***
Dunianya menggelap dan diam-diam hujan turun membasahi bumi. Ia masih sama, tetap menjadi manusia yang sama, dan tak pernah bisa melupakannya. Dialah yang terindah, yang tak pernah bisa di miliki olehnya. Sekalipun yang merenggut nyawanya adalah dirinya sendiri.
***
Matahari naik begitu tinggi, menyinari bumi tanpa satupun penghalang yang membuat sinarnya begitu terik. Di tengah lapangan luas yang di kelilingi oleh pagar tinggi dan penghalang listrik, seluruh tahanan tengah menikmati harinya untuk melihat dunia luar. Tidak ada hukuman hari ini, mereka semua di bebaskan untuk satu hari. Beberapa dari mereka memilih untuk berada di tempat yang teduh agar peluh tidak semakin memenuhi dahi, karena waktu untuk mandi masih sangat lama. Sedangkan lainnya memilih untuk mengobrol bahkan ada yang sedang bermain-main dengan bola kaki.
Di salah satu sudut, duduk seorang laki-laki yang tengah memandang jauh ke arah langit, seolah mengharapkan sesuatu datang kepadanya. Hampir tiga puluh menit lamanya ia berada di sini, di terpa langsung sinar matahari yang menyilaukan. Maniknya menyipit, dengan tangan terangkat ke udara untuk sedikit menutupi sinar yang merangsek masuk ke dalam indera penglihatannya.
Tak ada satupun tahanan lain yang berani mendekat padanya, setelah hari penangkapan itu. Bahkan untuk sekedar bertegur sapa, mereka enggan. Dari wajah mereka masih nampak ketakutan yang begitu nyata saat sosoknya tiba di sini. Belum lagi saat mereka memperhatikannya dari jauh, maniknya langsung melemparkan tatapan tajam hingga terjadilah suasana mengerikan. Jika di berikan waktu, hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk menghabisi mereka semua di tempat ini. Beraninya mereka menatapnya seperti itu.
Kurang ajar!
Suasana ruang tahanan yang riuh dan bising mendadak sunyi saat dirinya tiba dan di jebloskan ke salah satu sel, seorang diri. Saat tiba, seluruh pakaiannya penuh dengan noda dan aroma amis darah yang menguar hingga terciptalah suasana mengerikan. Para sipir yang mengawalnya belum memberikan baju ganti. Wajahnya dingin, dengan manik yang tajam menatap satu persatu seluruh tahanan yang ada di dalam sel. Tentu saja mereka bergidik ngeri, karena salah satu tahanan mengabari bahwa seorang anggota mafia di tangkap karena membunuh dua orang di area hukum. Membunuh, memang termasuk kesalahan berat, apalagi jika dilakukan di area yang bukan seperti Red District.
Hari itu, saat tiba di sel, sipir-sipir itu mendorongnya hingga terjatuh menabrak ranjang besi seolah ia adalah sampah, tanpa di beri sedikit belas kasih. Dengan keadaan tangan terborgol, ia sama sekali tidak bisa membalas perlakuan itu dan memilih untuk diam seolah tidak terjadi apa-apa. sabar, berkali-kali ia meyakinkan dirinya untuk sabar dan bertahan. Barulah ketika mereka semua meninggalkan selnya, ia membenarkan posisi duduknya dan bersandar pada dinding untuk meluruskan punggungnya yang terasa berat.
Kepalanya menengadah, menatap langit-langit sel miliknya yang berwarna putih namun sudah terkelupas di semua sisi. Sungguh tidak terawat, pikirnya sejenak. Berbeda dengan keadaan markas dan kamarnya yang begitu rapi. Lalu ingatannya kembali melayang, memutar kejadian yang di buat olehnya beberapa saat lalu, seperti kaset rusak yang terus memutar bagian yang sama. Hingga tanpa sadar, gumpalan air mata sudah menggenang di sudut maniknya meskipun wajahnya tak menampakkan ekspresi apapun.
Gadis itu, seharusnya bukan dia yang pergi meskipun ia sudah mengatakan dengan lantang jika dia tak bisa di miliki, lebih baik dia mati saja.
Tidak, ia sama sekali tidak mengatakan dengan sungguh-sungguh. Kedua tangannya yang terborgol lantas memegangi kepalanya karena rasa sakit yang mendera dan mulai di serang kepanikan. Semua yang terjadi di hari ini benar-benar di luar prediksinya. Gadis itu, dengan teramat sadar malah melindungi laki-laki sialan itu dari timah panas yang di luncurkannya dengan membabi buta.
Ia tertawa keras saat itu, tentu saja. Tapi jauh di lubuk hatinya, batinnya menangis kencang, meronta karena tak bisa menahan gadis itu untuk tetap berada di sisinya, tetap bersamanya dan tidak memilih laki-laki itu. Rasanya ia tidak sanggup melihat tubuh mungil itu menjadi tempat bersarang timah panas darinya. Melihat bagaimana dia memekik kencang saat peluru menembus tubuhnya di sertai dengan darah yang merembes. Tangannya tidak berhenti sampai di situ, hingga seluruh timah panas yang ada di tembakkannya hingga habis dan membuat gadis itu meregang nyawa di tempat.
Air matanya mulai turun, membasahi pipi hingga terjatuh ke lantai sel yang kotor.
"Riana, gue sayang sama lo," ucapnya lemah dengan bibir bergetar, dengan wajah yang di penuhi rasa bersalah. Semua hal yang di lakukannya pada gadis itu masih terbayang, bagaimana ia menyiksanya dan membunuhnya.
Namun di sisi lain, tiba-tiba saja ia tertawa nyaring setelah melihat Rimu Reon meregang nyawa tepat di kakinya, setelah dengan kesadaran penuh ia menginjak tubuh manusia lemah tak berdaya di bawahnya. Melihatnya kesakitan, terbatuk memuntahkan darah, suara retakan dari tulang-tulang lainnya yang patah, Setidaknya, aksi balas dendamnya untuk Daniel terbayarkan sudah.