Chapter 1: Patung Hidup
Aleta melangkah menyusuri lorong sekolah dengan kecepatan yang hampir tak terdengar, seolah ia berusaha menjadi bagian dari dinding yang tak tampak. Suara tapak sepatunya yang ringan tidak cukup untuk menarik perhatian siapa pun. Ia sudah terbiasa dengan ketidakhadiran, dengan tidak menjadi bagian dari kerumunan. Di tengah hiruk-pikuk siswa lain yang berbicara, tertawa, atau berlarian, Aleta memilih untuk menyatu dengan bayangannya sendiri.
Setiap pagi adalah ritual yang sama. Ia masuk ke ruang kelas, memilih kursi di pojok belakang yang jauh dari perhatian. Tidak ada yang pernah menyapanya dan itu adalah bagian dari kesepakatan tak tertulis yang selalu ia patuhi. Jika tak ada yang memperhatikannya, maka tidak ada juga yang bisa menyakiti. Semua orang tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri, sementara Aleta hanya ada tak lebih dan tak kurang.
Sekolah adalah tempat di mana Aleta belajar lebih banyak tentang sepi daripada tentang pelajaran yang diajarkan. Dulu, ketika ia masih kecil dan penuh harapan, ia berpikir sekolah akan menjadi tempat di mana ia bisa menemukan teman-teman sejati. Namun, dunia tidak selalu seperti yang diharapkannya. Di usia yang masih sangat muda, Aleta sudah merasakan kejamnya perundungan. Ia tahu betul rasanya dihina, dijadikan bahan tertawaan, dan diperlakukan seperti makhluk asing yang tidak memiliki nilai.