Dirty Business

Annisa Fitrianti
Chapter #29

Chapter 29

Mansion Emma & Pierce 

London – Inggris Raya

05.00 AM

"Ken.."


"Kendall..." panggilnya membuatku kemudian membuka mata dan langsung merubah posisiku menjadi terduduk diranjang lalu memeluknya yang berada disebelahku. 


"Hei,sssttt. Tenang oke..." menggelengkan kepala didalam pelukakannya seraya mengatur nafas baik-baik, dia lantas memberikan ketenangan dengan mengusap punggungku.


"Aku mimpi buruk Har" aduku.


"Apa menyeramkan?" tanyanya membuatku menganggukkan kepala dan mendongakkan kepala untuk menatapnya yang melihatku seperti melihat anjing yang mencari perhatian tuannya. 


"Seseorang mencoba menculikku dari Mansion ini" tuturku. 


"Kenyataannya kau disini bersamaku" jawabnya seraya menyingkirkan beberapa anak rambutku yang menutupi wajah menjadi kebelakang telinga. 


"Tapi mimpi itu terasa sangat nyata Har" jelasku. 


"Lusa kalau kau memang masih merasa gelisah, kita temui dokter Kate. Bagaimana?" tanyanya mentapku dalam, bahkan iris mata hijaunya nampak seperti menelanjangiku perlahan-lahan.


"Iya aku mau.." menganggukkan kepala atas jawabanku, Harry pun lantas melepaskan pelukkannya dan menyuguhiku segelas air yang berada di atas nakas. 


"Minumlah, dan kembali tidur. Ini masih terlalu pagi..." tuturnya. 


"Aku tidak mau tidur..." tolakku seusai menenggak minum yang baru saja dia berikan. 


"Baikah, aku temani" jawabnya. 


"Har.." panggilku setelah Harry lebih dahulu mengambil gelas dari genggamanku untuk dia letakkan kembali di atas nakas. 


"Ya?" sahutnya. 


"Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu" tuturku. 


"Bicaralah, aku akan mendengarkan" katanya, membuatku bimbang apakah ini saat yang tepat untuk memberitahukan keberdaan serta status Paris sebagai anakku. 


"Ini mengenai Paris, anak Zayn" jelasku seraya tertunduk dan memainkan kedua tanganku yang saling menyatu. 


"Ya, kenapa dengan anak Zayn?" tanyanya. 


"Anak Zayn adalah anakku" jelasku yang dia indahkan dengan gelak tawa seolah ucapanku adalah lelucon. 


"Jangan bercanda Ken" tuturnya memperingati, namun aku lantas menggelengkan kepala dan beraut wajah serius. 


"Aku serius.." jawabku. 

 

"Bagaimana mungkin?" tanyanya. 


"Kami sengaja menyembunyikan keberadaan Paris selama 2 tahun ini, karena aku tidak siap kalau semua orang pada akhirnya mengetahui hubunganku dengan Zayn" jelasku. 


"2 tahun kalian menyebunyikan keberadaannya, bukankan itu cara yang sangat kejam untuk dihadapi oleh seorang anak kecil seperti Paris?" tanyanya membuatku tetunduk malu.


"Lalu, apa yang akan kalian lakukan selanjutnya mengenai keberadaan Paris?" tanyanya sekali lagi dengan raut wajah kecewa sekaligus memberi tatapan tidak suka padaku. 


"Aku akan segera mengumumkan keberadaannya, apakah kau bersedia mendampingi aku melakukan konferensi pers?" tanyaku ragu. 


"Baiklah, aku akan mendampingimu nanti" jawabnya. 


"Tapi Har, keluargamu bagaimana?" tanyaku. 


"Kita bicarakan dengan mereka esok pagi..." jelasnya. 


"Kalau mereka menjadi tidak suka padaku karena keberadaan Paris bagaiamana?" tanyaku yang dia hadiahi usapan di pucuk kepalaku, persis seperti apa yang di lakukan Louis dulu ketika aku merasa tidak percaya diri. 


"Tidak usah berfikiran buruk Ken. Kalau aku saja bisa menerima kamu, seharusnya mereka pun bisa" jelasnya.  

"Thank's" jawabku seraya memeluknya erat. 


"Sama-sama. Aku harap tidak ada lagi hal yang kamu sembunyikan dariku Ken" tuturnya, berhasil membuat hatiku berdesir merasa bersalah karena tentu saja ada beberapa hal yang tidak bisa aku ceritakan pada siapapun saat ini atau mungkin hingga selamanya. 




Seusai sarapan pagi berlangsung, aku merasa gugup harus memulai dari mana kejujuran yang akan aku umumkan di hadapan keluarga Harry.


Namun, Harry justru berdehem meminta perhatian mereka semua setelah dia lebih dahulu memberikan kekuatan dengan menggengam tanganku di bawah meja makan.  


"Selamat pagi semuanya, aku minta perhatiannya sebentar..." ucap Harry.


"Ada apa Har?" tanya Pierce, kakek Harry.


"Kendall ingin mengatakan sesuatu pada kalian.." jelasnya yang aku indahkan dengan senyum tipis, merasa gugup sekaligus takut kalau keluarga tidak menerimaku lagi. 

Lihat selengkapnya