***
Ketika kata yang tak pernah terucap benar-benar terkubur di dasar dunia. Takkan pernah di dengar, karena sang pemilik rumah telah kehilangan tuannya.
***
"Untuk korban jiwa sendiri di ketahui untuk yang berjenis kelamin perempuan adalah salah satu mahasiswa perguruan tinggi negeri bernama Riana Angelica Wijaya, dan untuk korban jiwa yang berjenis kelamin laki-laki adalah Rimu Reon, ketua dari Redline."
Sejak seminggu yang lalu, berita itu terus di putar oleh seluruh saluran berita di negeri ini. Dari pagi ke pagi, hingga malam ke malam. Setiap harinya, kemanapun kakinya melangkah, narasi itu terus muncul bagaikan kaset rusak yang si pemiliknya tak mau membenarkannya kembali. Sesekali ketika dirinya sudah jengah, kedua tangannya menutup telinganya dengan earphone yang memang terpasang sejak kakinya melangkah keluar dari rumah.
Hidupnya tak lagi sama, ketika gadis itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Jika dia hanya menghilang sementara seperti sebelumnya, tentu perasaannya akan baik-baik saja dan harinya tetap cerah seperti dahulu.
Akan tetapi, gadis itu menghilang di telan dunia dan di paksa merasakan rasa sakit yang teramat kejam. Maniknya tanpa sadar terpejam dan langkah kakinya terhenti saat berhenti tepat di depan toko penjaja makanan tradisional.
Benaknya kembali memutar hari itu, hari di mana kabar buruk itu hadir sampai ke telinganya, membuat gelas yang ada dalam genggamannya lolos begitu saja hingga terjatuh ke lantai, sampai menimbulkan suara pecahan yang nyaring hingga melukai kakinya yang tak beralaskan apapun. Saat itu, ia berada di rumah. Tak ada firasat, dan tak ada perasaan apapun.
Tanpa memperdulikan rasa sakit pada kakinya, ia segera berlari keluar, menghubungi Abel yang ternyata sudah meneleponnya terlebih dahulu. Lalu mereka berangkat menuju rumah sakit yang di maksud. Jangan lupakan orang tua gadis itu yang harus buru-buru terbang dari luar negeri untuk segera kembali.
Tiba di rumah sakit yang di sebutkan oleh pewarta berita, suasana sangat ramai. Banyak sekali orang yang sedang di obati di lorong. Rata-rata mereka berwajah garang, dan terkesan menakutkan. Namun fokusnya dan Abel bukan mereka. Kakinya melangkah menghampiri salah satu petugas yang tengah mendata setiap orang yang ada di dekat mereka.
"Pe--permisi, di-dima--na Riana?" tanyanya dengan suara bergetar. Sebelah tangannya mencengkram erat tangan si petugas yang berbalik memandang wajahnya yang terlihat berantakan dan manik yang menuntut penyataan.
"Se--sebentar," kata si petugas yang jadi ikut bergetar. Tangannya membalik tumpukan berkas yang ada dalam genggamannya, lalu saat maniknya terlihat berhenti di satu titik, si petugas segera menatapnya.
"Silahkan ke ruang UGD di ujung lorong ini," lanjutnya sambil menunjuk ke arah yang dimaksudkan.
Abel mengangguk patuh, meskipun raut wajah paniknya tak lagi bisa di sembunyikan. Sebelah tangan Abel melepaskan tangannya dari si petugas, lalu menariknya segera dari tempat itu tanpa banyak bicara.
Sepanjang jalan, ia hanya bisa berdoa dan meminta bahwa semua hal yang di muat di berita adalah omong kosong belaka.
Namun begitu tiba di depan ruangan yang di maksud, inderanya segera menangkap suara tangisan yang pecah begitu kencang di dalam sana. Di dominasi tangisan seorang gadis yang berteriak memanggil sebuah nama yang di kenalnya, lalu tangis lainnya yang juga tak kalah kencang. Maniknya berkaca-kaca sekarang, memandang nanar ke segala arah.
"RIMUUUU!"