadinya aku berpikir dengan aku membalas perbuatannya padaku. Aku bisa membuatnya menyesal dan kembali. Namun ternyata semua itu salah.
Disudut sana dia justru tersenyum penuh kebahagiaan bersama wanita yang menjadi lawan mainnya disebuah film. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang tengah aku rasakan saat ini. Satu-satunya hal manis yang selalu aku ingat tentangnya adalah dia selalu mampu membuatku bahagia dan menangis di saat yang bersamaan.
Dia selalu berhasil membangkitkan harapan-harapan besar, lalu menguburkannya tanpa perasaan. Dia selalu mampu merekatkan puing-puing rinduku, lalu menghancurkannya dalam hitungan menit. Dia selalu bisa membuatku mencintainya, lalu mematahkan hatiku tanpa ampun. Dan bodohnya, aku tidak pernah mampu untuk membencinya.
Ini adalah perasaan dan kisah teraneh yang pernah aku alami. Sebab, aku selalu saja mencintainya dengan sepenuh hati meskipun aku tau bahwa akhirnya hanya akulah yang tertatih-tatih demi meminta kejelasan status yang pasti dan kesungguhannya.
Merindukan dengan seluruh rasa, walaupun kenyataannya semua melenceng jauh dari yang diharapkan. Sudah tau tidak mampu memiliki, namun merasakan kehilangan yang teramat dalam.
Bukan siapa-siapa lagi, tetapi menangis tersedu-sedu oleh pengkhianatan yang tidak bisa di katakan pengkhianatan pula. Bahkan, rasanya luka yang dia torehkan saja masih belum sembuh. Dan dengan teganya, dia justru menambah dengan mengubar kemesraan secara terang-terangan di depan mataku. Dan dia adalah Louis, mantan calon suamiku sekaligus aktor berbakat yang selalu dikagumi banyak orang.
Asshole!
Menenggak satu gelas terakhir dan memilih melangkah pergi meninggalkan ruangan yang berhasil membuat dadaku sesak. Tidak lupa aku meraih clutch bag merk chanel berwarna biru dengan design crocodile alligator dan mengenakan kembali sarung tangan berwarna putih berbahan kulit.
Berjalan dengan sedikit terhuyung karena terlalu banyak menenggak tequila dan lantas menolak tawaran mereka untuk di kawal keluar dari club ini. Seketika aku tergejolak kaget karena puluhan flash dari kamera para paparazzi yang secara tiba-tiba mengarah padaku dan berhasil menyilaukan pandangan serta menjadi memblokir aksesku untuk masuk ke dalam mobil.
Hal seperti inilah yangselalu aku hindari semenjak gagal menikah. Sebab, aku merasa sudah benar-benarjengah mendengar pertanyaan-pertanyaan spontan yang tidak pernahbosan mereka ajukan mengenai aku dan Louis. Seolah-olah mereka masih sajamenutup mata akan masalah yang pernah terjadi antara aku dan dia, sehingga emosiku rasanya benar-benar sudah memuncak dibuat mereka saat ini.
"Back off guys"
"Back off"
"Beri Kendall jalan..." ucapnya membuatku batal meraih kamera salah seorang paparazzi yang tak jauh dariku. "Mobil kita disana Nona"
Mengangguk paham dengan sigap dia pun merengkuhkan tubuhku kedekatnya untuk menerobos menjauh dari mereka. Sehingga, tepat ketika mobil ini melesat pergi meninggalkan tempat tersebut barulah seluruh amarah dan tangisku pecah.
Meremas tangan kuat dan sesekali menekan dada serta kepalaku yang kini benar-benar pening karena terus mengingat bagaimana tadi dia tersenyum dengan lepas tanpa perduli keberadaanku di ruangan yang sama dengannya. "Apa anda baik-baik saja Nona?" tanyanya.
"Menepilah Felix" jawabku membuatnya kemudian mengangguk setuju dan menepikan mobil. "Ada apa Nona?"
"Felix, aku ada urusan sebentar"
"Kau kembalilah ke penthouse menggunakan taxi" ucapku.
"Tapi Nona... Tidak baik berkendara dalam keadaan mabuk"
"Lagi pula, Tuan telah berpesan agar jangan sampai membiarkan Nona mengemudikan mobil seorang diri"
"Felix" geramku seraya memberikan tatapan penuhperingatan padanya, hingga terdengar samar dia berdengus nafas secara kasarkemudian melepas seat belt. "Baiklah Nona"
"Tapi, kemana anda akan pergi?" tanyanya.
"Aku akan mengunjungi Mansion"
"Dan tolong kalau nanti ayahku menghubungimu. Sampaikan ucapan permohonan maaf dariku, karena aku tidak bisa menuruti perintahnya untuk ikut penerbangan malam ini" mendapati sebuah anggukan pasrah darinya, aku pun lantas mengambil alih kemudi dan segera melajukan mobil seorang diri.
