Rumah Kaca
360 Victoria Park Road, London – Imggris Raya
11.00 AM
Banyak mendapat ucapan selamat, baik itu dari para tamu undangan maupun anggota keluarga. Hanya satu ucapan selamat yang sangat membuatku merasa bersalah, yaitu dari Paris. Anakku yang statusnya masih senantiasa aku rahasiakan, berbeda dengan Zayn yang dengan berani mengakui kepada Harry dan mungkin kepada semua orang bahwa Paris adalah anaknya.
Hanya bisa memandangnya dari tempatku berada karena aku terlalu pengecut untuk sekedar mendekat, Paris nampak begitu akrab dengan Gigi. Mereka bahkan terlihat seperti ibu dan anak yang sangat bahagia, begitu mampu membuatku merasa cemburu sekaligus marah karena kedekatan keduanya.
"Are you ok?" tanya Harry yang berdiri disebelahku dan menarik tanganku untuk dia genggam.
Tidak. Aku tidak baik-baik saja!
Aku marah!
Aku tidak suka anakku dekat dengan wanita angkuh itu!
"Hanya sedikit lelah" dustaku membuatnya lantas merangkul dan membawaku untuk terduduk.
"Sebentar lagi acaranya selesai Ken" ucapnya membuatku mengangguk dan menyingunggnya dengan sebilah senyum tipis yang aku paksakan karena terlalu sulit untukku berpura-pura.
"Aku ke toilet sebentar" izinku melepas genggamannya.
"Mau aku temani?" tanyanya.
"Tidak perlu" tolakku seraya melangkah dengan terus menebar senyum di sepanjang jalanku menuju toilet.
Berhasil memasuki toilet tanpa di curigai oleh siapapun bahwa perasaanku sedang tidak baik-baik saja, tanganku pun dengan kesal memukul dinding dingin toilet hingga kemudian aku berhasil menitihkan air mata karena terlalu kesal.
Zayn sialan!
Benar-benar brengsek!
Mendengar ada suara langkah kaki seseorang memasuki toilet ini, membuatku dengan cepat menghapus air mataku dan memilih untuk memasuki bilik toilet.
"...P, tunggu sebentar disini ya dan jangan kemana-mana. Aunty buang air kecil dulu..." ucapnya membuatku tertegun karena mendengar nama panggilan Paris.
"...Baik Aunty..." patuhnya membuatku bangkit dari keterdudukanku di closet yang tertutup dan memilih untuk sedikit mengintip melalui celah pintu bilik toilet..
Paris, anakku.
Memilih untuk keluar dari bilik toilet, aku pun dengan berani lantas menghampirinya yang senantiasa berdiri menunggu Aunty yang bisa aku simpulkan bahwa Aunty yang dia maksudkan adalah Gigi.
"P..." panggilku berbisik seraya memberinya pelukkan.
"Mèye??[1]" jawabnya dengan raut wajah terkejut, membuatku berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dan dengan cekatan menyingkirkan anak-anak rambut yang sedikit menghalangi wajahnya.
"Stttt, ikut Mère sebentar mau?" tanyaku berhasil membuatnya mengangguk setuju dan aku lantas menggendongnya menuju kearah keluar toilet.
"Mèye cantik" pujinya yang memegang wajahku dengan jari-jari kecilnya dan hal itu membuatku melepaskan gendongan untuk kembali membuatnya berdiri.
"Paris juga cantik" balasku seraya kembali menyamakan tinggi dengannya kemudian menangkup wajahnya dan mencium hampir di seluruh wajahnya karena terlalu merindukannya sekaligus merasa bersalah secara bersamaan.
"Mèye menikah ya?" tanyanya.
"Père[2] yang memberitahu ya?" ucapku balik bertanya.
"Iya, Pèye bilang kalau P tidak boleh memanggil Mèye atau pun mendekati Mèye hari ini. P hanya boleh duduk dan ditemani oleh Aunty Gigi. Kalau P tidak patuh. P tidak boleh memakan ice kyim lagi..." jelasnya membuatku yang merasa bersalah kemudian mencium kedua telapak tangannya.
"Maafkan Mèye ya?" tanyaku yang dia setuju dengan menganggukan kepala seraya memberikanku kecupan di sebelah pipiku.
"Mèye jangan bilang-bilang kalau kita bertemu ya?" tanyanya.
"Mèye harus janji. Soalnya aku ingin makan ice kyim" tanyanya sekali lagi membuatku mengangguk dan memeluknya erat.
"Mère, Janji sayang..." ucapku.
"...Paris... Paris..." panggil Gigi dari dalam toilet, membuatku melepaskan pelukkan dengan Paris dan bersembunyi di balik papan yang digunakan untuk menutupi belakang toilet.
"Jangan bilang Mère bersembunyi disini ya sayang" pintaku yang dia patuhi dengan mengangguk dan kembali kearah depan toilet.
"...Ya Aunty..."