Terus memaki dirinya dengan tersiak tangis yang semakin menjadi selama perjalanan menuju Mansion, tidak henti tanganku pun ikut melampiaskan kekesalan dengan memukul stir kemudi ini berkali-kali setelah lebih dulu menginjak pedal rem.
Sialan!
Bisa-bisanya dia bersikap tidak memperdulikan aku sama sekali tadi. Bastard, brengsek!
Memasuki bangunan berwarna putih yang seharusnya menjadi tempat tinggal kami di masa depan, sesekali aku tersenyum pedih dan berdecih sendiri ketika mengingat dia menjanjikan kebahagiaan akan selalu tercipta disetiap ruangan dalam Mansion ini.
Omong kosong!
Berjalan kearah dapur seraya menikmati lintingan ganja yang memang selalu kami stock bersama di Mansion ini, rasanya pelepasanku pun semakin lengkap ketika menyesap segelas martini. Menikmati rasanya yang netral dan versatile, sensasinya pun semakin terasa ketika aku membiarkan kumpulan asap dari lintingan ganja terlepas keudara.
Akan tetapi, ditengah pelepasanku. Tatapankutertarik untuk melihat kearah kotak berwarna hitam dengan pita merah yang adadi atas meja panjang dan terhalang oleh bingkai foto-foto kami. Membuka kotak yang ternyata berisi anting berlian, senyumku pun lantas merekah ketika selembar kertas didalam kotak ini bertuliskan namaku.
Belum sempat membaca isi surat tersebut karena suara pintu yang terbuka sedikit mengusikku, aku pun memilih untuk lebih dulu berjalan menghampiri kearah asal suara pintu berada. Ditengah kegelapan malam, seketika kabut penuh amarah pun muncul saat melihat lebih jelas Louis dan wanita itu memasuki kamar.
Brengsek! Beraninya dia membawa orang asing ke dalam Mansion ini.
Tergesa menyusulnya dengan langkah gontai akibat masih dalam pengaruh alkohol. Tubuhku pun hanya bisa diam terpaku di tempat ketika melihat tautan bibir di antara mereka yang kelewat panas. Berulang kali mendapatinya seperti ini dengan wanita lain, berulang kali pula hatiku dibuat hancur berkeping-keping olehnya.
Tidak mampu lagi membendung air mata karena terlalu sakit memikiran hal negatif tentang adegan apa selanjutnya yang akan keduanya lakukan di dalam sana setelah ini. Tatapanku pun jatuh kearah lemari kaca yang menjadi tempat penyimpanan benda mengerikan itu. Karena sudah terbakar cemburu, pada akhirnya aku pun meraih benda tersebut dan menyembunyikannya di balik punggungku.
Beginikah akhir yang kau pilih untuk cerita kita L?
Brengsek!
Sudah dua tahun lebih aku berusaha mati-matian untuk memperbaiki semua kekacauan yang telah terjadi diantara aku dan dia, tanpa pernah perduli sekalipun kalau aku yang harus terlihat mengemis padanya.
Serta hampir selama itu juga aku selalu saja menyingkirkan rasa kekecewaanku sendiri, tanpa pernah dia mengerti bahwa aku merelakan harga diriku sendiri agar dia menyesal dan berakhir kembali padaku. Justru, kini aku di tampar pada kenyataan yang sesungguhnya bahwa dia tidak akan pernah bisa berubah.
Benar-benar, Brengsek!
Prak...
Sialan!
Mengumpat kesal seraya mengutuk diriku sendiri, karena siku tanganku tidak sengaja menjatuhkan vas bunga. Dengan senang hati aku pun segera menunjukkan kehancurkanku dihadapan dirinya.
"Kendall?" ucapnya yang memanggil namaku dengan wajah terkejut, membuat hatiku rasanya begitu remuk luluh lantah ketika melihat wanita dibawah kukuhannya kini hanya mengenakan pakaian dalam.
Menjijikan!
"Apa yang kau lakukan disini?"
Telah dipenuhi perasaan kecewa yang sudah menumpuk, segera aku pun jawab pertanyaannya dengan menampar keras pipinya hingga sudut bibirnya berdarah dan membuat tanganku bergemetar hebat karena merasakan kesakitan yang sama dengannya tepat didadaku.
"Seharusnya aku yang bertanya hal itu padamu L"
"Apa sebenarnya yang ada dipikiranmu, sampai kau berani membawa jalang itu memasuki kamar tidur kita!" tanyaku seraya menangis terisak dan menatapnya kecewa.
"Dengar" pintanya, tetapi aku lantas beraksi menepis tangannya yang ingin menggenggam tanganku.
"Tidak!"
"Aku tidak mau mendengar apapun dari mulutmu!"
"Dan kau! Pergi kau dari sini!" usirku seraya berjalan kearah ranjang dan menarik tangan si wanita berambut pirang ini. Namun, Louis justru menghalanginya dengan menarik tanganku. "Ayo, aku antar kau pulang" ajaknya.
"Tidak! Aku akan tetap disini"